Penatalaksanaan Hipertiroid
Penatalaksanaan hipertiroid dapat mencakup pemberian obat antitiroid, ablasi radioaktif iodine, dan pembedahan. Semua opsi terapi tersebut efektif untuk kasus Grave’s disease, sedangkan pada pasien toksik adenoma atau toksik multinodular goitre harus memilih ablasi radioaktif iodine dan pembedahan, karena perjalanan penyakitnya jarang mengalami remisi jika menggunakan medikamentosa saja.[1,3,5-7]
Obat Antitiroid
Obat antitiroid yang digunakan adalah propylthiouracil, carbimazole, dan methimazole. Mekanisme kerja golongan obat ini adalah menghambat oksidasi dan organifikasi iodine melalui inhibisi enzim tiroid peroksidase dan menghambat proses coupling iodotirosin menjadi T4 dan T3.
Khusus propylthiouracil mempunyai keuntungan lainnya yakni mampu mengurangi konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer. Pedoman European Thyroid Association merekomendasikan carbimazole dan methimazole sebagai obat pilihan pertama pada pasien Grave’s disease yang tidak hamil.[1,3,5-7]
Dosis propylthiouracil yang direkomendasikan adalah 50‒300 mg peroral, diberikan setiap 8 jam. Sementara, dosis methimazole adalah 5‒120 mg/hari peroral.[2]
Efek samping ringan terapi antitiroid adalah pruritus, artralgia, dan gangguan ringan saluran pencernaan. Sedangkan efek samping serius pada terapi ini adalah agranulositosis, hepatitis, dan vaskulitis.[5]
Terapi Ablasi Radioaktif Iodine
Terapi ablasi radioaktif iodine bisa digunakan sebagai terapi pilihan pertama untuk penatalaksanaan Grave’s disease, toksik adenoma, dan toksik multinodular goitre. Kontraindikasi absolut terapi ini adalah kehamilan, menyusui, sedang program hamil, ketidakmampuan untuk mematuhi rekomendasi keamanan radiasi, dan pada kasus active moderate-to-severe or sight-threatening Graves’ orbitopathy.[1,3,5-7]
Dosis optimal terapi radioaktif iodine menggunakan pendekatan dosis tetap dan dosis kalkulasi sesuai data tes radioaktif iodine uptake. Sejumlah penelitian menemukan tidak ada perubahan signifikan pada hasil terapi dengan dua pendekatan tersebut. Pada umumnya, dosis tetap 10‒15 mCi digunakan untuk Grave’s disease, sedangkan 10‒20 mCi untuk toksik nodular goitre.[5]
Efek samping akibat terapi radioaktif adalah memperburuk Graves orbitopathy dan menimbulkan tiroiditis akut. Tiroiditis akut akibat terapi radioaktif hanya bersifat sementara dan cukup diterapi dengan obat anti inflamasi, steroid, dan beta adrenergik bloker.[5]
Tiroidektomi
Hingga saat ini, tiroidektomi merupakan terapi paling sukses dalam mengobati hipertiroid akibat Grave’s disease dan toksik nodular goitre. Teknik near-total atau total thyroidectomy merupakan prosedur pilihan sesuai rekomendasi pedoman klinis.[1,5]
Tiroidektomi disarankan bagi pasien-pasien dengan karakteristik seperti ukuran goitre yang besar, low uptake of radioactive iodine, atau kombinasi keduanya. Tiroidektomi juga disarankan pada pasien suspek kanker tiroid, dan moderate-to-severe Graves orbitopathy. Kontraindikasi terapi ini adalah kehamilan. Efek samping tiroidektomi meliputi hipokalsemia akibat terangkatnya kelenjar paratiroid dan cedera pada recurrent laryngeal nerve.[5]
Terapi Lain
Terapi lain yang bisa diberikan pada pasien dengan hipertiroid antara lain penghambat beta adrenergik, agen iodine, dan glukokortikoid.
Penghambat Beta Adrenergik
Penghambat beta adrenergik yang biasa digunakan adalah atenolol atau propranolol. Penghambat beta adrenergik tidak mempengaruhi sintesis hormon tiroid, namun digunakan untuk mengontrol gejala seperti palpitasi dan aritmia. Penghambat beta adrenergik direkomendasikan pada semua pasien simptomatik, terutama pasien usia tua dengan denyut nadi istirahat > 90 kali per menit atau ada disertai kondisi kardiovaskuler.[1,3,5-7]
Propanolol lebih dipilih karena memiliki kemampuan menghambat konversi T3 menjadi T4 di perifer. Dosis propanolol yang dapat digunakan adalah 10‒40 mg peroral, diberikan setiap 8 jam. Sedangkan dosis atenolol adalah 25‒100 mg peroral, diberikan sekali sehari.[2]
Agen Iodine
Pada pasien yang alergi terhadap thionamide, agen iodine eliksir seperti saturated solution of potassium iodide (SSKI) dan potassium iodide-iodine atau Lugol solution bisa digunakan. Terapi ini memanfaatkan fenomena Wolff-Chaikoff, di mana pemberian dosis iodine dalam jumlah tertentu dapat menyebabkan inhibisi temporer organifikasi iodine pada kelenjar tiroid, sehingga mengurangi sintesis hormon tiroid. Namun, efek tersebut hanya bertahan sekitar 10 hari saja.[1,17]
Glukokortikoid
Glukokortikoid mampu menghambat konversi T4 ke T3 di jaringan perifer. Glukokortikoid dapat digunakan pada kasus hipertiroid yang berat atau badai tiroid (thyroid storm). Glukokortikoid yang dapat digunakan adalah prednison 20‒40 mg/hari peroral, maksimal selama 4 minggu.[2]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini