Diagnosis Disleksia
Penegakan diagnosis disleksia atau dyslexia didasarkan pada pemeriksaan kemampuan mengeja, membaca, dan memahami kata dengan pemeriksaan standar, serta riwayat kesulitan belajar yang menyertai.[1]
Anamnesis
Keluhan utama pasien dengan disleksia bisa beragam, namun umumnya pada anak-anak akan ada kesulitan dalam menghubungkan huruf dengan bunyi yang tepat, sementara pada mereka yang lebih tua mengalami masalah dalam kelancaran membaca, mengeja, mengenal kata-kata dan makna, serta ekspresi tertulis.[2]
Disleksia bukan sekedar kesulitan untuk belajar membaca, tapi juga kesulitan untuk mengenal dan membunyikan huruf, mengenal dan memahami makna kata, serta mengeja huruf-huruf.[10]
Anak-anak dengan disleksia biasanya mempunyai tulisan tangan yang buruk, kesulitan dalam mempelajari bahasa asing, masalah dalam mengatur bahasa, kesulitan mengingat, kesalahan dalam mengeja, serta kesulitan dalam membaca, menulis, dan berhitung yang persisten.
Dalam keterampilan menggunakan bahasa tulis, akan terdapat kesulitan mengeja dan mengingat kata dengan multi silabel (banyak suku kata).
Sedangkan dalam keterampilan membaca, biasanya ditemukan kemampuan membaca yang lambat dan tidak akurat, kesulitan pemahaman dan decoding (mengubah bahasa tulis menjadi pengertian verbal, memahami arti suara dan kata). Karena hal ini, anak-anak seringkali menghindari tugas-tugas yang berhubungan dengan membaca atau menulis.[2,4]
Faktor lingkungan sangat erat hubungannya dengan kemampuan belajar pada anak. Karena itu, perlu digali mengenai kondisi orang tua dan keluarga, sosial ekonomi, riwayat psikopatologi pada keluarga dan anak, dan riwayat penyalahgunaan zat.[4]
Pada anamnesis, perlu ditanyakan riwayat lahir prematur dan berat badan lahir yang rendah, juga mengenai riwayat kelainan otak kongenital maupun didapat yang bisa disebabkan oleh infeksi kongenital, meningitis, atau ensefalitis.[20-22]
Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik spesifik yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis disleksia. Namun, tes pendengaran dan penglihatan perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan sensori sebagai penyebab kesulitan belajar. Pemeriksaan neurologis lengkap juga perlu dilakukan untuk menyingkirkan gangguan neurologis sebagai penyebab kesulitan belajar.[1]
Pemeriksaan Kemampuan Membaca dan Mengeja
Pemeriksaan kemampuan mengeja dan membaca sudah bisa dilakukan sejak anak berusia 4 tahun. Nilai kemampuan anak dalam melakukan hal-hal di bawah ini:
- Menirukan sajak di sekolah atau bermain sajak
- Mengenali dan menyebutkan huruf
- Mengenali fonem (misalnya sebutkan satu kata yang mempunyai bunyi awal sama dengan “katak”, sebutkan satu kata yang bunyi akhirnya sama dengan “aku”, ada berapa bunyi pada kata “cat”)
- Menghubungkan bunyi dengan huruf (misalnya, diantara 3 kata ini, mana yang mempunyai huruf awal yang sama “buku, baju hutan”)
- Menyebutkan nama benda pada gambar (kosa kata ekspresif)
- Mengerti akan bacaan yang dibaca sendiri atau yang dibacakan oleh orang lain (meminta anak membaca dengan keras buku yang sesuai umurnya untuk pemeriksaan kelancaran dan pemahaman dalam membaca)[4]
Pemeriksaan Kesulitan Belajar
Pada anak-anak usia sekolah, perlu dilakukan pemeriksaan untuk menentukan kemampuan menulis, membaca, dan berhitung. Kemampuan mengeja juga perlu diperiksa, terutama untuk kata-kata dengan multi silabel. Anak juga perlu diperiksa dalam kemampuan membaca, memahami bacaan, dan decoding.[2]
Pada anak-anak usia pra sekolah, kesulitan membaca biasanya bermanifestasi sebagai kesulitan dalam mempelajari sajak-sajak singkat, bermain dan mengucapkan kata-kata (sering mengalami kesulitan mengucapkan kata-kata dengan pengucapan yang mirip), serta dalam mempelajari dan menghafalkan huruf.[4]
Pada anak-anak, bukti adanya kesulitan belajar yang persisten bisa dilihat dari hasil laporan sekolah, portofolio hasil evaluasi kinerja anak, pengukuran berdasarkan kurikulum, atau wawancara klinis. Pada dewasa, hal ini bisa dinilai berdasarkan riwayat laporan sekolah, evaluasi portofolio, atau pengukuran-pengukuran lain sebelumnya. Pencapaian akademik yang rendah pada anak-anak bisa dinilai dari nilai-nilai di sekolah. Pada dewasa bisa terlihat dari perilaku menghindari aktivitas-aktivitas yang membutuhkan kemampuan akademik, misalnya menghindari pekerjaan yang membutuhkan membaca dan menulis.[1,4]
Pemeriksaan Penunjang
Tes IQ perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya disabilitas intelektual sebagai penyebab kesulitan belajar. Pada disleksia, kecerdasan dan pemahaman oral seharusnya tidak terpengaruh.[1]
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan untuk penegakan diagnosis disleksia adalah penggunaan tes yang tersedia. Namun, saat ini tes untuk mendiagnosis disleksia belum tersedia dalam bahasa Indonesia.
Beberapa tes dalam Bahasa Inggris yang sering digunakan untuk memeriksa disleksia adalah:
-
Comprehensive Test of Phonological Processing (CTOPP), merupakan tes untuk anak usia 4–24 tahun yang menguji phonologic awareness, phonologic memory, dan penamaan suatu benda dengan cepat
-
Gray Oral Reading Test, Fifth Edition (GORT-5) dapat digunakan pada anak usia 6–23 tahun. Uji dilakukan dengan 16 bacaan yang tingkat kesulitannya progresif, dan masing-masing disertai dengan 5 buah pertanyaan mengenai bacaan. Penilaian meliputi akurasi, kecepatan membaca, kelancaran, dan oral reading index
Test of Word Reading Efficiency, Second Edition (TOWRE-2), merupakan tes untuk anak usia 6–24 tahun yang menilai kecepatan membaca kata-kata tunggal, serta efisiensi kata dan fonemik.
Woodcock Reading Mastery Tests, Third Edition (WRMT–III), merupakan tes untuk usia pra-sekolah hingga kelas 12. Penilaian meliputi phonologic awareness, kemampuan mendengar, identifikasi huruf dan kata, kelancaran baca, word attack, serta kesinambungan kata dan bacaan [2,27]
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis disleksia atau dyslexia ditegakkan berdasarkan kriteria dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) 5 atau International Classification of Diseases (ICD) 11. Secara umum disleksia dimasukkan dalam kelompok gangguan belajar spesifik dalam DSM 5 dan gangguan perkembagan dalam ICD 11.
Kriteria Diagnostik Berdasarkan DSM-5
Dalam DSM 5, disleksia dimasukkan sebagai specifier dalam kelompok gangguan Specific Learning Disorder (SLD). Definisi SLD adalah gangguan neurodevelopmental pada kemampuan seseorang untuk belajar dan menggunakan kemampuan akademik spesifik, seperti membaca, menulis, dan aritmatika. Tiga kemampuan ini menjadi dasar untuk sebagian besar kemampuan akademik lainnya. Dalam DSM 5, disleksia menjadi specifier untuk SLD bersama dengan dysgraphia dan dyscalculia.[1]
Kriteria diagnostik untuk SLD berdasarkan DSM 5 dibagi berdasarkan 4 kelompok.
Kelompok A:
Kesulitan dalam menguasai dan menggunakan keterampilan akademik dimana terdapat setidaknya satu dari gejala-gejala berikut secara persisten selama setidaknya 6 bulan dan gagal diatasi meskipun sudah mendapatkan perhatian khusus untuk mengatasi masalah ini.
- Kemampuan membaca kata yang tidak akurat atau lambat (misalnya membaca satu kata dengan keras secara tidak tepat atau perlahan dan ragu-ragu, kadang menduga-duga kata, serta mengalami kesulitan dalam membunyikan kata-kata)
- Kesulitan dalam memahami isi bacaan (misalnya mampu membaca secara tepat tapi tidak memahami urutan, hubungan, rujukan, atau makna lebih dalam yang terkandung dalam bacaan)
- Kesulitan dalam mengeja (misalnya menambahkan, menghilangkan, atau mengganti huruf vokal atau konsonan)
- Kesulitan dengan ekspresi tertulis (misalnya melakukan banyak kesalahan dalam tata bahasa atau penempatan tanda baca dalam kalimat; organisasi paragraf yang buruk; ekspresi tertulis yang tidak jelas dalam menyampaikan ide)
- Kesulitan dalam menguasai pengertian angka, fakta tentang angka, atau kalkulasi (misalnya mempunyai pemahaman yang buruk tentang angka, besar dan hubungan diantaranya; menggunakan jari tangan untuk perhitungan satu digit dan bukan mengingat fakta matematik seperti teman-temannya; tersesat arah ketika melakukan kalkulasi aritmatika dan mungkin mengganti prosedurnya)
- Kesulitan dalam memberikan alasan matematis (misalnya kesulitan mengaplikasikan konsep, fakta, atau prosedur matematis dalam menyelesaikan masalah kuantitatif)
Kelompok B:
Kesulitan belajar memengaruhi kemampuan akademik secara substansial dan kuantitatif sehingga mengakibatkan pencapaian di bawah standar yang diharapkan berdasarkan usia.
