Epidemiologi Gigitan Ular
Epidemiologi gigitan ular atau snake bite di Indonesia bervariasi, tergantung dari wilayah. Kasus gigitan ular sering ditemui di Indonesia, tetapi jarang tercatat menyebabkan kematian.[3]
Global
Insiden gigitan ular bervariasi bergantung pada musim. Insiden tertinggi terjadi selama musim bertanam dan musim hujan. Gigitan paling sering pada kaki dan pergelangan kaki pekerja pertanian yang bertelanjang kaki yang tergigit saat berjalan di malam hari atau saat bekerja di ladang dan sawah.[1,3]
Sekitar 50% gigitan ular adalah gigitan kering. Jumlah total gigitan ular setiap tahunnya bertambah 5.000.000 dengan mortalitas 125.000 di seluruh dunia. Termasuk 4.000.000 gigitan ular, 2.000.000 racun masuk melalui gigitan ular, dan 100.000 kematian akibat gigitan ular terjadi di Asia.[1,3]
Laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan, dengan insiden tertinggi pada anak dan dewasa muda. Wanita hamil yang terkena gigitan ular lebih berisiko kematian.[1,3,8]
Indonesia
Spesies yang penting secara medis yang ada di lebih dari 18.000 pulau adalah B. Candidus, N. Sputatrix, N. Sumatrana, C. Rhodostoma, T. albolabris, D. Siamensis. Sementara itu, di Papua dan Maluku adalah Acanthophis laevis.[3]
Walaupun kurang dari 20 kematian akibat gigitan ular dilaporkan tiap tahunnya, dicurigai terdapat ribuan kematian akibat gigitan ular lain yang tidak tercatat.[3]
Mortalitas
Tahun 1954, WHO memperkirakan sekitar setengah juta gigitan ular terjadi setiap tahunnya dan 30.000‒40.000 kematian terjadi akibat gigitan ular di seluruh dunia, dimana 25.000‒35.000 kematian terjadi di Asia setiap tahunnya.
Pada studi tahun 1988-1-989, didapatkan angka mortalitas gigitan ular sebesar 22% dengan 40% disebabkan jenis ular kobra. Hanya 3% korban yang berobat ke rumah sakit, 6% berobat ke fasilitas kesehatan primer, dan sisanya berobat dengan pengobatan tradisional dan herbal.
Faktor yang berkontribusi pada mortalitas gigitan ular adalah masalah pemilihan dan dosis anti bisa ular, keterlambatan penanganan, kematian saat perjalanan ke fasilitas kesehatan, obstruksi jalan napas, kegagalan mempertahankan ventilasi, kegagalan mengatasi hipovolemia, komplikasi infeksi, serta kegagalan mengobservasi perburukan di rumah sakit.[1,3]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini