Pendahuluan Luka Bakar
Luka bakar merupakan kerusakan jaringan yang dapat disebabkan oleh suhu, listrik, friksi, bahan kimia, dan radiasi. Berdasarkan kedalaman luka pada kulit, luka bakar diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok. Luka bakar derajat 1 hanya mengenai lapisan kulit superfisial. Sementara itu, luka bakar derajat 3 melibatkan struktur otot, tulang, serta hilangnya struktur kulit yang mengalami trauma.[1,2]
Luka bakar yang disebabkan oleh perubahan suhu (thermal burn) dapat memicu mediator–mediator inflamasi, yang kemudian dapat berkembang menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Pada kondisi berat, SIRS dapat menjadi Multiple Organ Dysfunction (MODS) dan berujung kematian.[1]
Dalam diagnosis, dokter perlu menentukan derajat kedalaman luka bakar. Selain itu, estimasi luas luka bakar juga penting karena akan terkait dengan penatalaksanaan. Luas luka bakar dapat dihitung dengan berbagai metode seperti tabel Lund-Browder dan “Rule of Nine”.[1,2]
Lokasi luka bakar juga akan menentukan pendekatan tata laksana. Lokasi pada wajah, terutama yang dicurigai menyebabkan trauma inhalasi, serta luka bakar pada tangan, kaki, dan genitalia cenderung memerlukan tata laksana spesialistik.
Untuk luka bakar yang diklasifikasikan sebagai derajat berat, resusitasi cairan harus dilakukan untuk mempertahankan output urine di atas 0,5 ml/kg/jam. Salah satu formula resusitasi cairan yang umum digunakan pada kasus luka bakar adalah formula Parkland.
Pada pasien yang dicurigai mengalami cedera inhalasi, kadar karboksihemoglobin harus diperiksa. Pasien harus diberikan oksigen aliran tinggi sampai keracunan karbon monoksida dapat dieksklusi.[2]
Secara umum, lesi luka bakar dibersihkan dengan lembut dan ditutup dengan pembalut bersih. Debridement ekstensif dan aplikasi krim atau salep antimikroba topikal mungkin diperlukan. Apabila ada indikasi, eskarotomi mungkin diperlukan, misalnya pada kasus dimana luka bakar menyebabkan sindrom kompartemen.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Maria Rossyani