Epidemiologi Henti Jantung Mendadak
Epidemiologi henti jantung mendadak sejalan dengan prevalensi penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskular lainnya.[1,8]
Global
Data dari WHO menunjukkan pada tahun 2016, penyakit kardiovaskuler menyebabkan 17,9 juta kematian setiap tahunnya, mewakili 31% dari total kematian dalam 1 tahun di seluruh dunia. Adapun henti jantung mendadak menyumbang 7 juta kematian per tahun di seluruh dunia.[1,2]
Insidensi henti jantung mendadak di Amerika Serikat dilaporkan adalah sekitar 325.000 kematian per tahun yang mewakili 0,1-0,2% kematian dalam setahun pada populasi orang dewasa. Henti jantung mendadak bertanggung jawab pada 50% kematian dari penyakit arteri koroner, dan diperkirakan 0,1% dari seluruh populasi di Amerika Serikat mengalami Out of Hospital Cardiac Arrest/OHCA.[1,2]
Indonesia
Prevalensi henti jantung mendadak di Indonesia belum terdata dengan maksimal. Namun insidensi henti jantung mendadak dapat meningkat seiring dengan peningkatan insidensi penyakit jantung koroner (PJK). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi tertinggi untuk penyakit kardiovaskuler di Indonesia adalah PJK, yakni sebesar 1,5%. Dari prevalensi tersebut, angka tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%) dan terendah di Provinsi Riau (0,3%). Masih dari data yang sama, menurut kelompok umur, PJK paling banyak terjadi pada kelompok umur 65-74 tahun (3,6%) diikuti kelompok umur 75 tahun ke atas (3,2%), kelompok umur 55-64 tahun (2,1%) dan kelompok umur 35-44 tahun (1,3%).[9]
Mortalitas
Empat puluh persen dari 325.000 kematian per tahun akibat henti jantung mendadak di Amerika Serikat, tidak sempat mendapatkan pertolongan yang adekuat. Harapan hidup dari penderita henti jantung mendadak sangat bergantung pada kompetensi penolong untuk memberikan bantuan hidup dasar, kecepatan datangnya personel untuk melakukan defibrilasi, dan waktu yang dibutuhkan untuk evakuasi ke rumah sakit pada pasien OHCA. Bahkan dalam kondisi paling ideal pun, hanya sekitar 20% saja dari pasien OHCA yang dapat bertahan hidup setelah diperbolehkan pulang. Sementara itu, dari satu studi yang dilakukan di rumah sakit di kota New York, hanya 1,4% pasien OHCA yang dapat bertahan hidup setelah diperbolehkan pulang. Di studi lain, adanya penempatan defibrilator eksternal otomatis pada pedesaan dan perkotaan meningkatkan harapan hidup hingga mencapai 35%.[1-3]