Diagnosis Krisis Hipertensi
Diagnosis krisis hipertensi dapat ditegakkan pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥120 mmHg. Pasien tanpa bukti kerusakan organ target ditetapkan sebagai kasus hipertensi urgensi, sedangkan pasien dengan bukti kerusakan organ target ditetapkan sebagai hipertensi emergensi. Tanda-tanda kerusakan organ yang terutama perlu diperhatikan adalah gejala neurologis dan gejala kardiovaskular.[14,16]
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus krisis hipertensi perlu berfokus untuk membedakan hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi. Ada tidaknya kerusakan organ target harus ditelusuri untuk menentukan apakah pasien membutuhkan terapi antihipertensi parenteral dan perawatan di unit intensif.[14,16]
Anamnesis
Anamnesis perlu mencakup derajat keparahan hipertensi sebelumnya dan apa sajakah obat yang sudah digunakan. Tanyakan juga apakah obat-obat tersebut telah digunakan secara teratur sesuai instruksi dokter dan bagaimanakah hasil pemeriksaan tekanan darah berkala selama terapi.[14,16]
Anamnesis yang berfokus kepada ada tidaknya kerusakan organ target juga penting dilakukan. Berikut adalah beberapa gejala yang harus digali pada krisis hipertensi:
- Gejala neurologis: penurunan kesadaran, parestesia, kejang, agitasi psikomotor, dan defisit neurologis
- Gejala kardiorespirasi: nyeri dada, sesak napas, aritmia
- Gejala sistem organ lainnya: pandangan kabur, edema, epistaksis, kelainan pada saluran kemih (oliguria, hematuria)[1–3,14,16]
Gejala klinis terkait kerusakan organ target yang mungkin ditemukan adalah infark serebral (24,5%), edema paru (22,5%), ensefalopati hipertensif (16,3%), dan gagal jantung kongestif (12%). Kondisi lain yang juga termasuk dalam kerusakan organ target adalah perdarahan intrakranial, diseksi aorta, infark miokard, gangguan retina, gagal ginjal akut, hingga eklamsia.[14,16]
Bila ada kegawatdaruratan, dokter harus menangani kegawatdaruratan terlebih dahulu. Bila kondisi pasien sudah stabil, dokter dapat melakukan anamnesis lebih mendalam, misalnya tentang riwayat komorbiditas. Riwayat komorbiditas yang terutama perlu diperhatikan adalah diabetes mellitus, dislipidemia, stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal kronis. Tanyakan juga gejala penyakit lain yang mungkin menjadi etiologi krisis hipertensi, misalnya pheochromocytoma dan penyakit Cushing.[1–3,14,16]
Pada wanita, tanyakan waktu menstruasi terakhir untuk melihat kemungkinan terjadinya kehamilan. Pada wanita hamil, krisis hipertensi bisa muncul karena hipertensi yang memang sudah diderita sebelumnya atau karena preeklamsia berat.[14,16]
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis krisis hipertensi dapat ditegakkan pada pasien dengan hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥120 mmHg. Akan tetapi, hasil pengukuran tekanan darah di unit gawat darurat perlu ditafsirkan dengan berhati-hati.[1–3]
Pengukuran tekanan darah di unit gawat darurat biasanya dilakukan dalam kondisi pasien cemas, tegang, atau kesakitan, sehingga bisa tampak lebih tinggi dari kondisi sebenarnya. Sebisa mungkin pengukuran dilakukan dalam kondisi pasien tenang dan sebaiknya diulang dalam interval minimal 1 jam. Ada bukti bahwa pada 30% pasien, tekanan darah yang sempat tinggi (derajat 3) menurun ke derajat 2 atau lebih rendah dalam 30 menit.[1–3]
Pada pemeriksaan nadi dan tekanan darah, perhatikan beberapa hal berikut:
- Periksa kondisi denyut nadi pada semua nadi perifer termasuk ekstremitas atas, karotis, femoral, dan ekstremitas bawah
- Ukur tekanan darah dengan teknik yang benar dan manset yang sesuai
- Ukur tekanan darah pada kedua lengan dan bila memungkinkan pada minimal salah satu tungkai
- Auskultasi nadi karotis dan abdominal untuk melihat adanya bruit
- Pemeriksaan kardiovaskular yang komprehensif sangat diperlukan[14,16]
Pemeriksaan fisik untuk mencari ada atau tidaknya kerusakan organ target juga harus dilakukan. Sebagai contoh, pengukuran tekanan darah pada kedua lengan (kiri dan kanan) dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan bermakna yang mengarah ke diseksi aorta.[14,16]
Pemeriksaan mata bisa dilakukan untuk menilai ada tidaknya perdarahan retina hingga eksudat dan edema papil yang mengarah ke hipertensi emergensi. Kenaikan tekanan vena jugularis, crackles pada auskultasi paru, dan edema perifer dapat mengarah ke gagal jantung kongestif. Pemeriksaan sistem saraf dan status mental juga dilakukan untuk melihat ada tidaknya gejala neurologis.[14,16]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus krisis hipertensi umumnya berupa berbagai etiologi yang mungkin mendasari. Etiologi krisis hipertensi dapat berupa hipertensi primer yang terapinya kurang optimal atau compliance terapinya buruk. Sementara itu, etiologi hipertensi sekunder bisa berupa gangguan ginjal, gagal jantung, kelainan kolagen vaskular, penyakit Cushing, pheochromocytoma, obat-obatan tertentu, preeklamsia, dan eklamsia.[2,4–8]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya dilakukan pada krisis hipertensi untuk mencari tahu ada tidaknya kerusakan organ target. Selain itu, pemeriksaan penunjang dapat menilai ada tidaknya etiologi pendasar tertentu.[1–3]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan fungsi ginjal dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya kerusakan ginjal. Selain itu, pemeriksaan urinalisis dan elektrolit juga dapat dilakukan. Pada pasien yang dicurigai mengalami kerusakan kardiovaskular, troponin dan pro-BNP (brain natriuretic peptide) bisa dipertimbangkan untuk diperiksa.[1–3,14,16]
Pada ibu hamil, pertimbangkan juga urinalisis untuk melihat ada tidaknya proteinuria. Pada pasien dengan kecurigaan sindrom Cushing, penilaian kortisol plasma dan tes supresi dexamethasone dapat dilakukan.[1–3,14,16]
Pemeriksaan Radiologi
Beberapa pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan:
Rontgen toraks untuk melihat ada tidaknya kardiomegali atau kongesti pulmonal
CT scan kepala untuk menilai ada tidaknya perdarahan intrakranial
Echocardiography untuk menilai ada tidaknya gagal jantung, iskemia, dan diseksi aorta
- CT angiografi toraks dan/atau abdomen untuk kecurigaan penyakit aorta
- USG ginjal untuk menilai kerusakan ginjal atau stenosis arteri ginjal[1–3,14,16]
Pemeriksaan Lainnya
Elektrokardiografi (EKG) bisa dilakukan untuk menilai apakah ada perubahan segmen ST dan T, bukti terjadinya left ventricular hypertrophy, iskemia, atau aritmia. Funduskopi dapat dilakukan untuk menilai kerusakan retina bila ada kecurigaan.[1–3,14,16]
Penulisan pertama oleh: dr. Wendy Damar Aprilano