Patofisiologi Abortus
Patofisiologi abortus melibatkan adanya abnormalitas kromosom, disregulasi sistem imun, dan defek fase luteal. Hasil akhir adalah meluruhnya atau keluarnya hasil konsepsi sebelum usia kehamilan 22 minggu.[1-4]
Abnormalitas Kromosom
Abnormalitas kromosom janin akan menyebabkan peningkatan reaksi sistem imun ibu yang ditandai dengan peningkatan TNF dan IL-1-0. Ini akan menyebabkan gangguan perkembangan plasenta, baik morfologi dan fungsi, termasuk ukuran, bentuk dan vaskularisasi. Abnormalitas kromosom juga dikaitkan dengan invasi trofoblas abnormal di desidua sehingga terjadilah apoptosis janin.[6,7]
Disregulasi Imunologi selama Kehamilan
Kehamilan bisa terjadi karena interaksi imun-endokrin. Respon imun terjadi karena hasil konsepsi mengandung sel paternal. Selanjutnya, kehamilan dapat dipertahankan karena rangsangan hormon progesteron yang bekerja dengan mempertahankan proses desidualisasi dan mengontrol kontraksi uterus.
Progesteron akan memicu keluarnya Progesterone Induced Blocking Factor (PIBF) oleh limfosit dan sel desidua. PIBF sendiri merupakan anti abortus karena melindungi fetus dari sel imun. PIBF juga akan merangsang modulasi sitokin dari Th1 menjadi Th2.
Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan respon inflamasi sistemik maternal dengan ketidakseimbangan rasio Th1/Th2 di sirkulasi maternal pasien abortus. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kadar progesteron serum dan PIBF yang rendah akan meningkatkan risiko abortus.[8,9]
Defek Fase Luteal
Defek luteal diduga berperan dalam menyebabkan terjadinya abortus. Meski demikian, teori ini masih menuai perdebatan karena ada juga beberapa studi yang menunjukkan fase luteal yang pendek tidak berkaitan dengan risiko abortus.
Sebelum plasenta mengambil alih produksi progesteron, progesteron diproduksi oleh korpus luteum. Adanya defek fase luteal menyebabkan abortus karena berkurangnya hormon progesteron yang berperan penting dalam mempertahankan kehamilan.[10,11]
Penulisan pertama oleh: dr. Pika Novriani Lubis