Patofisiologi Restless Legs Syndrome
Patofisiologi restless legs syndrome (RLS) diduga berhubungan dengan disfungsi sistem dopamin, defisiensi besi, dan defisiensi/mutasi gen, seperti MOS1 dan MEIS1. Mekanisme pasti patofisiologi RLS belum diketahui.
Meski demikian, perjalanan penyakit akhirnya mengarah pada disregulasi dopamin yang selanjutnya memengaruhi pemrosesan sinyal sensorik di bagian dorsal medulla spinalis. Gangguan pemrosesan ini yang memberikan gejala sensorik dan motorik pada RLS.[5–9]
Sistem Dopaminergik dan Restless Leg Syndrome
Proses integrasi sensorimotor berada di bawah kendali neuron monoaminergik di otak. Neuron monoaminergik ini memiliki proyeksi neuron yang berhubungan dengan 3 area, salah satunya regio A11 di area dorsal-posterior hipotalamus (dopamin). Terdapat 5 reseptor dopamin, yaitu D1 sampai D5.
Reseptor D1 dan D3 diduga memiliki peranan dalam RLS. Reseptor D1 terletak di kornu ventralis medula spinalis dan striatum. Reseptor ini berperan dalam modulasi aktivitas motorik dan kontrol gerakan, dan jumlahnya meningkat pada usia tua dengan RLS.
Sedangkan reseptor D3 yang terutama di nucleus accumbens striatum dan kornu dorsal spinalis pada area yang memodulasi sensorik. Pada pasien RLS yang mendapat dopamin agonis (yang bekerja di reseptor D3), ditemukan perbaikan klinis pada periode tertentu dan augmentation. Hal ini yang menyebabkan dugaan peran D1 dan D3 dalam patofisiologi RLS.[9,10]
Peran Genetik
Beberapa literatur menyatakan adanya peran gangguan genetik pada patofisiologi RLS, dengan mekanisme yang masih belum diketahui dengan jelas. Gangguan genetik ini berakhir pada gangguan homeostasis besi di otak maupun gangguan signal neurotransmitter, seperti dopamin yang merupakan neurotransmitter monoamin dan arginin.[7,8]
Beberapa gen, seperti MEIS1, BTBD9, dan NOS1, sampai saat ini masih diteliti hubungannya dengan RLS. Gen ini berperan dalam perkembangan saraf embrio dan perkembangan ekstremitas. Dari gen yang diteliti ini, defisiensi atau mutasi MEIS1 pada beberapa studi dianggap memiliki hubungan paling erat dengan RLS.[7,8]
MEIS1 dianggap berperan dalam homeostasis dan regulasi besi, seperti ekspor besi dari sel, dan transpor besi ke mitokondrium. MEIS1 juga dianggap berpotensi memengaruhi gen BTBD9 yang memiliki peran dalam biosintesis dopamin dan regulasi tidur lewat mekanisme yang sampai saat ini belum diketahui.[7,8]
Defisiensi Zat Besi
Mekanisme peran besi dalam patofisiologi RLS belum diketahui dengan jelas. Besi berada dalam protein yang berperan dalam proses metabolisme sel, seperti fosforilasi oksidatif dan transpor oksigen, mengandung besi. Defisiensi zat besi memberikan komplikasi berupa kondisi hipoksia jaringan, serta gangguan fungsi dan struktur otak.
Besi juga terdapat pada protein yang berperan dalam proses mielinisasi, serta sintesis dan metabolisme neurotransmitter. Diperkirakan pula, bahwa besi memengaruhi jalur dopaminergik, karena ditemukan penurunan kadar dopamin ekstraseluler dan reseptor D1 dan D2 pada saat terjadi defisiensi besi di otak.
Beberapa studi pada hewan percobaan menunjukkan bahwa defisiensi besi berhubungan dengan kematian sel dopaminergik pada substansia nigra dan opioid. Disfungsi dopaminergik sendiri berhubungan dengan gangguan medial pain system, yang kemudian menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien dengan RLS.[7]
Penulisan pertama oleh: dr. Ghifara Huda