Penatalaksanaan Abortus
Penatalaksanaan abortus atau keguguran pada kebanyakan pasien adalah expectant management, terutama pada usia kehamilan awal, karena kebanyakan pasien hanya mengalami perdarahan dan kram perut yang sedikit lebih berat dari menstruasi normal. Obat yang paling banyak digunakan untuk penatalaksanaan abortus adalah mifepristone oral 200 mg diikuti dengan misoprostol 800 µg yang diberikan secara bukal atau vagina. Pada beberapa kasus, pasien mungkin memerlukan tindakan dilatasi dan kuretase.[1,5,20,24]
Stabilisasi
Hal pertama yang harus dilakukan jika mendapat kasus abortus adalah penilaian kondisi umum ibu secara menyeluruh yang terdiri dari kesadaran ibu, tanda vital ibu, serta tanda syok seperti hipotensi, takikardi dan akral dingin.
Jika didapatkan tanda syok, maka manajemen akan mencakup resusitasi cairan fisiologis dengan salin normal atau ringer laktat. Bila instabilitas hemodinamik dan perdarahan berlanjut, maka perlu dipertimbangkan pemberian transfusi darah dan pengeluaran produk konsepsi untuk menghentikan perdarahan.[1,2,5,20]
Expectant Management
Pendekatan ini merupakan pilihan pertama dalam 7-14 hari setelah diagnosis abortus. Angka keberhasilan atau peluruhan lengkap dari jaringan kehamilan setelah expectant management telah dilaporkan sebesar 91% pada abortus inkomplit, 76% pada missed abortion, dan 66% pada blighted ovum.[2]
Kontraindikasi Expectant Management
Pendekatan Expectant dikontraindikasikan pada:
- Abortus septik
- Instabilitas hemodinamik
- Perdarahan vagina yang berat atau hemoglobin <9 g/dL
- Koagulopati
- Pasien ingin kuretase
- Kehamilan ektopik
- mola hidatidosa
-
Intrauterine device (IUD) in situ
- Hipersensitivitas terhadap misoprostol
- Kontraindikasi misoprostol[2]
Indikasi dan Cara Melakukan Expectant management
Expectant management dapat dipilih jika kontraindikasi di atas tidak didapatkan. Jaringan kehamilan dikeluarkan secara alamiah di luar fasilitas kesehatan.
Expectant management dapat dilakukan hingga panjang kepala-bokong sesuai dengan minggu ke 12 + 0 kehamilan dan tidak ada indikasi kuat untuk penatalaksanaan bedah. Pasien yang memilih pendekatan ini perlu diedukasi mengenai situasi dimana mereka harus datang kembali ke rumah sakit, misalnya jika perdarahan sangat berat.
Pasien bisa diberikan obat analgesik, seperti ibuprofen atau metamizole, untuk meringankan keluhan nyeri perut jika perlu. Dibandingkan medikamentosa dan pembedahan, expectant management dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan dan dalam kasus yang sangat jarang dapat menyebabkan disseminated intravascular coagulation. Jika jaringan kehamilan tidak keluar, maka pasien memerlukan tindak lanjut berupa pemberian medikamentosa atau kuretase.[2,5,24]
Medikamentosa
Misoprostol merupakan medikamentosa pilihan pada kasus abortus. Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1. Pada rahim hamil, obat ini dapat menginduksi kontraksi miometrium, pelunakan, dan pelebaran serviks. Kepekaan rahim terhadap misoprostol meningkat seiring pertambahan usia kehamilan. Faktor prediktif keberhasilan misoprostol adalah perdarahan vagina, nyeri perut bagian bawah dan nulipara.[2]
Protokol Pemberian Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
Menurut ACOG, mifepristone diberikan 200 mg 24 jam sebelum pemberian misoprostol. Kemudian, diberikan misoprostol 800 µg melalui vagina. Jika tidak berhasil, dosis bisa diulangi sekali dalam 7 hari.[2,24]
Protokol Pemberian Menurut National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
Menurut NICE, misoprostol diberikan 800 µg melalui vagina pada kasus missed abortion. Dosis untuk abortus inkomplit adalah 600 µg melalui vagina.[2]
Protokol Pemberian Menurut International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
Menurut FIGO, pada missed abortion misoprostol diberikan 800 µg melalui vagina sebanyak 2 kali dengan interval 3 jam. Pilihan lain adalah 600 µg sublingual sebanyak 2 kali dengan interval 3 jam.
Pada kasus abortus inkomplit, misoprostol dapat diberikan 600 µg per oral 1 kali saja. Alternatif lain adalah 400 µg sublingual atau 400–800 µg melalui vagina.[2]
Pemantauan
Perdarahan biasanya akan memberat antara 2-4 jam setelah pemberian misoprostol. Untuk meringankan gejala nyeri, dapat diberikan analgesik, seperti ibuprofen atau metamizole.
Setelah perdarahan dimulai, biasanya perdarahan akan berat selama sekitar 2 jam, dengan keluarnya gumpalan darah dan jaringan kehamilan. Namun, jika perdarahan berlanjut selama lebih dari 2 jam atau pasien mengalami perdarahan yang memenuhi lebih dari 2 pembalut besar dalam 1 jam, maka pasien harus pergi ke rumah sakit.
Pemeriksaan ultrasonografi transvagina lanjutan direkomendasikan setelah 7-14 hari. Jika kantung kehamilan masih ada atau ketebalan endometrium >30 mm pada USG, pemberian misoprostol dapat diulang atau dilakukan kuretase.[2,5,24]
Dilatasi dan Kuretase
Dilatasi dan kuretase merupakan salah satu tindakan pembedahan untuk penanganan abortus. Dilatasi dapat dilakukan dengan menggunakan laminaria yang dimasukkan ke dalam serviks atau menggunakan obat misoprostol. Kemudian, apabila pembukaan serviks sudah cukup besar, maka dapat dilakukan tindakan kuret tumpul atau vakum aspirasi untuk mengambil jaringan kehamilan.
Risiko komplikasi dari tindakan dilatasi dan kuretase adalah perdarahan, perforasi uterus, perforasi kandung kemih, sisa produk konsepsi, dan infeksi.[2]
Perawatan Pasca Tindakan
Lakukan observasi pasien selama 1–2 jam pasca tindakan untuk mengamati adanya keluhan nyeri perut, perdarahan dan demam. Selain itu, dapat diberikan antinyeri per oral untuk mengurangi keluhan nyeri pasca tindakan kuretase.[1,2,5,24]
Penulisan pertama oleh: dr. Pika Novriani Lubis