Penatalaksanaan Keloid
Penatalaksanaan keloid bersifat multimodal, mencakup terapi farmakologis, nonfarmakologis, dan pembedahan akan tetapi belum terdapat standar terapi baku atau penentuan kombinasi terapi yang paling efektif dan aman.
Masih diperlukan penelitian untuk menentukan standar baku terapi atau kombinasi terapi mana yang paling efektif dan aman karena metode aplikasi terapi yang berbeda-beda, dosis yang bervariasi, bias terkait evaluasi, hasil studi yang inkonsisten, dan metode evaluasi terapi yang tidak seragam. Diperkirakan terapi kombinasi lebih efektif karena bekerja melalui dua mekanisme atau lebih dan mengurangi toleransi.[4]
Algoritma Penatalaksanaan Keloid
Tata laksana keloid dimulai dengan membedakan antara keloid minor dan mayor. Keloid lalu diterapi dengan menggunakan terapi farmakologis berupa pemberian kortikosteroid intralesi atau fluorourasil, terapi nonfarmakologis (yang paling direkomendasi adalah terapi laser fraksional), serta eksisi bedah dengan adjuvan.
Algoritma tata laksana keloid berdasarkan Updated International Clinical Recommendation on Scar Management (UICRSM) dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan keloid berdasarkan UICRSM. a) Cryoterapi bersifat opsional. b) Laser ablatif fraksional adalah terapi laser inisial yang direkomendasikan.[1,2,9]
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis untuk keloid mencakup injeksi kortikosteroid intralesi, yang mana triamcinolone acetonide adalah pilihan obat paling umum digunakan, fluorouracil (5-FU), verapamil atau agen hipertensi lain, botulinum toksin, agen kemoterapi seperti bleomycin atau mitomycin, agen imunoterapi seperti interferon, imiquimod, dan avotermin, serta asam retinoat. Terdapat juga terapi farmakologis yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut, seperti tacrolimus atau sirolimus.
Injeksi Kortikosteroid Intralesi
Injeksi triamcinolone acetonide merupakan kortikosteroid yang paling sering digunakan untuk keloid.[1,4] Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dan antialergi yang kuat dan jangka panjang.
Triamcinolone bekerja dengan mengurangi mediator proinflamasi, mengurangi sintesis kolagen dan glikosaminoglikan, menghambat kecepatan pertumbuhan fibroblas, dan mendegenerasi kolagen dan fibroblas. Kortikosteroid juga diduga menginduksi vasokonstriksi.
Triamcinolone acetonide diinjeksi dengan konsentrasi 40 mg/mL sebanyak 1-2 kali perbulan untuk resolusi keloid. Efek samping mencakup perubahan pigmentasi (hipo atau hiperpigmentasi), nyeri, atrofi jaringan, telangiektasia, dan nekrosis aseptik kepala femur.[1,3,4,7,9]
Anestesi regional/topikal dapat digunakan untuk mengurangi nyeri terkait injeksi intralesi.[9] Steroid juga tersedia dalam bentuk tape, plaster, dan salep.[7]
Fluorouracil
Fluorouracil (5-FU) bekerja dengan mengganggu replikasi DNA dalam sel yang membelah dengan menghambat sintesis pirimidin timidin dan berkompetisi dengan urasil.[4]
Fluorouracil juga bekerja dengan mekanisme antiangiogenesis, antiproliferasi fibroblas, dan antiekspresi kolagen tipe I. 5-FU diberikan melalui injeksi intralesi. Parut yang diinjeksi 5-FU intralesi dengan konsentrasi 50 mg/mL setiap minggu selama 12 minggu menunjukkan pengurangan ukuran.[7]
Fluorouracil direkomendasikan bila respons terhadap kortikosteroid intralesi inadekuat. Kombinasi 5-FU dan kortikosteroid merupakan kombinasi paling efektif setelah 2-3 bulan terapi keloid minor tanpa perbaikan dan 3-4 bulan terapi keloid mayor tanpa perbaikan. Umumnya 50-70% parut merespons baik terhadap 5-FU.[1]
Efek samping yang mungkin terjadi adalah nyeri, perasaan terbakar, hiperpigmentasi, purpura, sloughing superfisial, dan ulserasi.[3,7,10] 5-FU dikontraindikasikan pada pasien hamil, anemia, leukopenia, trombositopenia, supresi sumsum tulang, dan infeksi.[1,9]
Agen Antihipertensi
Verapamil adalah obat antihipertensi jenis calcium-channel blocker yang memiliki efek terhadap keloid. Verapamil bekerja dengan meregulasi keseimbangan remodeling fibroblas dan matriks ekstraseluler dengan meningkatkan sintesis prokolagenase.
Verapamil juga menghambat sitokin yang sering ditemukan meningkat pada keloid yaitu IL-6, VEGF, dan TGF-β1. Perbaikan klinis parut ditemukan pada kelompok yang menerima verapamil intralesi dengan efek samping lebih sedikit.[4]
Verapamil juga dapat digunakan pasca eksisi. Injeksi intralesi diberikan 2,5 mg/mL setiap bulan selama 4 bulan.[4,10]
Agen antihipertensi lain yang memiliki potensi sebagai terapi keloid adalah ACE-I (angiotensin-converting enzyme inhibitor). Krim kaptopril 5% topikal 2 kali per hari selama 6 minggu mengurangi ketinggian parut, eritema, dan gatal tanpa efek samping topikal maupun sistemik.
Krim kaptopril ini tidak tersedia di Indonesia. Enalapril oral 10 mg per hari juga menunjukkan perbaikan klinis pada keloid. Enalapril dihindari pada pasien dengan gagal ginjal akut, insufisiensi ginjal kronik, atau penyakit kolagen vaskuler.[10]
Botulinum Toxin Tipe A
Botulinum toxin tipe A (BTX-A) menunjukkan efektivitas terhadap keloid dalam studi pada tikus. Kombinasi dengan triamcinolone juga menunjukkan potensi.[4] Toksin botulinum mengurangi tegangan otot sehingga menghentikan siklus fibroblas pada kondisi nonproliferatif, dan memengaruhi ekspresi TGF-β1.
Toksin diberikan melalui injeksi intralesi sebanyak 70-140 U dengan 3 sesi berjarak 1-3 bulan selama 3-9 bulan. Hasil terapi pada sebagian studi menunjukkan hasil baik dengan tingkat kepuasan pasien tinggi serta perbaikan dalam hal nyeri, gatal, dan konsistensi parut. Namun, sebagian studi lain menunjukkan inkonsistensi hasil. Toksin botulinum juga membutuhkan biaya yang cukup tinggi.[3,7]
Agen Kemoterapi
Bleomisin merupakan terapi baru yang bekerja dengan mengurangi TGF-β1 untuk menginduksi apoptosis dan menghambat sintesis kolagen. Meskipun demikian, belum ada studi yang membuktikan keunggulan efektivitas terapi ini dibandingkan modalitas lain.[3,4,7]
Bleomisin diberikan melalui injeksi intralesi atau tattooing 1,5 IU/mL atau 0,4 mg/mL setiap bulan sebanyak 2-6 sesi. Efek samping antara lain nyeri lokasi injeksi, ulserasi, krusta, atrofi, dan hiperpigmentasi. Tidak ada efek samping sistemik yang dilaporkan dengan pemberian subkutan dosis kecil.[3,7,9]
Mitomisin adalah cross-linker DNA yang menghambat sintesis DNA dan menginduksi fragmentasi DNA. Injeksi intralesi meningkatkan risiko ulserasi. Sementara aplikasi mitomisin secara topikal pada keloid pascaoperasi mengurangi gejala gatal dan nyeri serta mengurangi tingkat rekurensi.[10]
Tamoxifen menunjukkan efek menghambat proliferasi fibroblas, menghambat kontraksi kolagen, dan mengurangi produksi TGF-β1 pada jaringan keloid terkultur. Aplikasi klinis masih membutuhkan studi lebih lanjut.[3]
Sebuah studi melaporkan penurunan fibroblas dan serabut kolagen pada jaringan keloid yang diinjeksi dengan tamoxifen 20 mmol/L (0,01 mL/cm2) sekali seminggu selama 8 minggu.[10]
Agen Imunoterapi
Interferon (IFN) terdiri dari sitokin yang memiliki efek antiproliferatif dan antifibrotik. Dengan menghambat kerja TGF-β, IFN mengurangi sintesis kolagen dan proliferasi fibroblas.[7] IFN juga meningkatkan kadar kolagenase dan menghambat MMP.[3]
Beberapa studi melaporkan hasil yang baik dari kombinasi IFN α-2b dan injeksi triamcinolone acetonide. [7] IFN juga dimanfaatkan sebagai terapi adjuvan pascaeksisi. Efek samping IFN mencakup nyeri dan inflamasi pada lokasi injeksi serta gejala sistemik menyerupai flu. [3,7] IFN diberikan melalui injeksi intralesi.[10]
Imiquimod adalah imunomodulator topikal yang yang memicu produksi sitokin proinflamasi, yakni IFN-α, TNF, IL-6, IL-12, sehingga menginduksi ekspresi gen apoptosis pada jaringan keloid. Sediaan yang digunakan adalah krim imiquimod 5%, biasanya digunakan setiap malam selama 8 minggu.
