Diagnosis Miopia
Diagnosis miopia (myopia) atau rabun jauh dengan menggunakan autorefraksi sikloplegik, sebagai pemeriksaan gold standard. Namun, karena prosedur tersebut memakan waktu dan dapat menimbulkan efek samping, seperti penglihatan kabur sementara dan fotofobia, maka untuk skrining miopia digunakan uncorrected visual acuity (UVCA).[1,9]
Anamnesis
Pada anamnesis, biasanya orang tua mengeluh anaknya membaca buku atau papan tulis dengan jarak yang sangat dekat, seringkali membuat kesalahan saat mencatat dari papan tulis, tidak mampu menonton televisi dari jarak jauh, dan sakit kepala yang berulang setelah melakukan aktivitas dengan jarak dekat.
Pada anak yang lebih besar atau orang dewasa, keluhan biasanya tidak dapat melihat dengan jelas pada jarak yang jauh, nyeri pada pada bola mata, dan sakit kepala hingga nyeri leher. Penderita miopia juga biasanya memiliki riwayat keluarga dengan miopia.[3]
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik, bisa diamati seringnya pasien menyipitkan mata untuk membantu dirinya membaca atau melihat jarak jauh. Pada pasien yang dicurigai dengan miopia, perlu dilakukan pemeriksaan strabismus. Hal ini karena exotropia biasa ditemukan pada pasien miopia sedang hingga berat.[3]
Slit-Lamp
Pemeriksaan mata dengan slit-lamp memberikan informasi mengenai kondisi kornea, bilik mata depan, sudut iridocorneal, cakram optik, dan makula. Pemeriksaan mata bagian media ini bermanfaat untuk menentukan penyebab mata rabun lainnya.[3]
Diagnosis Banding
Pasien dengan keluhan rabun jauh perlu didiagnosis banding dengan kondisi pseudomyopia dan keratokonus pada tahap awal.
Pseudomyopia
Pseudomyopia adalah rabun jauh yang terjadi karena spasme siliaris, sehingga pergerakan lensa menjadi terhambat. Kondisi ini dapat terjadi akibat overstimulasi mekanisme akomodasi mata.
Beberapa penelitian menyebut pseudomyopia sebagai work-induced transient myopia (NITM) atau spasme akomodasi. Diagnosis pseudomyopia dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan refraksi non-sikloplegik yang lebih negatif daripada refraksi dengan sikloplegik.[3,6]
Keratokonus
Kornea menyumbang lebih dari 70% total refraksi bola mata dan merupakan permukaan refraktif yang paling penting. Pada tahap awal keratokonus, gejala dapat menyerupai miopia dan astigmatisme, membuat deteksi dini menjadi lebih sulit. Tonjolan kerucut pada anterior kornea adalah gambaran klinis keratokonus yang paling menonjol.[11]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosa dari miopia adalah autorefractometer, uncorrected visual acuity (UVCA), retinoscopy, dan corneal topography.
Autorefraktometer
Autorefraktometer digunakan untuk pemeriksaan derajat miopia. Pemeriksaan ini memiliki tingkat keakuratan yang tinggi karena menggunakan sinar infrared (panjang gelombang 800‒900 nm) yang diproyeksikan ke dalam mata. Refleksi sinar ini digunakan untuk mengkalkulasi gangguan refraksi.[3]
Uncorrected visual acuity (UVCA)
Autorefraksi sikloplegik merupakan gold standard untuk mendiagnosis anak dengan miopia, akan tetapi autorefraksi sikloplegik ini memiliki efek samping buram pada saat penglihatan dekat dan fotofobia, membuat pasien tidak nyaman.[8]
Untuk mengatasinya, penggunaan autorefraksi non siklopegik dan pengukuran aksial telah diterapkan pada beberapa pemeriksaan miopia. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan gabungan dari tes ini memiliki kesalahan diagnosis yang lebih rendah.[9]
Retinoscopy
Retinoscopy juga alat penting yang dapat menentukkan gangguan refraksi. Alat ini digunakan untuk menemukan titik jauh mata yang terkonjugasi ke retina dengan akomodasi saat istirahat. Pada pasien dengan miopia lebih dari 1,5 D, cahaya yang dipantulkan oleh retina bergerak berlawanan arah dengan arah cahaya yang diproyeksikan.[3]
Corneal Topography
Corneal topography dilakukan untuk mengidentifikasi gangguan miopia yang disebabkan oleh karena gangguan kornea. Pasien dengan miopia yang tinggi disertai dengan astigmatisme perlu dilakukan skrining keratoconus.[3]
Corneal topography juga digunakan untuk pemeriksaan pasien yang akan menjalani operasi bedah laser seperti lasik. Pemeriksaan ini dapat melihat integritas biomekanik dari kornea, sehingga dapat membantu oftalmologis untuk merencanakan tata laksana yang tepat demi visus yang lebih baik.[3]
Klasifikasi Miopia
Miopia dapat diklasifikasi berdasarkan usia pasien, entitas klinis, dan tingkat keparahan dioptri.[1]
Klasifikasi Miopia berdasarkan Usia
- Miopia patologis: akibat atipikal dan perpanjangan aksial mata yang parah, dan biasanya muncul sebelum usia 6 tahun
- Miopia usia sekolah: muncul usia 6‒18 tahun, yaitu usia anak sekolah di mana waktu untuk membaca meningkat
- Miopia usia dewasa: dibedakan menjadi miopia usia dewasa dini yang muncul pada usia 20‒40 tahun, dan miopia usia dewasa lanjut pada usia >40 tahun[1]
Klasifikasi Miopia berdasarkan Entitas Klinis
- Miopia simple: bergantung pada kristalin lensa, kekuatan optik lensa, dan panjang aksial mata. Miopia simple muncul pada usia anak-anak dan bertambah parah, dengan peningkatan -1.0 D per tahun. Progresivitas miopia simpel akan menjadi lambat saat usia remaja
- Miopia nokturnal atau miopia malam: muncul di dalam kegelapan dengan gejala kabur penglihatan. Pasien biasanya akan mengeluh sulit untuk menyetir saat malam hari
Pseudomyopia: akibat spasme otot siliaris atau kesulitan sistem akomodasi mata untuk berelaksasi. Pseudomyopia muncul pada usia muda, yang mengerjakan pekerjaan jarak dekat secara berlebihan
- Miopia degeneratif: berhubungan dengan proses degeneratif retina perifer. Pembengkakkan pada miopia degeneratif dapat merusak saraf optik dengan membuat retina menjadi regang.
- Miopia terinduksi: akibat pengaruh dari agen farmakologis, seperti asetilkolin, pilokarpin, tetrasiklin, sulfonamide, isoniazid, kortikosteroid, opium, dan morfin. Miopia terkinduksi bersifat sementara[1]
Klasifikasi Miopia berdasarkan Tingkat Keparahan
- Miopia: gangguan refraksi ≤-0,50 D
- Miopia rendah: gangguan refraksi ≤ -0,50 D dan > -6.00 D
- Miopia tinggi: gangguan refraksi ≤ -6,00 D
- Pre-miopia: gangguan refraksi ≤+0,75 D dan >-0,50 Dpada anak-anak, dengan kombinasi faktor risiko yang dapat melanjutkan progresivitas miopia[4]