Patofisiologi Konjungtivitis
Patofisiologi konjungtivitis melibatkan proses inflamasi pada konjungtiva akibat paparan langsung dengan patogen infeksius maupun faktor non-infeksi yang bersifat iritan atau alergen. Proses inflamasi ditandai dengan adanya injeksi konjungtiva atau dilatasi pada pembuluh darah di konjungtiva, sehingga menimbulkan tanda dan gejala seperti mata merah, produksi discharge, dan edema pada konjungtiva. Jenis konjungtivitis yang paling sering terjadi yakni akibat infeksi virus, bakteri dan alergi.[2]
Infeksi Virus
Penyebab konjungtivitis tersering adalah infeksi virus, khususnya Adenovirus. Patofisiologi konjungtivitis akibat Adenovirus diawali dengan interaksi reseptor sel primer seperti CAR, CD46, asam sialik, desmoglein 2, heparin sulfat proteoglikan, CD80, CD86, dan GD1a dengan protein fiber-knob. Interaksi tersebut merupakan media yang memperantarai perlekatan virus dengan sel host pada lapisan konjungtiva.
Setelah proses perlekatan virus, terjadi proses internalisasi Adenovirus ke dalam endosom yang diperantarai oleh interaksi vitronectin-binding integrin dengan homopentameric penton-base pada virus. Replikasi virus akan terjadi secara lokal.
Reaksi imun tipe 1 akan merespon infeksi Adenovirus pada konjungtiva meliputi respon imunitas innate yang dimediasi oleh sel natural killer, monosit dan interferon tipe 1, serta respon imunitas adaptif yang dimediasi oleh sel T CD8, IgA, dan T-helper 1. Pada lapisan air mata juga ditemukan adanya protein defensin yang memiliki sifat antiviral. Defensin menghambat proses uncoating dan internalisasi virus ke dalam endosom.[3]
Proses inflamasi pada konjungtiva tersebut menyebabkan terjadinya dilatasi pada pembuluh darah, sehingga menimbulkan gejala berupa hiperemis dan edema pada konjungtiva, disertai dengan pengeluaran sekret mata. Proses replikasi virus akan memberikan tanda hipertrofi folikular.
Adenovirus juga dapat menyebabkan vaskulitis yang menimbulkan tanda hemoragik petekie akibat peningkatan permeabilitas dan ruptur kapiler konjungtiva. Eksudasi serum, fibrin, dan leukosit dari kapiler yang mengalami dilatasi, serta jaringan epitel yang mengalami nekrosis kemudian dapat membentuk pseudomembran pada konjungtiva tarsal.[4]
Infeksi Bakteri
Konjungtivitis bakterial biasanya diakibatkan infeksi oleh flora normal yang berkolonisasi di sekitar mata, seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Infeksi dapat terjadi apabila lapisan epitel konjungtiva mengalami kerusakan atau abrasi, adanya peningkatan jumlah bakteri, dan penurunan imunitas host.
Selain itu, infeksi juga dapat terjadi akibat kontaminasi eksternal, misalnya penggunaan kontak lensa yang tidak bersih, berenang, dan menggosok-gosok mata menggunakan tangan yang kotor. Barrier utama mata dalam melawan infeksi adalah lapisan epitel yang melapisi konjungtiva, apabila terjadi kerusakan pada lapisan ini, maka rentan terjadi infeksi.[5]
Alergi
Konjungtivitis alergi terbagi menjadi beberapa subtipe, yakni seasonal dan perennial, vernal, atopik, dan giant papillary. Patofisiologi konjungtivitis alergi biasanya berupa reaksi hipersensitivitas tipe I.[6]
Konjungtivitis Seasonal dan Perennial
Konjungtivitis tipe seasonal dan perennial menimbulkan gejala gatal pada mata, kemerahan, rasa terbakar, dan berair. Terdapat perbedaan awitan pada kasus konjungtivitis seasonal (SAC) dan konjungtivitis perennial (PAC).
SAC terjadi pada waktu-waktu tertentu, misalnya saat musim semi dimana terdapat banyak pollen yang berasal dari pohon atau musim panas dimana terdapat banyak pollen dari rumput. Sementara itu, PAC lebih sering disebabkan oleh paparan alergen yang berasal dari rumah, seperti dust mites, kecoa, asap rokok, jamur, dan hewan peliharaan. Keduanya sama-sama menimbulkan reaksi hipersensitivitas IgE-mediated, dimana terjadi interaksi antara IgE yang berikatan dengan sel mast, sehingga menimbulkan gejala alergi pada mata.[6]
Konjungtivitis Vernal
Pada konjungtivitis vernal, hipereaktivitas terjadi bukan akibat alergen spesifik, melainkan oleh rangsangan seperti debu, angin, maupun cahaya matahari. Konjungtivitis vernal merupakan bentuk konjungtivitis kronis yang dominan dimediasi oleh limfosit T-helper 2. Interleukin 4 dan 13 menyebabkan proliferasi fibroblas konjungtiva dan produksi matriks ekstraseluler yang kemudian akan membentuk tanda khas berupa giant papillae.[7]
Konjungtivitis Atopik
Patofisiologi konjungtivitis atopik melibatkan degranulasi kronis sel mast yang dimediasi oleh IgE dan reaksi imun yang dimediasi oleh limfosit T-helper 1 dan 2. Biasanya, konjungtivitis atopik merupakan gejala yang menyertai kondisi dermatitis atopik.[6]
Konjungtivitis Giant Papillary
Meskipun masuk ke dalam subtipe dari konjungtivitis alergi, namun konjungtivitis giant papillary memiliki patofisiologi yang cukup berbeda dengan konjungtivitis alergi lainnya. Rangsangan proses inflamasi pada konjungtivitis giant papillary pada umumnya diakibatkan zat yang bersifat inersia, misalnya benang jahit pada limbus, lensa kontak, protesa mata, atau tumor limbal dermoid.
Tidak ada peningkatan IgE atau histamin pada pasien konjungtivitis giant papillary, walaupun pada konjungtiva dapat ditemukan sel mast, basofil, atau eosinofil. Pada penggunaan lensa kontak, kemungkinan deposit protein dapat bersifat antigenik dan merangsang produksi IgE. Mikrotrauma dan iritasi kronis juga dapat merangsang pelepasan mediator seperti CXCL8 dan TNF-α oleh sel epitel konjungtiva.[6]
Penulisan pertama oleh: dr. Saphira Evani