Imiquimod menunjukkan potensi sebagai terapi adjuvan pascaeksisi. Efek samping meliputi hiperpigmentasi, eritema, krusta, iritasi, erosi, dan nyeri, sehingga kadang memerlukan penghentian terapi sementara.[3,10]
Avotermin adalah rekombinan TGF-β3 manusia. Injeksi avotermin intradermal menunjukkan perbaikan penampilan dan luas parut dibandingkan plasebo. Analisis histologis menampakkan susunan kolagen yang lebih beraturan. Efek samping mencakup eritema dan edema.[3]
Asam Retinoat
Asam retinoat mengurangi produksi kolagen oleh fibroblas. Asam retinoat digunakan dengan sediaan 0,05% setiap malam selama 12 minggu menunjukkan efek perbaikan klinis pada uji klinis. Dermatitis kontak iritan merupakan efek samping potensial.[3]
Potensi Terapi yang Masih Memerlukan Penelitian Lebih Lanjut
Terapi lain untuk keloid yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut antara lain tacrolimus, sirolimus, doxorubicin, epidermal growth factor (EGF) terapi genetik, dan scaffold hidrogel. Ekstrak bawang juga memiliki potensi manfaat sebagai terapi kombinasi untuk mengurangi nyeri, gatal, dan elevasi parut.[3,10]
Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis untuk keloid mencakup penggunaan produk berbasis silikon, terapi laser, terapi tekanan, cryotherapy, radiasi, lipotransfer, serta terapi sel mesenkimal.
Produk Berbasis Silikon
Produk berbasis silikon merupakan terapi inisial parut patologis. Pedoman Updated International Clinical Recommendation on Scar Management (UICRSM) merekomendasikan silikon dan kortikosteroid intralesi selama 2–3 bulan. Silikon memiliki sediaan lembaran (sheet) dan gel. Silikon digunakan 12–24 jam sehari.[1]
Dressing oklusif yang mengandung silikon menimbulkan efek antikeloid melalui mekanisme oklusi dan hidrasi parut. Dressing yang disertai tekanan efektif menghasilkan perbaikan klinis pada parut.[3]
Terapi Laser
Laser bekerja dengan merusak pembuluh darah sehingga membatasi sitokin inflamasi yang mencapai parut. Terapi laser efektif, tetapi berisiko merusak jaringan normal di sekitarnya dan menimbulkan efek samping.
Pedoman UICRSM merekomendasikan ditambahkannya terapi laser untuk parut yang tidak membaik dengan injeksi 5-FU/steroid setelah 2–3 bulan, yang mana lebih dini pada keloid mayor.Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah hiperpigmentasi, hipopigmentasi, lepuh, dan purpura pasca tindakan.[1,4,7,9]
Laser yang umum digunakan adalah PDL (pulsed dye laser), IPL (intense pulsed light), laser CO2 terfraksionasi, dan YAG. Namun studi follow-up dan uji acak terkontrol multisenter terkait terapi ini masih terbatas. Kendati data masih terbatas, sebagian anggota panel dari pedoman UICRSM merekomendasikan laser CO2 ablatif fraksional dibandingkan PDL. [1,4]
Terapi Tekanan
Terapi tekanan mengurangi sintesis kolagen melalui kompresi mekanik yang menginduksi hipoksia dan meregulasi MMP. Pressure garment dikenakan minimal 23 jam sehari selama 6–24 bulan dengan tekanan 20-40 mmHg. Hal ini sering menimbulkan masalah compliance pada pasien. Efek samping mencakup ruam, erosi kulit, gatal, bengkak, deformitas tulang, dan bau.[9]
Cryoterapi
Cryoterapi telah digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan modalitas lain seperti injeksi kortikosteroid. Cryoterapi bekerja dengan merusak vaskularisasi sehingga menginduksi nekrosis jaringan. Cryoterapi dapat diaplikasikan dengan semprotan, kontak, atau jarum intralesi cryoprobe.
Cryoprobe menunjukkan hasil paling optimal dengan reepitelialisasi cepat. Cryoprobe intralesi juga meminimalisasi pengaruh terhadap kulit sehat sekitar parut. Sel yang berbeda memiliki sensitivitas berbeda terhadap suhu, yaitu -4 hingga -7 derajat Celsius untuk melanosit dan -30 hingga -35 derajat Celsius untuk fibroblas. Karena itu, terapi ini dapat menyebabkan hipopigmentasi signifikan. Efek samping lain mencakup lepuh, nyeri lokal, dan hiperpigmentasi.[3]
Radioterapi
Radioterapi menunjukkan efektivitas sebagai terapi keloid. Radiasi bekerja melalui aktivitas antiangiogenesis dan antifibroblas. Supresi angiogenesis mengurangi penghantaran sitokin inflamasi, sementara inhibisi fibroblas mengurangi sintesis kolagen.
