Patofisiologi Hemoroid
Patofisiologi hemoroid melibatkan peningkatan tekanan berlebihan pada pembuluh darah di rektum atau anus, seperti yang terjadi saat konstipasi, mengejan saat buang air besar, atau kehamilan. Tekanan ini menyebabkan pembuluh darah melebar dan membentuk tonjolan di dalam atau di sekitar anus. Selain itu, penurunan aliran darah ke area tersebut dan trauma akibat gesekan saat buang air besar juga dapat menyebabkan inflamasi dan edema.[1-3]
Anatomi
Anal kanal merupakan bagian terdistal dari saluran cerna. Panjang anal kanal pada orang dewasa sekitar 4-5 cm. Pada lumen anal kanal terdapat lipatan mukosa sirkumferensial yang dikenal dengan garis mukokutan atau linea dentata. Linea tersebut merupakan batas atas kanalis anus dengan rektum. Linea dentate akan menjadi pembeda hemoroid interna dan eksterna.[5]
Pada anal kanal terdapat bantalan. Bantalan tersebut mengandung submukosa, pembuluh darah, otot polos, jaringan ikat, serta sinusoid arteriovenosus. Hemoroid interna merupakan kelainan pada bantalan pembuluh darah dalam jaringan submukosa yang terdiri atas pleksus vena hemoroidalis superior di atas linea dentate.
Bantalan mayor terletak pada posterior dextra, lateral sinistra, dan anterior dextra kanal anal. Oleh karena itu hemoroid interna sering berada pada area tersebut. Sedangkan pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid inferior yang terletak di distal linea dentate tergolong hemoroid eksterna.[3,5]
Sistem Arteri
Aliran arteri mesenterika inferior berlanjut menjadi arteri hemoroidalis superior yang kemudian bercabang menjadi cabang utama kiri dan kanan, sedangkan arteri iliaka interna bercabang ke anterior menjadi arteri hemoroidalis medialis. Arteri pudenda interna bercabang menjadi arteri hemoroidalis inferior. Pembuluh darah superior dan inferior membentuk anastomomsis hingga terbentuk sirkulasi kolateral.[3]
Sistem Vena
Pada prinsipnya aliran vena menuju sistem vena porta atau sistem vena kava. Pleksus hemoroidalis internus berlanjut menjadi vena hemoroidalis superior lalu menuju mesenterika inferior, kemudian melalui vena lienalis menuju vena porta. Pada area ini, vena tidak memiliki katup. Oleh karena itu, tekanan intraabdomen sangat berperan dalam tekanan vena. Sementara itu, vena hemoroidalis inferior menuju vena pudenda interna, kemudian menuju vena iliaka interna dan sistem kava.[3]
Mekanisme Terjadinya Hemoroid
Pada pemeriksaan patologi anatomi pasien hemorhoid tampak perbedaan berupa dilatasi pleksus vena abnormal, proses degenerasi serat kolagen dan jaringan fibroelastik, thrombosis vaskular, distorsi serta ruptur otot subepitel anal (otot Treitz atau ligament suspensori mukosa) dan reaksi inflamasi. Beberapa mediator atau enzim seperti matriks metalloproteinase (MMP) yakni MMP-9 meningkat kadarnya pada hemoroid.
Enzim tersebut berkaitan dengan peningkatan degradasi serat elastin. Selain itu juga terjadi peningkatan ekspresi vascular endothelial growth factors (VEGF) yang berkaitan dengan neovaskularisasi. Studi juga menunjukkan peningkatan tekanan di dalam anus pada suasana istirahat.[3]
Peningkatan Tekanan Intraabdomen
Peningkatan tekanan intraabdomen, seperti pada kondisi mengejan saat buang air besar, meningkatkan risiko timbulnya hemoroid. Semua kondisi patologis yang mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdomen dapat menjadi faktor risiko hemoroid, contohnya pada pasien dengan batuk lama seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pada pasien yang sering mengejan akibat pembesaran prostat atau striktur uretra, serta pasien dengan lesi intraabdomen seperti tumor.
Pada peningkatan tekanan intrabadomen, bantalan anal akan mendapat tekanan. Jika terus berulang dalam jangka waktu lama bantalan anal dapat prolaps. Aliran balik vena terganggu hingga menimbulkan pelebaran pleksus hemoroidalis.[6]
Perdarahan pada hemoroid dapat timbul akibat trauma oleh feses dengan konsistensi keras. Perdarahan berwarna merah segar karena sesuai anatominya bantalan anal kanal kaya akan sinusoid arteriovenosus. Pleksus hemoroidalis kaya akan kolateral luas arteri hemoroidalis.[5,6]
Penulisan pertama oleh: dr. Debtia Rahmah