Epidemiologi Perdarahan Uterus Abnormal
Data epidemiologi menunjukkan prevalensi perdarahan uterus abnormal meningkat pada wanita tidak hamil (nonpregnant) usia remaja dan wanita usia di atas 40 tahun. Perdarahan menstruasi yang banyak (heavy menstrual bleeding) merupakan presentasi klinis perdarahan uterus abnormal yang paling banyak ditemukan.[3,4,14]
Global
Perdarahan uterus abnormal sering ditemukan di praktik, dengan kisaran 5-10% kasus di klinik rawat jalan. Karena kebanyakan kasus berkaitan dengan siklus menstruasi anovulasi, populasi remaja dan wanita perimenopause merupakan populasi rentan. Sekitar 20% individu yang terkena adalah remaja dan 50% berusia 40-50 tahun. Dalam sebuah penelitian terhadap 400 wanita perimenopause, jenis pola perdarahan yang paling umum adalah menoragia (67,5%), dan patologi yang paling umum adalah hiperplasia endometrium sederhana tanpa atipia (31%).[3]
Menurut sebuah studi potong lintang di Rumah Sakit Beijing Shijitan yang melibatkan 1.053 wanita usia 15-55 tahun dengan perdarahan uterus abnormal kronis, disfungsi ovulasi merupakan penyebab terbanyak (57,7%). Penyebab lain yang dilaporkan dalam studi ini adalah polip pada 171 subjek (16,2%), leiomyoma 130 subjek (12%), adenomiosis 52 subjek (4,94%), etiologi endometrial 28 subjek (2%), iatrogenik 23 subjek (2%), malignansi 20 subjek (1,9%), koagulopati 10 subjek (1%), serta etiologi yang tidak dapat diklasifikasikan 10 subjek (0,9%).[16]
Indonesia
Data epidemiologi perdarahan uterus abnormal di Indonesia masih terbatas. Sebuah penelitian deskriptif retrospektif di sebuah Rumah Sakit Umum di Bali melaporkan frekuensi kasus perdarahan uterus abnormal sebanyak 68 kasus (15,8%) dari 437 kasus ginekologi. Perdarahan uterus abnormal dengan etiologi kelainan struktural dilaporkan pada 45 orang (66,2%) dengan kasus terbanyak adalah leiomyoma 26 orang (38,2%). Sementara itu, perdarahan uterus abnormal bukan karena kelainan struktural dilaporkan pada 23 orang (33.8%) dengan kasus terbanyak disfungsi ovulasi pada 18 orang (26,4%).
Pada penelitian tersebut, kejadian perdarahan uterus abnormal paling banyak pada kelompok usia ≥41 tahun sebanyak 25 orang (36,8%). Kejadian perdarahan uterus abnormal paling banyak ditemukan pada kelompok indeks massa tubuh (IMT) normal (18,5- 24,9) yaitu 53 orang (77,8%).[17]
Mortalitas
Perdarahan uterus abnormal yang berulang bisa menyebabkan anemia defisiensi besi. Apabila perdarahan sangat banyak, mungkin diperlukan terapi cairan atau transfusi. Selain itu, pasien dengan perdarahan abnormal sering terpapar dengan intervensi medis yang tidak perlu, misalnya kuretase berulang, terapi ablasi, ataupun histerektomi.[3]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelsi Khairani