Penatalaksanaan Hipertensi Perioperatif
Penatalaksanaan hipertensi perioperatif idealnya dimulai dengan evaluasi dan pencegahan hipertensi jauh hari sebelum operasi. Tujuan utama dari tata laksana adalah menurunkan tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Terapi hipertensi perioperatif meliputi obat-obatan antihipertensi, antiplatelet, terapi suportif, dan modifikasi gaya hidup.[1,2,6,7]
Evaluasi Risiko dan Pencegahan Hipertensi Perioperatif
Pendekatan awal penatalaksanaan hipertensi perioperatif adalah penilaian risiko hipertensi dan gangguan kardiovaskular lainnya sebelum operasi. Pada pasien dengan riwayat hipertensi, terapi perlu diberikan untuk menurunkan tekanan darah dan mencegah risiko kardiovaskular lainnya.
Manajemen hipertensi idealnya dimulai sejak perawatan di fasilitas kesehatan primer, jauh hari sebelum jadwal operasi. Modifikasi gaya hidup dan menghindari faktor risiko penting dilakukan terutama pada pasien dengan riwayat hipertensi sebelumnya. Pada pasien dengan riwayat hipertensi tekanan darah perlu diturunkan dengan target mencapai <130/80 mmHg atau <140/90 mmHg pada pasien lanjut usia.[1,2,6,7]
Terapi antihipertensi lini pertama meliputi diuretik thiazide, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blockers (ARB), dan calcium channel blockers. Obat antihipertensi lini sekunder meliputi loop diuretic, potassium-sparing diuretic, antagonis aldosteron, beta blocker, alpha-1 blocker, obat kerja sentral, dan vasodilator kerja langsung.[1,7,17]
Manajemen Preoperatif
Manajemen preoperatif meliputi evaluasi risiko klinis pada hari operasi untuk mencegah komplikasi intraoperatif maupun pascaoperatif. Pada pasien dengan riwayat hipertensi sebelumnya, kontrol tekanan darah perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi perioperatif.
Pertimbangan Kontinuitas Obat Antihipertensi Preoperatif
Saat ini, masih terdapat perdebatan mengenai pilihan obat antihipertensi yang terbaik atau yang harus ditentang pada masa perioperatif operasi. Secara umum, banyak panduan menyatakan bahwa pasien boleh tetap mengonsumsi obat antihipertensinya hingga hari jadwal operasi.[1,7]
Diuretik:
Obat diuretik perlu dihentikan sementara saat pasien berpuasa sebelum operasi. Namun, pada pasien dengan riwayat penyakit jantung kongestif, diuretik, seperti furosemide, dengan dosis normal atau rendah dipertimbangkan dapat tetap diberikan. Keputusan ini harus mempertimbangkan kondisi tekanan darah pasien, hasil auskultasi paru, dan pemeriksaan penunjang.[1]
Beta Blocker:
Beberapa studi mengungkapkan bahwa obat beta blocker dapat diteruskan hingga hari jadwal operasi pada pasien hipertensi yang sudah dalam pengobatan. Obat beta blocker atau obat yang bekerja sentral seperti clonidine tidak direkomendasikan untuk dihentikan secara tiba-tiba karena dapat membahayakan kondisi pasien. Namun, pemberian beta blocker tidak boleh diinisiasi segera sebelum operasi karena berisiko menyebabkan bradikardia, stroke, dan kematian.[1,7]
ACE-inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker:
Sebelumnya, berbagai praktisi menyarankan penghentian ACE-inhibitor sebelum operasi kardiak. Hal ini didasarkan pada studi yang mengungkapkan efek kontinuitas pemberian ACE-inhibitor dengan hipotensi intraoperatif, stroke, infark miokard, dan kematian pada pasien.
Berdasarkan sebuah studi metaanalisis dengan total 6022 pasien yang menjalani operasi nonkardiak, pemberian ACE-inhibitor dan ARB pada hari operasi berhubungan dengan hipotensi intraoperatif, akan tetapi tidak terdapat perbedaan dalam tingkat mortalitas, kejadian kardiak, stroke, dan gagal ginjal akut, atau masa perawatan di rumah sakit.
Panduan ACC/AHA merekomendasikan keberlanjutan pemberian ACE-inhibitor perioperatif, dan jika dihentikan, pemberian harus dilanjutkan segera setelah setelah operasi dengan mempertimbangkan kondisi klinis pasien. Beberapa praktisi juga masih tetap memberikan terapi ACE-inhibitor dan ARB pada pasien dengan penyakit jantung kongestif.[1,7]
Renin-Angiotensin-System (RAS) Inhibitor:
Pada pasien yang menjalani operasi nonkardiak, penghentian sementara obat renin-angiotensin-system (RAS) dapat dipertimbangkan.[7]
Evaluasi Hipertensi pada Hari Operasi
Pada hari operasi, pasien harus memiliki tekanan darah normal. Tekanan darah pasien bisa saja meningkat dipengaruhi oleh kecemasan yang mana kondisi ini biasanya dapat tertangani dengan pemberian anestesi, analgesik, dan antihipertensi.[1]
Penundaan operasi umumnya tidak diperlukan pada hipertensi derajat 1 atau 2. Pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg yang tidak memiliki riwayat hipertensi, atau memiliki riwayat hipertensi dan telah mengonsumsi obat antihipertensi pada hari operasi, operasi elektif harus ditunda hingga tekanan darah terkontrol.[1,3,6]
Jika tekanan darah sistolik ≥180 mmHg atau diastolik ≥110 dan pasien belum meminum obat antihipertensi pada hari jadwal operasi, minta pasien mengonsumsi obatnya secara oral, atau berikan obat antihipertensi secara intravena.[1]
Pada pasien yang membutuhkan operasi emergensi, meskipun tekanan darah sistolik ≥180 mmHg atau tekanan darah belum terkontrol secara adekuat, operasi dapat dilakukan dengan kewaspadaan dan mempertimbangkan keseluruhan kondisi kesehatan pasien. Pemeriksaan EKG dan echocardiography terbaru perlu dievaluasi untuk menilai fungsi kardiak secara cepat. Pemantauan tekanan darah harus dilakukan secara hati-hati dengan pasien disarankan terpasang arterial line.[1]
Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif bertujuan untuk untuk mencapai tekanan darah yang optimal selama operasi. Pemberian anestesi, obat analgesik, antihipertensi, dan obat lainnya disesuaikan dengan berbagai faktor seperti tekanan darah pada hari operasi, adanya komplikasi organ sebelumnya, dan komorbiditas masing-masing pasien. Strategi penurunan tekanan darah juga harus memperhatikan risiko terjadinya hipotensi selama operasi.[1,3]
Evaluasi Intraoperatif
Pengukuran tekanan darah perlu dilakukan secara kontinyu setidaknya setiap 5 menit sekali selama operasi berlangsung untuk mendeteksi perubahan yang berisiko menyebabkan komplikasi. Saat ini, belum ada standar khusus yang mendefinisikan hipertensi atau hipotensi selama masa operasi. Namun, terdapat beberapa rekomendasi target tekanan darah sistolik, diastolik, serta mean arterial pressure (MAP) yang optimal selama operasi.[1,2,9,20]
Berbagai studi mengungkapkan bahwa tekanan darah >130 mmHg berhubungan dengan peningkatan komplikasi kardiovaskular. Studi lain mengungkapkan bahwa tekanan darah diastolik perlu dijaga dalam ambang 70–90 mmHg selama masa operasi.[1]
Pada umumnya, target MAP selama operasi harus >60 mmHg. Berbagai studi menunjukkan bahwa nilai MAP yang rendah selama operasi berhubungan dengan kejadian infark miokard, gagal ginjal akut, dan bahkan kematian. Studi lain mengungkapkan bahwa MAP selama operasi yang optimal berada dalam ambang 65–110 mgHg.[4,21]
Farmakoterapi
Hipertensi preoperatif biasanya merupakan hipertensi urgensi yang tidak menyebabkan kerusakan organ sehingga penurunan tekanan darah dapat dilakukan secara bertahap. Beta blocker seperti labetalol dan metoprolol dapat diberikan untuk menangani hipertensi intraoperatif. Pada pasien dengan riwayat hipertensi yang tidak terkontrol, pemberian beta blocker dapat menurunkan tekanan darah tanpa menyebabkan takikardia.[1,10]
Pada kondisi hipertensi emergensi, MAP perlu diturunkan sebanyak 25% dalam 1 jam pertama terapi dengan target tekanan darah 160/100–110 mmHg dalam 2–6 jam selanjutnya. Obat antihipertensi intravena seperti nitroprusside, nicardipine, dan nitrogliserin dapat diberikan pada kondisi ini. Penyesuaian dosis secara cepat dapat dilakukan dengan pemantauan ketat melalui arterial line.[1,3,10]
Bila kondisi pasien telah stabil, terapi dapat dilanjutkan dengan pemberian hidralazin untuk kontrol jangka panjang dan untuk memudahkan weaning dari terapi infus tersebut. Pemberian hidralazin dengan titrasi dosis 2,5, 5, atau 10 mg dapat efektif untuk menurunkan kebutuhan infus antihipertensi, dan memudahkan transisi ke antihipertensi oral.[1]
Manajemen Pascaoperatif
Hipertensi akut dapat terjadi dalam 20 menit pertama pascaoperasi dan dapat berlangsung hingga 3–4 jam. Beberapa studi merekomendasikan terapi antihipertensi dimulai bila tekanan darah pascaoperasi >160/90 mmHg atau terdapat peningkatan >20% dari tekanan darah preoperasi.[3]
Manajemen hipertensi perioperatif dimulai dengan menangani faktor pencetus seperti nyeri, distensi kandung kemih, hipervolemia, hipoksia, hiperkarbia, dan hipotermia. Kontrol tekanan darah pascaoperasi bertujuan untuk melindungi perfusi dan fungsi organ.[3]
Terapi Suportif
Hipertensi dan krisis hipertensi perioperatif dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya nyeri, hipervolemia, hipoksia, hiperkarbia, dan hipotermia. Oleh karena itu, terapi suportif untuk menangani faktor-faktor tersebut sangat penting.
Terapi suportif meliputi penanganan terhadap nyeri dengan memberikan analgesik, penanganan hipervolemia dengan mengatur pemberian cairan, penanganan hipoksia dengan pemberian oksigen, penanganan hiperkarbia dengan pengaturan elektrolit dan penanganan hipotermia dengan pengaturan suhu yang tepat.[1–3]
Obat Antihipertensi
Hipertensi perioperatif yang berkaitan dengan intubasi trakea, insisi bedah, dan obat-obatan anestesi dapat diterapi dengan penghambat beta yang bekerja cepat (short-acting beta blockers), ACE inhibitor, calcium channel blockers (CCB), atau vasodilator.[10,17,22]
Nicardipine
Nicardipine merupakan golongan penghambat saluran kalsium (CCB) yang tersedia dalam sediaan intravena dan oral. Nicardipine dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah koroner sehingga dapat digunakan untuk mengurangi iskemik kardiak dan serebral.[17,22]
Dosis infus awalan adalah 5 mg/jam, ditingkatkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga maksimal 15 mg/jam sampai mencapai tekanan darah yang diinginkan. Mula kerja nicardipine intravena adalah 5 sampai 15 menit dengan lama kerja 4 sampai 6 jam.[10]
Labetalol
Labetalol merupakan kombinasi golongan penghambat selektif reseptor alfa-1-adrenergik dan penghambat nonselektif penghambat reseptor beta-adrenergik. Obat ini dapat diberikan kepada pasien krisis hipertensi pada kehamilan karena obat ini tidak (atau sangat sedikit) melewati plasenta.
Labetalol juga dapat digunakan untuk pasien dengan diseksi aorta akut, iskemik miokardial akut, stroke iskemik akut dan perdarahan intraserebral. Mula kerja obat ini adalah 2 sampai 5 menit setelah pemberian secara intravena, mencapai puncak kerja 5–15 menit setelah pemberian intravena dan bertahan 2 sampai 4 jam setelah pemberian.[10,22]
Dosis awalan adalah 5–20 mg secara intravena lalu tingkatkan dosis sebanyak 2 kali lipat setiap 10 menit. Lanjutkan titrasi dosis hingga target tekanan darah tercapai. Pemberian secara infus harus dengan titrasi dosis 1–2 mg/menit. Penambahan dosis 10–20 mg dapat dilakukan selama pemberian infus. Dosis maksimal labetalol sebesar 300 mg dalam 24 jam.[10]
Esmolol
Esmolol merupakan golongan penghambat reseptor beta adrenergik kardioselektif yang memiliki mula kerja sangat cepat (60 detik) dan lama kerja yang pendek (10–20 menit). Obat esmolol dimetabolisme di dalam sel darah merah dan tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal. Esmolol menurunkan tekanan arterial dengan menurunkan denyut jantung, kemampuan kontraksi miokard dan cardiac output.[10,22]
Esmolol dapat digunakan untuk pasien hipertensi berat pasca operasi dengan denyut jantung dan cardiac output yang meningkat. Obat ini juga dapat diberikan untuk pasien hipertensi dengan penyakit iskemik miokardial akut.[22]
Dosis awalan obat esmolol yang digunakan adalah 0,5 mg/kg dalam bolus, diikuti dengan pemberian secara infus dengan dosis 0,05–0,2 mg/kg/menit. Naikkan dosis sebanyak 0,05 mg/kg/menit tiap 5 menit tergantung respon, dan ulang pemberian bolus setiap 5 menit. Dosis maksimum esmolol adalah 300 µg/kg/menit.[10]
Obat ini sebaiknya tidak diberikan kepada penderita penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) karena dapat memicu terjadinya bronkospasme. Obat ini juga merupakan kontraindikasi pada pasien yang sudah menggunakan terapi hipertensi golongan penghambat beta, pasien bradikardia dan gagal jantung.[10,22]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani