Patofisiologi Luka Bakar
Patofisiologi luka bakar berhubungan dengan denaturasi protein dan koagulasi nekrosis pada area yang terkena, serta respon inflamasi tubuh secara sistemik. Beberapa faktor yang memengaruhi respon tubuh pasca luka bakar antara lain adalah luas dan kedalaman luka bakar, etiologi luka bakar, keterlibatan trauma inhalasi, paparan terhadap toksin, serta ada-tidaknya trauma lain.[2,3]
Fase Inisial
Sesaat pasca trauma, bagian tubuh yang terkena luka bakar dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona koagulasi, zona stasis atau iskemia, serta zona hiperemia. Zona koagulasi adalah daerah dengan kerusakan selular paling besar dan terletak pada bagian tengah luka bakar. Zona stasis atau iskemia adalah daerah yang dapat diselamatkan dan mengalami penurunan perfusi jaringan. Zona hiperemia terletak pada bagian paling luar luka bakar dan merupakan zona dengan peningkatan respon inflamasi dan vasodilatasi.
Derajat kerusakan selular pada setiap zona berbeda bergantung terhadap beberapa faktor, yaitu respon autofagi selular yang terjadi 24 jam pasca trauma, delayed-onset apoptosis 24–48 jam pasca trauma, serta respon stres oksidatif reversibel. Proses penyembuhan luka bakar diinisiasi oleh neutrofil dan monosit yang mendatangi zona luka bakar melalui mekanisme vasodilatasi lokal.[2]
Fase Syok
Luka bakar berpotensi menimbulkan syok distributif yang menimbulkan penurunan perfusi serta oksigenasi jaringan karena adanya kebocoran kapiler intravaskular ke ruang interstitial. Pada fase selanjutnya, hal tersebut akan menyebabkan akumulasi cairan dan edema. Kebocoran kapiler tersebut berhubungan dengan adanya stres oksidatif, peningkatan kadar nitrit oksida, dan mediator inflamasi yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endotel vaskular.
Selain kebocoran kapiler, adanya stres oksidatif dan pelepasan beberapa mediator inflamasi seperti interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF) menyebabkan penurunan fungsi jantung, hipovolemia relatif, vasokonstriksi, dan penurunan aliran darah. Ini berkaitan dengan kerusakan beberapa organ, seperti jantung, paru, serta sistem gastrointestinal.[2]
Status Hipermetabolik
Status hipermetabolik pada luka bakar dapat bertahan hingga 36 bulan pasca trauma. Pada fase ini, beberapa zat, seperti hormon stres katekolamin dan glukokortikoid serta glukagon, menyebabkan peningkatan tekanan darah, resistensi insulin perifer, serta katabolisme glikogen, protein, dan lemak.
Pada akhirnya, status hipermetabolik pasca trauma akan menyebabkan peningkatan kebutuhan energi ketika fase istirahat, peningkatan suhu tubuh, kehilangan protein tubuh, muscle wasting, dan peningkatan sintesis protein fase akut, seperti insulin-like growth factor (IGF-1).[2]
Disregulasi Imunitas dan Infeksi
Selain hipovolemia dan respon hipermetabolik, luka bakar juga menyebabkan gangguan imunitas dan peningkatan risiko infeksi. Produksi sitokin dan kemokin yang terjadi pada luka bakar menyebabkan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Pada situasi ini, terjadi aktivasi sitokin yang tidak terkontrol, aktivasi leukosit, demam, hipotermia, takikardia, dan takipnea.
Walaupun terdapat peningkatan aktivitas sitokin, terdapat penurunan fungsi imunitas lain, seperti macrophage antigen presentation, neutrofil, proliferasi sel T, serta produksi IL – 2. Pada akhirnya, hal tersebut berpotensi menimbulkan penurunan respon imunitas adaptif sehingga pasien lebih rentan mengalami infeksi.[2]
Penulisan pertama oleh: dr. Maria Rossyani