Radioterapi biasanya dilakukan sebagai terapi adjuvan 24-48 jam setelah revisi bedah. Dosis radiasi yang direkomendasikan adalah 40 Gy dalam beberapa sesi terpisah untuk meminimalisasi efek samping.[7]
Regimen radioterapi bervariasi dalam hal jenis radiasi seperti brachiterapi, sinar elektron, sinar X, waktu setelah operasi, dan durasi terapi. Parameter radiasi juga bervariasi seperti dosis, fraksionasi, luas dan kedalaman terapi. Radiasi dapat diberikan melalui terapi sinar eksternal dan brachiterapi.[10]
Terapi sinar eksternal membutuhkan dosis lebih tinggi dan mengekspos kulit normal. Brachiterapi menggunakan kateter ke dalam lesi sehingga terapi lebih terarah. Brachiterapi dapat diberikan dengan kecepatan dosis tinggi atau rendah. Dosis rendah membutuhkan periode pengobatan lebih lama dan rawat inap sehingga kurang praktis.[3]
Patch kulit radioaktif menunjukkan efektivitas yang bervariasi terhadap keloid. Risiko karsinogenesis pada radioterapi rendah, tetapi tata laksana pada area rentan seperti tiroid dan payudara dilakukan dengan penuh kewaspadaan setelah pasien memberikan informed consent.[7]
Umumnya radioterapi tidak direkomendasikan untuk pasien hamil, anak <12 tahun, dan lokasi radiosensitif. [3] Komplikasi akut dapat terjadi 7-10 hari pasca terapi berupa eritema, pigmentasi, epilasi atau deskuamasi. Terdapat juga komplikasi jangka panjang berupa parut, pigmentasi permanen, depigmentasi, atrofi, telangiektasis, fibrosis subkutan, dan nekrosis beberapa minggu pasca terapi.[10]
Lipotransfer
Fat graft autolog atau lipotransfer yang diinjeksikan ke dalam atau ke bawah luka menunjukkan efektivitas dengan efek samping minimal. Mekanisme kerja diduga karena jaringan lemak membawa stem cell mesenkimal ke jaringan parut.[7]
Lemak diproses untuk membuang lipid dan sel darah kemudian diinjeksikan. Injeksi dapat dilakukan tiap 8-12 minggu dan diulang hingga 4 kali.[11]
Terapi Stem Cell Mesenkimal
Terapi stem cell mesenkimal atau mesenchymal stem cell (MSC) menunjukkan efek imunomodulasi, antiinflamasi, dan antifibrosis. Metode aplikasi dan dosis yang digunakan berbeda-beda.
MSC dapat diberikan melalui injeksi sistemik, injeksi lokal (intralesi, intradermal, atau subkutan), atau scaffold jaringan. Studi klinis jangka panjang masih diperlukan sebelum modalitas ini dapat diaplikasikan secara klinis.[7]
Kandidat stem cell lain yang sedang dalam penelitian adalah adipose tissue-derived mesenchymal stem cell (ASC), Wharton’s jelly stem cell (WJSC), dan stem cell amnion.[10]
Pembedahan
Pembedahan dapat berupa eksisi total dilanjutkan penutupan primer atau eksisi shave kemudian dibiarkan menyembuh secara sekunder.[3] Untuk keloid lebar yang tidak dapat ditutup secara primer, dapat dipertimbangkan prosedur skin graft, flap, dan ekspansi jaringan.[2]
Terapi bedah dapat meredakan gejala dengan cepat, tetapi angka rekurensi sangat tinggi, mencapai 45-100%. Untuk mencegah rekurensi, penutupan luka setelah pembedahan harus dilakukan tanpa tegangan dan disertai dengan terapi adjuvan. Terapi bedah tidak disarankan pada pasien anak karena tingkat rekurensi yang lebih tinggi.[1,2,7]
Terapi Adjuvan Pasca Bedah
Terapi adjuvan pasca bedah yang direkomendasikan antara lain silikon, kortikosteroid intralesi, dan 5-FU. Bukti paling kuat mengarah pada 5-FU sebagai pilihan terapi pasca eksisi. Radioterapi adalah pilihan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko rekurensi pasca bedah pada pasien dewasa.[1,2,7]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri