Penatalaksanaan Restless Legs Syndrome
Tata laksana restless leg syndrome atau RLS diberikan berdasarkan skoring the International RLS Study Group (IRLSSG) rating scale (IRLS) dan frekuensi gejala. Berdasarkan skoring keparahan gejala dari IRLSSG, gejala ringan, yaitu skor 1–10, mungkin tidak memerlukan tata laksana medikamentosa dan hanya terapi nonmedikamentosa, seperti menghindari alkohol dan kafein, serta sleep hygiene.
Tata laksana medikamentosa bukan merupakan terapi utama untuk RLS. Seluruh faktor risiko serta etiologi RLS, misalnya defisiensi besi dan penyakit kardiovaskular harus sesegera mungkin didiagnosis dan diterapi.
Bila secara klinis diperlukan, agen medikamentosa pada RLS meliputi agonis dopamin, seperti pramipexole; antikonvulsan, seperti gabapentin; dan opioid. Suplementasi besi diberikan bila terdapat bukti defisiensi besi. Dialisis rutin harus dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal kronis, karena berhubungan dengan penurunan frekuensi gejala.[1,2,5–8]
Pilihan Tata Laksana Berdasarkan Frekuensi Gejala
Berdasarkan frekuensi gejalanya, tata laksana RLS dibagi berdasarkan RLS intermiten, kronis persisten, dan refrakter. Ketiganya harus mendapatkan tata laksana medikamentosa dan tata laksana non medikamentosa seperti psikoterapi, menjaga sleep hygiene serta menghindari kafein dan alkohol. Tata laksana nonmedikamentosa sangat penting, karena dapat mengurangi perlunya obat-obatan ataupun mengurangi kebutuhan dosis. [1,2,5]
RLS Intermiten
Pada RLS intermiten dengan gejala ringan, terapi nonmedikamentosa dapat mengurangi keperluan terapi medikamentosa. Sedangkan pada gejala sedang-berat, dapat mengurangi kebutuhan dosis terapi medikamentosa.
Pada RLS intermiten, terapi medikamentosa yang direkomendasikan adalah carbidopa/levodopa, benzodiazepine/agonis reseptor benzodiazepin seperti temazem dan zolpidem, opioid potensi rendah seperti tramadol.[2,5]
RLS Kronik Persisten
Pasien dengan RLS kronik persisten mengalami gejala ≥2 kali per minggu disertai distress sedang-berat, di mana pasien memerlukan tata laksana harian. Tata laksana yang diberikan adalah tata laksana nonmedikamentosa (seperti pada RLS intermiten) dan agen golongan alfa-2-delta calcium channel ligands, seperti gabapentin. Bila terdapat kontraindikasi terhadap agen tersebut, agonis dopamin non-ergot, seperti pramipexole, dapat dipertimbangkan.[2]
RLS Refrakter
RLS refrakter adalah kondisi di mana gejala RLS tidak responsif terhadap monoterapi dengan dosis yang dapat ditoleransi karena efikasinya menurun, terjadi augmentation, atau terjadi efek samping.[2]
Apabila terjadi RLS refrakter, identifikasi kembali adanya defisiensi besi dan berikan suplementasi besi bila hal tersebut terbukti. Bila serum ferritin <100 µg/L dan gejala RLS berat (skoring IRLS ≥21), suplementasi besi intravena dapat dipertimbangkan.[1,2]
Selain itu, identifikasi kembali faktor risiko yang dapat memperburuk gejala RLS. Contohnya adalah terapi nonmedikamentosa tidak adekuat atau tidak dilakukan, gaya hidup sedenter, serta terdapat etiologi gangguan tidur lainnya seperti sleep apnea. Lakukan pula identifikasi dan mengontrol/menghentikan konsumsi obat-obatan yang dapat mengeksaserbasi gejala RLS, seperti antihistamin generasi I misalnya chlorpheniramine maleate.[2]
Pada RLS refrakter terapi kombinasi dapat dipertimbangkan dan dosis obat yang lama dapat diturunkan perlahan. Agen kombinasi yang dapat dipertimbangkan meliputi:
- Agonis dopamin non-ergot (bila obat awal adalah alfa-2-delta calcium channel ligands) dan sebaliknya
- Benzodiazepine (bila gejala RLS muncul pada malam hari dan menyebabkan insomnia)
- Opioid potensi rendah atau tinggi, misalnya methadone dan oxycodone[2]
Medikamentosa
Tata laksana medikamentosa pada RLS meliputi carbidopa/levodopa, serta agen golongan alfa-2-delta calcium channel ligands, agonis dopamin non-ergot, dan benzodiazepine. Pilihan terakhir adalah opioid mengingat potensi efek samping yang diberikan.[2,5]
Carbidopa/Levodopa
Carbidopa/levodopa dosis 25 mg/100 mg sebanyak 0,5–1 tablet (maksimal 100 mg) dapat direkomendasikan pada RLS intermiten yang memerlukan terapi medikamentosa. Obat diminum pada malam hari sebelum tidur atau sebelum aktivitas yang mengistirahatkan anggota tubuh dalam waktu lama, seperti perjalanan dengan pesawat atau nonton bioskop.[2,6]
Cara Kerja:
Carbidopa dan levodopa bekerja secara sinergis. Carbidopa bekerja di perifer dengan menghambat metabolisme serotonin dan levodopa menjadi dopamin. Levodopa di perifer meningkat dan melewati sawar darah otak, kemudian dimanfaatkan oleh sistem saraf pusat (SSP). Carbidopa tidak dapat melewati sawar darah otak. Dengan kata lain, carbidopa menghambat metabolisme levodopa sebelum mencapai SSP. Kebutuhan dosis untuk levodopa berkurang dengan adanya carbidopa, karena uptake levodopa meningkat di sistem saraf pusat.[25]
Risiko Augmentation:
Salah satu efek samping levodopa adalah augmentation. Augmentation merupakan kondisi di mana terjadi perburukan gejala RLS. Risiko augmentation lebih besar pada mereka yang mengonsumsi levodopa setiap hari atau dosis per hari ≥200 mg. Maka dari itu, levodopa direkomendasikan pada RLS intermiten dengan frekuensi pemberian ≤3 kali per minggu.[2]
Benzodiazepine dan Agonis Reseptor Benzodiazepine
Agen benzodiazepine dan agonis reseptor benzodiazepine pada RLS intermiten dapat dipertimbangkan bila insomnia terjadi karena gangguan psikologis (seperti depresi dan cemas), dan RLS sebagai gejala tambahan. Agen ini terdiri dari short-acting, intermediate-acting, dan long-acting.[2]
Agen Short-Acting:
Contoh agen short-acting adalah zolpidem 5–10 mg. Agen ini dapat dipertimbangkan bila pasien mengalami sleep-onset insomnia karena gejala RLS. Efek samping pemberiannya adalah sleepwalking dan sleep-related eating disorders.[2]
Agen Intermediate-Acting:
Contoh agen intermediate-acting adalah temazepam 15–30 mg. Untuk wanita dan usia lanjut, disarankan dosis yang lebih rendah. Agen ini dapat dipertimbangkan bila gejala RLS menyebabkan pasien terbangun di malam hari atau sleep-maintenance insomnia. Efek samping pemberiannya adalah gangguan kognitif dan peningkatan risiko jatuh di malam hari.
Agen Long-Acting:
Agen long-acting sebaiknya dihindari, kecuali terdapat penyakit psikiatri komorbid tertentu yang mengharuskan penggunanya. Hal ini karena terdapat efek samping gangguan keseimbangan di malam hari, serta drowsiness atau gangguan kognitif di pagi hari. Contoh agen long-acting adalah clonazepam.[2]
Alfa-2-Delta Calcium Channel Ligands
Pilihan utama tata laksana RLS kronik persisten setelah terapi nonmedikamentosa adalah alfa-2-delta calcium channel ligands. Contoh obat golongan ini adalah gabapentin, pregabalin, dan gabapentin enacarbil (prodrug gabapentin). Agen ini menguntungkan pada RLS yang disertai nyeri kronis, insomnia, dan cemas. Sebelum pemberiannya, perlu dilakukan identifikasi adanya kontraindikasi agen tersebut, seperti:
Obesitas dengan/tanpa komplikasi
- Riwayat depresi sedang-berat
- Riwayat substance disorder
- Instabilitas gait
- Penyakit paru yang berisiko gagal napas[2]
Pemberian alfa-2-delta calcium channel ligands dapat memperburuk kondisi klinis pada kontraindikasi di atas. Hal ini karena efek samping obat, seperti depresi sampai pikiran bunuh diri, peningkatan berat badan, gangguan kognitif, gangguan keseimbangan, drowsiness di siang hari, dizziness dan edema. Gagal napas dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit paru atau kombinasi dengan agen opioid.[2]
Dosis rekomendasi untuk golongan alfa-2-delta calcium channel ligands adalah:
- Gabapentin: 300 mg (100 mg/hari untuk usia >65 tahun), 1–2 kali/hari, dosis maksimal 3600 mg, diminum 1–2 jam sebelum perkiraan onset gejala harian
- Pregabalin: 75mg (50 mg/hari untuk usia >65 tahun), 1–2 kali/hari, dosis maksimal 450 mg, diminum 1–2 jam sebelum perkiraan onset gejala harian
- Gabapentin enacarbil: 600 mg/hari (300 mg/hari untuk usia >65 tahun), diminum pukul 17.00 agar efek terapeutik tercapai saat ingin tidur[2]
Bila diberikan 2 kali sehari, dosis pertama diberikan pada sore menjelang malam. Dosis dapat dititrasi naik sesuai klinis pasien dan respon gejala. Bila dengan terapi alfa-2-delta calcium channel ligands tidak didapatkan perbaikan klinis atau pasien tidak dapat menoleransi obat tersebut, agonis dopamin non-ergot dapat dipertimbangkan.[2]
Agonis Dopamin Non-Ergot
Sebelumnya, agen agonis dopamin digunakan dalam terapi utama RLS. Akan tetapi, karena adanya augmentation dan risiko gangguan pengendalian impuls pada penggunaan agonis dopamin, agen tersebut saat ini dijadikan pilihan kedua.
Agen ini dipilih untuk RLS kronik persisten apabila terdapat kontraindikasi atau pasien tidak dapat mentoleransi agen golongan alfa-2-delta calcium channel ligands. Contoh golongan agonis dopamin non-ergot adalah pramipexole, ropinirole, dan rotigotine patch. Dosis pemberiannya dapat dilihat pada Tabel 1.[2]
Tabel 1. Pilihan Agonis Dopamin Non-Ergot
Obat | Dosis | Frekuensi | Anjuran Pemberian |
Pramipexole | 0,125 mg/hari (maksimal 0,5 mg/hari) | 1–2 kali/hari | Diminum 2 jam sebelum perkiraan onset gejala
|
Ropinirole | 0,25–0,5 mg/hari (maksimal 4 mg/hari) | 1–2 kali/hari | Diminum 1,5 jam sebelum perkiraan onset gejala
|
Rotigotine patch | 1 mg (1 patch)/hari (maksimal 3 mg/hari) |
Sumber: dr. Felicia Sutarli, Alomedika, 2024.[2]
Bila diberikan 2 kali sehari, dosis pertama diberikan pada sore menjelang malam. Dosis dapat dititrasi tiap 2–3 hari tergantung klinis pasien. Bila pasien tidak pernah memberikan perbaikan gejala RLS walaupun dosis dan frekuensi dopamin agonis sudah adekuat, evaluasi kembali kemungkinan salah diagnosis. Efek samping lain pemberian agonis dopamin non-ergot adalah mual, lightheadedness, mengantuk di siang hari, serta reaksi lokal di area patch untuk rotigotine patch.[2]
Risiko Augmentation:
Agen agonis dopamin memiliki efek augmentation, sehingga kontrol untuk melihat adanya perburukan gejala RLS perlu dilakukan. Pasien perlu ditanyakan mengenai perbandingan frekuensi RLS sebelum dan setelah terapi, serta adanya penyebaran gejala RLS ke bagian tubuh lainnya, seperti ke lengan, dari saat terapi dimulai. Pencegahan efek augmentation dapat dilakukan dengan pemberian agonis dopamin dengan dosis seminimal mungkin.[2,6,19]
Efek Samping:
Efek samping gangguan pengendalian impuls juga perlu ditanyakan, seperti pathologic gambling, impulsive shopping, atau hiperseksualitas. Penghentian agonis dopamin dapat memberikan efek withdrawal, yaitu RLS berat, depresi, dan gangguan tidur. Maka dari itu, penghentian dilakukan bertahap dengan titrasi turun dosis perlahan setiap 3 hari.
Bila saat terapi dengan agonis dopamin diputuskan untuk mengganti agen tersebut dengan agen lainnya, berikan terlebih dahulu agen pengganti tersebut baru titrasi turun dosis agen yang lama dilakukan. Pada saat dilakukan penurunan dosis agen yang lama, akan terdapat periode overlap kedua agen.[2,19]
Opioid
Opioid adalah pilihan terakhir pada RLS intermiten dan RLS refrakter. Hal ini karena berisiko menyebabkan toleransi dan dependensi. Selain itu, opioid memiliki efek samping berbahaya lainnya seperti gangguan keseimbangan yang dapat menyebabkan jatuh, drowsiness di siang hari, perburukan gejala sleep apnea, dan gangguan kognitif. Efek samping lainnya yang terutama muncul bila dosis ditingkatkan meliputi mual, konstipasi, dan retensi urine.[2]
Opioid pada RLS Intermiten:
Pada RLS intermiten, opioid potensi rendah dapat menjadi opsi pilihan terakhir. Agen yang dapat dipertimbangkan adalah tramadol 50–100 mg. Pemberiannya dapat dilakukan malam sebelum tidur. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan konstipasi. Pada pemberian tramadol, efek samping yang juga dapat muncul adalah augmentation dan kejang (jarang).[2]
Opioid pada RLS Refrakter:
Pada RLS refrakter, opioid dipertimbangkan bila RLS resisten terhadap terapi lainnya disertai gejala berat. Pilihan agen opioid pada kondisi ini adalah methadone, oxycodone, hydrocodone, dan morphine.[2]
Suplementasi Zat Besi
Percobaan suplementasi zat besi direkomendasikan pada pasien RLS dengan bukti defisiensi zat besi. Hal ini dilihat dari kadar serum ferritin ≤75 µg/L dan saturasi transferin <45%. Pada pasien dengan kondisi inflamasi akut atau kronis maupun dengan keganasan, suplementasi besi dapat dipertimbangkan pada kadar saturasi transferin <20%. Tidak direkomendasikan memberikan terapi suplementasi zat besi pada pasien RLS secara empiris karena berisiko overload besi.[2,6]
Suplementasi Zat Besi Oral:
Suplementasi zat besi oral yang direkomendasikan adalah ferrous sulfate dengan dosis 325 mg (65 mg besi elemental). Setiap pemberian ferrous sulfate dikombinasi dengan vitamin C 100–200 mg. Pemberian dilakukan di malam hari karena pada saat ini uptake besi oleh otak dianggap lebih baik.
Konsumsi sebaiknya dilakukan 1 jam sebelum makan, saat perut kosong, karena meningkatkan absorbsi. Akan tetapi, bila pasien mengeluh mual, dapat dikonsumsi dengan makanan.[2,5]
Pemberian dilakukan 1–2 kali/hari. Tidak direkomendasikan untuk meningkatkan frekuensi pemberian karena berisiko mengurangi absorpsi zat besi. Follow up kadar ferritin direkomendasikan 3–4 bulan setelah suplementasi besi diberikan, selanjutnya setiap 3–6 bulan tergantung klinis sampai ferritin serum >100 µg/L. Bukti defisiensi besi tidak ditemukan lagi, terapi dapat dihentikan. Suplementasi besi dapat dilanjutkan kembali bila terjadi perburukan gejala RLS dengan serum ferritin <300 µg/L.[2]
Suplementasi Zat Besi Intravena:
Suplementasi zat besi intravena dapat direkomendasikan pada:
- Pasien RLS kronik persisten berat atau refrakter dengan bukti defisiensi besi
- Kadar ferritin serum antara 76–100 µg/L karena pada kadar ini, dianggap absorpsi secara oral kurang baik
- Suplementasi besi oral tidak bisa diabsorbsi dengan baik oleh usus, seperti postoperasi bariatrik[2]
Suplementasi zat besi intravena yang direkomendasikan adalah ferric carboxymaltose dengan dosis 1000 mg (single dose) atau 500 mg 2 dosis dengan interval 5–7 hari. Agen ini sudah ada di Indonesia dan sudah disetujui BPOM. Efek samping penggunaannya yang paling sering adalah hipofosfatemia, dan osteopenia pada penggunaan berulang.[2,26]
Pilihan suplementasi intravena lainnya adalah low-molecular-weight iron dextran 1000 mg (test dosis 25 mg) dan ferumoxytol 1020 mg. Kedua agen ini juga sudah ada di Indonesia dan sudah disetujui BPOM. Keduanya diberikan secara single dose. Pemberian suplementasi besi intravena dapat diulang dengan interval 12 minggu bila pada terapi sebelumnya memberikan respon, tetapi gejala RLS kembali berulang dan kadar ferritin serum <300 µg/L serta saturasi transferin <45%.[2]
Antihistamin dan Antidepresan
Pemberian antihistamin generasi I, agen neuroleptik, antiemetik yang sifatnya dopamine-blocking seperti metoclopramide, dan antidepresan, kecuali bupropion, dalam tata laksana RLS berisiko menyebabkan perburukan gejala. Mekanisme yang menyebabkan perburukan gejala ini belum diketahui, kemungkinan karena memperparah gangguan/penurunan regulasi dopamin. Pada RLS yang berhubungan dengan kondisi depresi, pemberian antidepresan yang direkomendasikan adalah bupropion.[2]
Nonmedikamentosa
Tata laksana nonmedikamentosa untuk RLS adalah menghindari faktor yang mempresipitasi gejala RLS, termasuk melakukan sleep hygiene. Beberapa hal yang mempresipitasi gejala RLS, sehingga harus dihindari, antara lain:
- Mengonsumsi kafein ataupun alkohol terlalu banyak atau sebelum tidur
- Melakukan aktivitas fisik yang intens sebelum tidur
- Stress psikologis yang berat[1]
Pasien harus disarankan untuk melakukan persiapan tidur yang baik, yaitu:
- Tidak melakukan kegiatan lain selain tidur di tempat tidur (seperti belajar dan menonton TV)
- Atur pola tidur teratur dan hindari tidur siang
- Menciptakan suasana yang nyaman untuk tidur, misalnya ruangan yang dingin atau hangat, nyaman, dan tidak berisik
- Menggunakan pakaian tidur yang nyaman, misalnya piyama[1]
Pada saat serangan RLS, pasien disarankan untuk mengalihkan perhatian dari serangan tersebut, misalnya:
- Melakukan aktivitas fisik, seperti jalan atau stretching
- Melakukan olahraga yang sifatnya relaksasi, seperti yoga
- Melakukan pijat pada bagian tubuh yang bergejala
- Mandi atau berendam dengan air dingin atau hangat
- Mengalihkan pikiran, misalnya dengan membaca buku[1]
Aktivitas fisik, seperti yoga, latihan beban, dan aerobik, direkomendasikan untuk pasien dengan RLS. Pada pasien dengan GGK, tempat tidur dialisis dengan sepeda juga dapat direkomendasikan, tetapi peralatan ini belum tersedia di Indonesia. Sedangkan akupunktur dan fitoterapi tidak direkomendasikan dalam tata laksana RLS karena bukti pendukung yang belum cukup.[6]
Penulisan pertama oleh: dr. Ghifara Huda