Epidemiologi Sindrom Kompartemen Orbita
Data epidemiologi menunjukkan bahwa sindrom kompartemen orbita jarang ditemukan, yakni dengan insiden <1%. Namun, bila terjadi, kondisi ini berpotensi menyebabkan kebutaan dalam hitungan 60–100 menit dari onset gejala. Sindrom kompartemen orbita umumnya disebabkan oleh trauma, baik trauma mata maupun kepala.[8,9]
Global
Saat ini belum ada data prevalensi global khusus mengenai sindrom kompartemen orbita. Namun, berdasarkan studi Voss, et al. di Jerman, insiden sindrom kompartemen orbita mencapai 0,088% dari hampir 18.100 kasus emergensi maxillofacial. Penyebab yang sering ditemukan adalah trauma. Berdasarkan studi lain oleh Fattahi, et al. pada hampir 1.400 kasus dengan fraktur atau trauma orbita di Amerika Serikat, sekitar 3,6% mengalami perdarahan retrobulbar.[8,9]
Indonesia
Saat ini belum ada data epidemiologi di Indonesia untuk sindrom kompartemen orbita.
Mortalitas
Laporan mortalitas terkait sindrom kompartemen orbita jarang ditemukan. Sindrom kompartemen orbita lebih banyak berhubungan dengan gangguan visus sampai dengan kehilangan penglihatan. Mortalitas biasanya disebabkan oleh etiologinya yang fatal, misalnya trauma kepala dan leher.[2,8]
Pada studi Fattahi, et al., 3,6% pasien dari hampir 1.400 pasien dengan fraktur atau trauma orbita mengalami perdarahan retrobulbar dan sekitar 7,4% pasien meninggal dunia karena trauma tersebut.[2,8]
Studi Voss et al. pada 14 pasien dengan sindrom kompartemen orbita yang menjalani operasi dekompresi orbita menunjukkan bahwa 1 pasien mengalami kebutaan dan 2 lainnya tidak mengalami perbaikan visus. Kehilangan penglihatan maupun tidak adanya perbaikan visus rentan terjadi pada mereka yang terlambat mendapatkan penanganan dekompresi orbita.[9]