Penatalaksanaan Perdarahan Subaraknoid Spontan
Penatalaksanaan perdarahan subaraknoid spontan atau spontaneous subarachnoid hemorrhage (SAH) harus sudah dimulai sejak di unit gawat darurat (UGD), dengan menilai jalan napas, napas, dan sirkulasi tekanan darah. Penilaian awal ini penting untuk meminimalkan kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, atau karena peningkatan tekanan tinggi intrakranial.[2,5]
Kemudian, penatalaksanaan lanjutan bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah tetap stabil, menurunkan tekanan intrakranial, dan menilai jika diperlukan tindakan operatif.[2,5]
Tata Laksana Jalan Napas dan Napas
Tata laksana awal SAH dengan menilai jalan napas pasien dan perlu dilakukan intubasi, jika nilai Glasgow coma scale (GCS) rendah atau pasien tidak mampu mempertahankan jalan nafasnya. Pemasangan intubasi harus dilakukan dengan hati-hati dan tambahan sedasi, untuk mencegah peningkatan tekanan darah mendadak.[2,5]
Tata Laksana Tekanan Darah dan Hemodinamik
Prioritas tata laksana selanjutnya adalah mengontrol tekanan darah. Tekanan darah yang direkomendasikan adalah tekanan sistolik <160 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) <110 mmHg.[5,6]
Stabilisasi hemodinamik adalah dengan memastikan tekanan darah sistolik tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. Jika sistolik <140 mmHg, dapat meningkatkan risiko iskemia otak. Sementara, jika sistolik >160 mmHg maka akan meningkatkan risiko pecah aneurisma berulang. Oleh karena itu, tekanan darah sistolik dianjurkan antara 140‒160 mmHg.[5,6]
Obat antihipertensi yang dapat diberikan adalah nicardipine, dengan ketentuan:
- Dosis awal 5 mg/jam intravena
- Dapat ditingkatkan 2,5 mg/jam setiap 5−15 menit hingga target tekanan sistolik tercapai
- Dosis maksimal 15 mg/jam[5]
Pilihan obat lain adalah labetalol atau clevidipine, tetapi belum tersedia di Indonesia[5]
Penurunan Tekanan Darah Tidak Boleh Agresif
Penurunan tekanan darah sistolik tidak boleh terlalu agresif dan tidak dianjurkan <140 mmHg. Penurunan terlalu agresif akan meningkatkan risiko rebleeding hingga 14%, berbanding 6% jika tekanan darah >140 mmHg. Tekanan darah yang terlalu rendah juga meningkatkan risiko iskemik dan gangguan perfusi otak.[3]
Tata Laksana Antifibrinolitik
Pemberian antifibrinolitik, seperti asam traneksamat, juga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya rebleeding. Dosis yang disarankan adalah 1 gram setiap 6 jam secara intravena, selama maksimal 72 jam.[3,4,7]
Pemberian antifibrinolitik tidak disarankan >72 jam, karena dapat meningkatkan risiko komplikasi tromboemboli dan dapat memicu kejang.[3,4,7]
Tata Laksana Suportif
Terapi SAH spontan tambahan adalah antinyeri seperti paracetamol atau tramadol, serta antimual seperti domperidone atau ondansetron. Terapi suportif ini bertujuan untuk mencegah efek valsava yang dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial.[6]
Obat antiepilepsi, seperti fenitoin, juga perlu dipertimbangkan, karena +20% pasien SAH mengalami kejang sebelum sampai ke UGD, dan 5−10% pasien mengalami kejang saat di rumah sakit.[6]
Pada hari ke 3‒14 sejak onset SAH, pasien memiliki risiko mengalami delayed cerebral ischemia (DCI) akibat vasospasme pembuluh darah. Satu-satunya terapi farmakologi yang sudah diakui dapat membantu menurunkan risiko DCI adalah nimodipine oral, yang disarankan mulai diberikan dalam waktu 96 jam sejak onset SAH.[4,6]
Tata Laksana Operatif
Memperbaiki aneurisma merupakan terapi definitif pada SAH karena ruptur aneurisma. Dua teknik operasi utama dalam terapi ruptur aneurisma adalah endovascular coiling dan operasi terbuka clipping. Teknik clipping melalui kraniotomi.
Pemilihan kedua teknik operasi ini dipengaruhi beberapa faktor, seperti lokasi, bentuk dan ukuran aneurisma, usia dan penyakit penyerta pasien, ketersediaan fasilitas, keahlian dan pengalaman dari tim bedah. Jika aneurisma dapat diterapi baik dengan endovascular coiling maupun operasi terbuka clipping, maka tindakan endovascular coiling lebih direkomendasikan.[2,3,6,7]
Gambar 3. Tindakan definitive ruptur aneurisma dengan tindakan endovascular coiling atau dengan operasi terbuka clipping
Hasil penelitian The International SAH Trial (ISAT) menunjukan bahwa tindakan endovascular coiling memiliki risiko disabilitas dalam 1 tahun (23,5%) yang lebih rendah daripada operasi terbuka clipping (30,9%). Namun, kedua teknik ini tidak memiliki perbedaan pada mortalitas.[6]
Selain operasi perbaikan aneurisma, tindakan operasi pemasangan selang external ventricular drainage (EVD) diperlukan pada pasien dengan grade >2 WFNS scale. Pemasangan selang untuk menangani hidrosefalus akut yang dapat terjadi pada 20% pasien SAH akibat ruptur aneurisma.[4]