Patofisiologi Gigitan Ular
Patofisiologi gigitan ular atau snake bite adalah melalui pengaruh toksin terhadap reseptor di sistem saraf, ginjal, jantung, proses pembekuan darah, endotel vaskular, dan efek lokalis gigitan ular.[1,3]
Komposisi Bisa Ular
Lebih dari 90% bisa ular adalah protein. Setiap bisa ular mengandung ratusan protein berbeda, seperti enzim (80‒90% pada jenis ular viperid dan 25‒70% pada racun elapid), racun non-enzimatik polipeptida, dan protein non-toksin seperti growth factor neuron.
Bisa ular juga bisa mengandung bahan nonprotein, termasuk karbohidrat dan logam (sering bagian dari enzim glikoprotein metaloprotein), lipid, asam amino bebas, nukleosida, dan amin biogenik seperti serotonin dan asetilkolin.
Zinc metalloproteinase atau metalloprotease hemorrhagin (metalloprotease bisa ular) mendegradasi komponen membran basal, mengakibatkan kerusakan sel dan perdarahan sistemik spontan. Fosfolipase A2 (lecithinase) merusak mitokondria, eritrosit, leukosit, trombosit, ujung saraf bebas, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran lainnya.
Mekanisme ini mengakibatkan aktivitas neurotoksik presinaptik, kardiotoksik, miotoksik, nekrosis, hipotensi, hemolisis, hemoragik, kebocoran plasma (edema), efek sedatif mirip opiat, dan pelepasan histamin dan autosida lainnya.
Asetilkolinesterase yang ditemukan pada bisa ular elapid, dapat menyebabkan fasikulasi. Hialuronidase selain mendorong penyebaran bisa ular pada jaringan karena meningkatkan permeabilitas, juga berkontribusi pada kerusakan jaringan. Neurotoksin mengikat reseptor asetilkolin pada motor endplate dan merusak ujung saraf bebas yang melepaskan asetilkolin, sehingga mengganggu transmisi saraf.[3]
Gigitan Kering
Gigitan kering adalah keadaan dimana seekor ular berbisa menyerang manusia dan menggigit, tetapi tidak mengeluarkan bisanya. Istilah ini disebut sebagai venomous snake bite without envenoming.
Jumlah bisa yang diinjeksikan pada gigitan sangat bergantung pada spesies dan ukuran ular, mekanisme gigitan, jumlah taring yang masuk satu atau keduanya, dan sekali gigitan atau berulang kali. Jumlah rata-rata bisa pada gigitan kering sekitar 60 mg pada N. naja, 13 mg pada E. carinatus, dan 63 mg pada D. russelii.
Walaupun ular yang lebih besar cenderung memasukkan bisa ular lebih banyak, tetapi ular yang lebih kecil atau muda cenderung mengandung bisa yang lebih berbahaya dan dapat mempengaruhi hemostasis. Hal ini karena variasi komponen bisa ular tergantung pada usia dan ukuran ular. Gigitan ular kecil sebaiknya tetap ditangani dengan serius seperti gigitan oleh ular besar.[3]
Efek Lokalis Bisa Ular
Bisa ular akan menyebabkan bengkak dan memar karena peningkatan permeabilitas vaskular akibat endopeptidase, metalloproteinase hemorrhagin, toksin polipeptida, fosfolipase, dan pelepasan autacoid endogen, seperti histamin, serotonin, dan sitokin.
Nekrosis jaringan lokal disebabkan oleh miotoksin dan sitotoksin, serta iskemia akibat trombosis. Nekrosis juga dapat terjadi akibat kompresi pembuluh darah dengan metode pemakaian torniquet yang terlalu ketat, atau karena pembengkakan otot pada kompartemen fasia.[3]
Hipotensi dan Syok
Kebocoran plasma atau darah pada tungkai yang digigit, atau perdarahan masif gastrointestinal dapat menyebabkan hipovolemia. Vasodilatasi dan efek langsung ke miokardium dapat menyebabkan hipotensi. Pada beberapa kasus, efek langsung pada miokardium dapat terdeteksi di perubahan elektrokardiografi (EKG).[3]
Perdarahan Dan Gangguan Pembekuan Darah
Enzim prokoagulan menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk fibrin di aliran darah. Namun, proses ini juga mengakibatkan gangguan koagulasi karena bekuan fibrin akan segera didegradasi oleh sistem plasmin fibrinolitik tubuh. Dalam 30 menit setelah gigitan, faktor pembekuan akan sangat kurang (consumption coagulopathy) sehingga darah akan sangat sulit membeku.[3]
Aktivasi Komplemen
Beberapa racun elapid dan colubridae mengaktifkan jalur komplemen alternatif. Sementara, racun viperid mengaktifkan jalur komplemen klasik yang berefek pada platelet, sistem pembekuan darah, dan mediator plasma lainnya.[3]
Neurotoksisitas Dan Miotoksisitas
Polipeptida neurotoksin dan PLA2 pada bisa ular dapat menyebabkan paralisis dengan menghambat transmisi di taut neuromuskular presinaptik. Pasien dengan paralisis otot bulbar dapat meninggal karena obstruksi jalan napas atas atau aspirasi. Namun, penyebab kematian tersering adalah paralisis respiratorik akibat kelemahan otot pernapasan.[3]
Gagal Ginjal Akut
Penyebab tersering gagal ginjal akut adalah nekrosis tubular akut. Namun, glomerulonefritis proliferatif, nefritis interstitial, mesangiolisis toksik dengan aglutinasi platelet, deposisi fibrin, perubahan iskemik, dan kerusakan tubulus distal, dapat menimbulkan efek langsung nefrotoksik akibat metalloprotease bisa ular.[3]
Peningkatan Permeabilitas Kapiler Sistemik
Metalloprotease dari racun dari spesies viperid dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sistemik yang dapat mengakibatkan edema pulmonal, efusi serosa, serta edema pada konjungtiva, periorbital, fasial, dan retina. Selain itu, pembengkakan parotis bilateral, albuminuria, dan hemokonsentrasi juga terjadi akibat peningkatan kapiler sistemik.[3]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini