Pendahuluan Restless Legs Syndrome
Restless legs syndrome (RLS) atau penyakit Willis-Ekbom merupakan gangguan neurologi di mana terdapat urgensi untuk menggerakan anggota tubuh, terutama ekstremitas inferior. Kondisi ini biasanya disertai atau diawali dengan rasa tidak nyaman yang membaik dengan pergerakan, dan memburuk saat istirahat, misalnya di malam hari. Saat beraktivitas, biasanya keluhan berkurang atau menghilang.[1,2]
Penyebab RLS belum diketahui, diduga melibatkan mutasi atau defisiensi gen. RLS lebih banyak terjadi pada wanita, perokok, mereka yang mengonsumsi alkohol dan usia yang lebih tua.
Dahulu, RLS diklasifikasikan berdasarkan etiologinya menjadi primer dan sekunder. Penyebab sekunder yang dikaitkan dengan RLS adalah gagal ginjal kronis, defisiensi besi, dan kehamilan terutama trimester 3. Namun, RLS sekunder dari kondisi ini diperkirakan sebagai komplikasi keadaan klinis tersebut, sehingga istilah RLS sekunder sudah tidak disarankan lagi.[2–6]
Patofisiologi RLS belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, beberapa teori, seperti defisiensi besi pada sistem saraf pusat, serta gangguan pada sistem dopaminergik diperkirakan berhubungan dengan patofisiologi RLS. Polimorfisme genetik juga diduga berperan dalam patofisiologi RLS, dengan gen yang ditemukan paling berhubungan adalah MEIS1.[2,5]
Karakteristik khas RLS adalah gerakan ritmik, terutama pada tungkai. Diagnosa RLS ditegakkan berdasarkan kriteria International RLS Study Group (IRLSSG) tahun 2014. Pertanyaan mengenai urgensi untuk menggerakan kaki saat tidur di malam hari/istirahat merupakan pertanyaan yang paling penting karena memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 97% dalam diagnosis. Pemeriksaan fisik pada RLS harus disertai dengan pemeriksaan neurologis, untuk menyingkirkan kemungkinan neuropati perifer.[1,2,6]
Pemeriksaan penunjang biasanya tidak rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis RLS, tetapi dapat dilakukan untuk melihat adanya kondisi klinis yang berkaitan dengan RLS, misalnya identifikasi defisiensi besi, mengeksklusi kemungkinan gangguan neurologis. Pada kasus RLS yang disertai gangguan tidur, polisomnografi dapat dilakukan.[5,6,24]
Pemilihan tata laksana RLS dilakukan berdasarkan skoring IRLSSG. Pada pasien dengan gejala RLS yang ringan (skor 1–10), mungkin tidak memerlukan tata laksana medikamentosa. Semua pasien RLS perlu diedukasi tata laksana nonmedikamentosa yang mencakup perubahan gaya hidup, contohnya sleep hygiene.
Frekuensi gejala RLS juga memengaruhi pilihan agen farmakologi yang diberikan. Tata laksana medikamentosa untuk RLS meliputi agonis dopamin, seperti pramipexole; antikonvulsan, seperti gabapentin; opioid; dan suplementasi besi sesuai indikasi.[1,2,5,7,8]
Penulisan pertama oleh: dr. Ghifara Huda