Selain itu, kesulitan belajar menyebabkan gangguan yang signifikan dalam kemampuan akademik atau pekerjaan, atau dalam aktivitas sehari-hari, sebagaimana yang dikonfirmasikan dengan ujian pencapaian standard dan pemeriksaan klinis yang komprehensif. Untuk mereka yang berusia 17 tahun ke atas, bisa digunakan data riwayat kesulitan belajar.
Kelompok C:
Kesulitan belajar umumnya beronset pada usia sekolah tapi seringkali manifestasinya baru terlihat ketika pasien mendapatkan tuntutan keterampilan akademik yang melebihi kemampuannya yang terbatas (misalnya dalam ujian yang dibatasi waktu, membaca atau menulis laporan yang panjang dengan batas waktu tertentu, atau muatan akademik berat yang berlebihan)
Kelompok D:
Kesulitan belajar bukan disebabkan oleh disabilitas intelektual, gangguan penglihatan atau pendengaran, kurang fasih dalam bahasa pengantar yang digunakan, atau instruksi akademik yang tidak memadai.[1]
Disleksia adalah SLD dengan kesulitan dalam pengenalan atau pengucapan kata secara akurat, kemampuan decoding yang buruk, dan kemampuan mengeja yang buruk.[1]
Kriteria Diagnosis Berdasarkan ICD 11
Dalam ICD 11, disleksia disebut sebagai gangguan belajar developmental dengan gangguan pada kemampuan membaca.
- Kriteria diagnosis gangguan ditandai oleh adanya kesulitan dalam belajar keterampilan akademik terkait membaca (misalnya akurasi membaca, kelancaran dalam membaca, dan pemahaman dalam membaca), yang bersifat persisten.
- Kemampuan individu dalam membaca berada dibawah kemampuan yang diharapkan sesuai usia konologis dan fungsi intelektual.
- Kesulitan belajar menimbulkan gangguan dalam fungsi akademik atau pekerjaan.
- Kesulitan belajar bukan disebabkan gangguan perkembangan intelektual, gangguan sensoris (pendengaran atau penglihatan), gangguan neurologis, kurangnya pendidikan, ketidakfasihan bahasa yang digunakan sebagai pengantar pendidikan, atau masalah psikososial.[11]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding disleksia mencakup disabilitas intelektual, gangguan penglihatan dan pendengaran, kesulitan belajar karena gangguan neurologis atau sensoris, gangguan neurokognitif, attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan gangguan psikotik.[1]
Disabilitas Intelektual
Disleksia bisa dibedakan dari kesulitan belajar akibat disabilitas intelektual berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi intelektual seperti tes IQ. Disleksia hanya bisa didiagnosis pada pasien dengan disabilitas intelektual bila tingkat kesulitan yang ditemukan lebih besar dibandingkan yang biasa ditemukan pada pasien dengan disabilitas intelektual.[1,4]
Gangguan Visus dan Pendengaran
Disleksia merupakan gangguan belajar, dan bukan disebabkan oleh kelainan pada mata atau telinga. Disleksia dapat dibedakan dengan gangguan visus atau pendengaran menggunakan pemeriksaan fisik visus dan pendengaran.[1,26]
Kesulitan Belajar akibat Gangguan Neurologis atau Sensoris
Kesulitan belajar akibat gangguan neurologis atau sensoris bisa dibedakan dari hasil pemeriksaan neurologis yang abnormal. Gangguan neurologis atau sensoris yang bisa menimbulkan kesulitan belajar diantaranya adalah stroke pada anak, cedera otak traumatik (traumatic brain injury), gangguan pendengaran, dan gangguan penglihatan.[1,4]
Gangguan Neurokognitif Lain
Disleksia bisa dibedakan dari gangguan neurokognitif lain, seperti akibat cedera kepala atau delirium, berdasarkan onset dan manifestasinya. Pada disleksia, gangguan timbul pada periode perkembangan, sedangkan gangguan neurokognitif bisa timbul kapan saja. Manifestasi gangguan neurokognitif berupa penurunan dari kondisi atau pencapaian sebelumnya.[1,4]
Attention-deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Pencapaian akademik yang rendah akibat disleksia bisa dibedakan dari pencapaian akademik yang rendah akibat attention-deficit hyperactivity disorder (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau ADHD).
Pada ADHD, pencapaian akademik yang rendah diakibatkan kesulitan dalam memusatkan perhatian dan melakukan tugas (anak sebenarnya mampu menguasai keterampilan), bukan akibat kesulitan untuk menguasai keterampilan. Namun, disleksia juga bisa muncul bersama dengan ADHD.[1,12]
Gangguan Psikotik
Pada gangguan psikotik, seperti skizofrenia, kesulitan belajar akan diikuti oleh penurunan domain-domain fungsional lain (seringkali secara cepat), dimana hal ini tidak terjadi pada kesulitan belajar.[1]
Sindrom Genetik
Ada beberapa sindrom genetik yang berhubungan dengan disabilitas intelektual dan gangguan dalam kemampuan berbahasa dan membaca, yaitu sindrom Klinefelter, neurofibromatosis, delesi 22q11.2, dan sindrom fragile X pada perempuan.[4]