Diagnosis Hipertensi Perioperatif
Diagnosis hipertensi perioperatif melibatkan pemantauan tekanan darah secara teratur selama periode preoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif. Selain pengukuran tekanan darah, evaluasi mencakup anamnesis menyeluruh untuk mengidentifikasi riwayat hipertensi dan faktor risiko kardiovaskular lain, pemeriksaan fisik untuk tanda penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan penilaian laboratorium untuk menilai fungsi organ.[1,15]
Anamnesis
Saat anamnesis, dokter harus mampu menggali faktor risiko hipertensi perioperatif pasien, di antaranya usia, riwayat hipertensi, kehamilan, gangguan kardiovaskular, gangguan serebrovaskular, diabetes mellitus, dan penyakit ginjal.[1,2,15]
Evaluasi klinis pasien hipertensi harus mencakup seluruh risiko kardiovaskular dan komorbiditas yang dapat disebabkan oleh hipertensi. Tanyakan pasien mengenai riwayat penyakit jantung iskemik, penyakit jantung bawaan, aritmia, hipertensi pulmoner, serta riwayat intervensi koroner perkutan sebelumnya. Tanyakan pula terkait kebiasaan merokok, pola makan, konsumsi alkohol, aktivitas fisik, aspek psikososial, serta riwayat penyakit hipertensi dan kardiovaskular pada keluarga.[8,17]
Evaluasi gejala seperti nyeri kepala, pandangan kabur, nyeri dada, dispnea, gejala neurologis serta kencing berdarah untuk menilai risiko terjadinya kerusakan organ akibat hipertensi atau hypertension-mediated organ damage (HMOD). Dokter juga harus menanyakan mengenai kepatuhan terapi antihipertensi pasien serta riwayat obat-obatan lain yang dikonsumsi pasien.[2,17]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien hipertensi perioperatif bertujuan untuk menegakkan diagnosis hipertensi serta mengevaluasi apakah ada gangguan pada organ target seperti jantung, ginjal dan otak.
Pemeriksaan Tanda Vital
Pemeriksaan tekanan darah dilakukan dengan posisi duduk dengan menggunakan manset yang sesuai ukuran pada kedua lengan. Jika terdapat perbedaan tekanan >10 mmHg di kedua lengan, ulangi pemeriksaan. Gunakan tekanan darah yang lebih tinggi.
Selain pemeriksaan tekanan darah, lakukan juga pemeriksaan nadi brakial, femoral, karotis serta tekanan vena jugularis. Lakukan pemeriksaan jantung dengan mendengarkan irama jantung serta suara jantung tambahan seperti murmur dan gallop.[1,17]
Pemeriksaan Paru dan Abdomen
Pemeriksaan paru dilakukan untuk mengetahui apakah ada ronki yang merupakan tanda dari gagal jantung kiri disertai edema paru. Sementara itu, pemeriksaan abdomen dilakukan untuk mengevaluasi bruit, striae akibat Cushing disease, serta nyeri perut yang dapat dialami pada kasus eklampsia.[1,17]
Pemeriksaan Fisik Lainnya
Pemeriksaan funduskopi dilakukan untuk mengetahui apakah ada perdarahan atau papil edema. Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan dilakukan untuk mengevaluasi adanya pembesaran tiroid, pembesaran ginjal, obstructive sleep apnea, peningkatan indeks massa tubuh (IMT), dan edema ekstremitas.[1,17]
Klasifikasi Tekanan Darah
Berdasarkan klasifikasi International Society of Hypertension Global Hypertension Practice Guideline 2020, klasifikasi tekanan darah untuk dewasa yang berusia 18 tahun ke atas:
- Normal: Tekanan sistolik <130 mmHg, tekanan diastolik <85 mmHg
- Normal–Tinggi: Tekanan sistolik 130–139 mmHg, tekanan diastolik 85–89 mmHg
- Stadium 1: Tekanan sistolik 140–159 mmHg, tekanan diastolik 90–99 mmHg
- Stadium 2: Tekanan sistolik ≥160 mmHg, tekanan diastolik ≥100 mmHg[17]
American Heart Association (AHA) menurunkan kriteria ambang batas hipertensi derajat 1 dari 140/90 mmHg menjadi 130/80 mmHg. Walau demikian, penggunaan definisi hipertensi baru ini sebaiknya berhati-hati karena berpotensi merugikan pasien.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa peningkatan tekanan darah secara akut hingga memerlukan penanganan yang cepat mengindikasikan adanya krisis hipertensi. Berdasarkan keterlibatan organ, krisis hipertensi dibagi menjadi hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi. Hipertensi urgensi tidak disertai dengan gangguan target organ, sementara hipertensi emergensi disertai oleh bukti kerusakan organ.[17,18]
Saat ini, tidak ada standar universal dalam menentukan ambang tekanan darah yang termasuk dalam hipertensi emergensi dalam operasi. Hal ini dikarenakan respon pasien dengan riwayat hipertensi kronik terhadap peningkatan tekanan darah akut dapat berbeda dari pasien tanpa riwayat hipertensi sebelumnya.[17,19]
Diagnosis Banding
Hipertensi perioperatif biasanya bisa cukup jelas didiagnosis. Meski demikian, beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan.
Hipertensi Esensial yang tidak Terdiagnosis atau Peningkatan Tekanan Darah Transien
Pasien mungkin mengalami hipertensi yang telah ada sebelum operasi tetapi tidak terdiagnosis sebelumnya. Selain itu, peningkatan tekanan darah juga bisa terjadi transien akibat stres perioperatif atau penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid atau kontrasepsi oral.[1,18]
Hipertiroidisme
Hipertiroidisme juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Ini bisa menjadi penyebab hipertensi perioperatif jika tidak dideteksi atau diterapi sebelumnya. Tanda klinis mencakup penurunan tekanan darah, eksoftalmus, tremor, dan pembesaran kelenjar tiroid.[1,18]
Pheochromocytoma
Pheochromocytoma adalah tumor langka yang terbentuk di kelenjar adrenal dan memproduksi hormon, seperti adrenalin, yang dapat menyebabkan lonjakan tekanan darah yang ekstrem. Apabila tidak terdeteksi sebelum tindakan operasi, kondisi ini bisa menyebabkan perubahan tekanan darah selama atau setelah operasi.[1,18]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menentukan risiko terjadinya kejadian kardiovaskular pada pasien yang menjalani operasi, mengevaluasi komorbiditas, dan mendeteksi komplikasi.
Elektrokardiografi (EKG)
EKG membantu dalam mengevaluasi aktivitas listrik jantung dan mengidentifikasi tanda-tanda iskemia miokardium atau gangguan irama jantung yang mungkin terkait dengan hipertensi perioperatif.[17,19]
Pemeriksaan Kimia Darah
Pemeriksaan kimia darah, termasuk elektrolit, fungsi ginjal, dan fungsi hati, memberikan informasi tentang fungsi organ yang dapat menjadi predisposisi maupun terpengaruh oleh hipertensi perioperatif. Selain itu, penilaian elektrolit penting untuk mendeteksi ketidakseimbangan elektrolit yang dapat memengaruhi tekanan darah.[17,19]
Evaluasi fungsi ginjal penting karena hipertensi perioperatif dapat menyebabkan kerusakan ginjal atau memperburuk fungsi ginjal yang sudah ada sebelumnya. Pemeriksaan ini juga dapat membantu mengantisipasi terjadinya komplikasi intraoperatif jika dilakukan sebelum tindakan operasi.[15,17,19]
Pemeriksaan Urinalisis
Urinalisis membantu dalam mendeteksi adanya proteinuria, hematuria, atau abnormalitas lainnya yang mungkin menandakan gangguan ginjal yang terkait dengan hipertensi perioperatif.[17,19]
Pengukuran Kadar Hormon Tiroid
Gangguan tiroid, seperti hipertiroidisme, dapat berkontribusi pada hipertensi perioperatif. Pemeriksaan ini membantu dalam mengevaluasi fungsi tiroid dan menyingkirkan penyebab hipertensi yang mungkin terkait dengan gangguan tiroid.[17,19]
Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan, seperti ultrasonografi abdomen atau CT/MRI abdomen, dapat membantu dalam mendeteksi adanya tumor adrenal atau gangguan struktural lainnya yang mungkin menjadi penyebab hipertensi perioperatif.[17,19]
Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan penunjang tambahan dapat dilakukan bila dibutuhkan untuk mengonfirmasi adanya hypertension-mediated organ damage (HMOD). Pemeriksaan echocardiography bermanfaat untuk mengevaluasi adanya hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi sistolik, diastolik, atau atrial dilasi. Pemeriksaan biomarker jantung seperti troponin, B-type natriuretic peptide (BNP), dan N-terminal pro-BNP (NT-proBNP) dapat memanfaat mendeteksi iskemia jantung.
Funduskopi bermanfaat untuk menilai adanya perubahan retinal, perdarahan, dan papilledema. Sementara itu, CT scan kepala diperlukan bila pasien menunjukkan gejala defisit neurologis.[15,17,19]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani