Diagnosis Hepatitis D
Diagnosis infeksi virus hepatitis D atau HDV harus dicurigai pada semua pasien dengan infeksi virus hepatitis B atau HBV, karena HDV memerlukan adanya infeksi HBV untuk menginfeksi seorang individu. Oleh karena itu, semua pasien dengan infeksi HBV harus dilakukan skrining untuk infeksi HDV.
Diagnosis infeksi virus hepatitis D (HDV) ditegakkan secara klinis dan didukung pemeriksaan serologi berupa antibodi HDV (IgM dan IgG) dan HDV RNA. Gold standard diagnosis hepatitis D adalah pemeriksaan HDV RNA untuk mengkonfirmasi viraemia yang sedang berlangsung.[3,5]
Infeksi HDV dapat muncul dalam bentuk koinfeksi atau superinfeksi HDV dengan virus Hepatitis B (HBV). Koinfeksi adalah infeksi kedua virus pada waktu bersamaan, sedangkan superinfeksi adalah pada seseorang yang terinfeksi HBV kronis kemudian terinfeksi HDV.[3,5]
Perjalanan Penyakit Infeksi Virus Hepatitis D
Untuk dapat mendiagnosis infeksi HDV, kita memahami terlebih dahulu perjalanan penyakit untuk infeksi HDV. Perjalanan penyakit ini berhubungan dengan gejala yang asimtomatik dan simtomatik yang terjadi pada infeksi HDV. Perjalanan penyakit infeksi HDV yang dibagi menjadi 4 fase, yaitu sebagai berikut:
Fase 1: Fase Replikasi Virus
Pada fase replikasi virus, virus masih bereplikasi, sehingga biasanya pasien asimtomatik, namun pada pemeriksaan laboratorium, maker antigen HDV positif dengan ditunjang dengan marker infeksi HBsAg yang positif.[27]
Fase ini dikenal juga dengan masa inkubasi. Masa inkubasi untuk infeksi HDV cukup lama, yaitu 30 sampai 180 hari atau rata-rata 8 sampai 12 minggu.[1]
Fase 2: Fase Prodromal
Fase prodromal adalah fase awal penyakit yang disertai dengan timbulnya gejala, dimana pada infeksi HDV seringkali ditemui anorexia, mual, muntah, malaise, pruritus, urtikaria, arthralgia, nyeri kepala, faringitis, dan batuk. Keluhan ini biasanya terjadi 1-2 minggu sebelum terjadi jaundice.[27]
Keluhan mual, muntah dan anorexia biasanya terjadi karena adanya perubahan pada kemampuan merasa makanan dan sistem olfaktori. Terkadang dapat ditemukan pula adanya demam 38° sampai 39°C. Pada fase ini, seringkali pasien hanya didiagnosis dengan gastroenteritis (GE) atau infeksi virus lainnya.[27]
Fase 3: Fase Ikterus
Pada fase ikterus, pasien biasanya sudah memiliki keluhan urin berwarna gelap seperti teh dan feses dempul, keluhan pada urine dan feses ini biasanya terjadi 1-5 hari sebelum jaundice. Kemudian terjadi jaundice dan nyeri abdomen pada hipokondrium kanan dengan hepatomegali pada pemeriksaan fisik.[27]
Selain itu, pada fase ini pasien mulai mengalami penurunan berat badan (2,5-5kg) akibat fase sebelumnya karena anorexia, mual, dan muntah. Penurunan berat badan ini berlanjut terus di fase ikterik.[27]
Pemeriksaan fungsi hati seperti SGOT dan SGPT serta pemeriksaan bilirubin serum akan meningkat paling tinggi pada fase ini. Hal ini menunjukkan bahwa fase ini merupakan fase terberat, dimana kerusakan fungsi hati paling tinggi pada fase ini.[1]
Fase 4: Fase Konvalesens
Pada fase konvalesens, pasien mulai mengalami perbaikan klinis, yang dapat dilihat dari adanya perbaikan gejala dan fungsi hati yang perlahan-lahan kembali ke normal. Fase ini rata-rata terjadi selama 2 sampai 12 minggu dan fungsi hati biasanya kembali menjadi normal dalam 3 sampai 4 minggu.[27]
Anamnesis
Temuan anamnesis pada infeksi virus Hepatitis D (HDV) akut dapat menyebabkan keluhan ringan hingga berat yang secara klinis memiliki keluhan yang mirip dengan hepatitis viral lainnya, dimana gejala klinis biasanya muncul 3-7 minggu setelah infeksi awal yaitu kelelahan, nafsu makan berkurang, mual, muntah, perut kembung, nyeri perut kanan atas dan ikterus.[14,15]
Pada infeksi HDV kronik, yaitu infeksi HDV dengan durasi lebih dari 6 bulan setelah terdeteksi HDV, biasanya pasien memiliki riwayat infeksi HDV akut. Tidak ada temuan klinis khusus pada anamnesis untuk hepatitis D kronis. Gejala yang sering dialami biasanya berupa fatigue, nafsu makan menurun, nyeri otot-sendi, nyeri hipokondrium kanan, dan dapat berkembang menjadi sirosis hepatis hingga hepatocellular carcinoma (HCC).[14]
Apabila sudah berkembang menjadi sirosis, biasanya gejala penurunan nafsu makan mulai hilang, pruritus mulai muncul lebih sering, serta penurunan berat badan lebih jelas. Selain itu, karena pasien dengan infeksi HDV biasanya koinfeksi atau superinfeksi dengan infeksi HBV, maka biasanya pasien memiliki riwayat infeksi HBV.[27]
Bila sudah terjadi ensefalopati hepatikum tahap awal, maka pasien dapat datang dengan gejala tambahan yang non spesifik, seperti gangguan tidur, iritabilitas, sulit berkonsentrasi, tidak produktif, serta penurunan kesehatan emosional dan status mental. Selanjutnya pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, disorientasi, stupor, dan koma.[27]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada infeksi hepatitis D virus (HDV) secara klinis mirip dengan hepatitis viral, sehingga sulit membedakan infeksi HDV dan hepatitis viral pada umumnya hanya dari pemeriksaan fisik saja. Pada keadaan akut, didapatkan demam, ikterus karena endapan bilirubin di berbagai jaringan seperti sklera dan kulit, dan pada keadaan kronik sering terjadi nyeri tekan hipokondrium kanan dengan hepatomegali.[15]
Selain itu, pada pasien dapat ditemukan berupa urin berwarna gelap seperti teh, feses dempul, pruritus akibat deposit bilirubin direk di kulit, dan nyeri serta nyeri tekan abdomen di area hipokondrium kanan.[15]
Pada keadaan kronik dapat terjadi sirosis hepatis dimana mulai terjadi penurunan massa otot dan berat badan; asites, ikterus, dan edema yang semakin prominens; urin berwarna teh, kelemahan otot hingga komplikasi lebih lanjut, seperti hipertensi portal, asites, ensefalopati hepatikum.[15]
Apabila pasien sudah datang dengan ensefalopati hepatikum, biasanya dapat ditemukan penurunan kesadaran serta penurunan status mental, asterixis atau flapping tremor, dan fetor hepaticus. Fetor hepaticus adalah bau khas pada pasien yang kemanisan yang bercampur dengan bau amonia, yang terutama ditemukan pada pasien dengan gagal liver.[27]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding infeksi HDV adalah infeksi hepatitis virus lainnya seperti hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis E; dan toxic hepatitis, dimana perbedaannya terdapat pada riwayat koinfeksi atau superinfeksi HBV dengan pemeriksaan antigen atau antibodi HDV positif.[10]
Infeksi HDV masih jarang ditemukan. Namun, karena koinfeksi atau superinfeksi dengan infeksi HBV, maka diperlukan screening HDV pada pasien dengan infeksi HBV.[10]
Hepatitis Virus Lainnya
Pada infeksi HDV seringkali terjadi dengan koinfeksi ataupun superinfeksi dengan infeksi HBV. Pada hepatitis viral lainnya, seperti hepatitis A, infeksi bersifat akut dan disebabkan adanya riwayat konsumsi makanan ataupun minuman terkontaminasi virus hepatitis A. Reaktivasi atau flare HBV juga dapat terjadi pada pasien dengan HBV kronis dan dapat menyerupai tanda dan gejala yang terlihat pada infeksi HDV akut.[10]
Infeksi virus Hepatitis C (HCV) juga ditularkan melalui darah dan cairan tubuh. Meskipun hepatitis C lebih umum berkembang tanpa gejala pada awalnya, kemudian menjadi infeksi kronis, infeksi HCV akut dapat muncul dengan klinis sangat mirip dengan infeksi HDV akut.[10]
Infeksi virus Hepatitis E umumnya didapat melalui makanan dan air yang terkontaminasi terutama di kalangan pelancong ke daerah dengan prevalensi virus hepatitis yang tinggi. Presentasi klinis hepatitis E juga bisa sangat mirip dengan infeksi HDV. Pemeriksaan serologi dapat membantu membedakan antara infeksi HDV dengan hepatitis viral lainnya.[10]
Toxic Hepatitis
Pada toxic hepatitis paling sering disebabkan adanya riwayat penggunaan alcohol. Infeksi bersifat akut, dan seringkali memiliki keluhan yang sama dengan hepatitis, yaitu ikterus, mual muntah, dan nyeri perut kanan atas, dengan pemeriksaan enzim liver meningkat.[10]
Namun, perbedaannya dengan infeksi HDV terletak pada riwayat infeksi HBV dan HDV, serta pemeriksaan antigen dan antibodi terhadap HDV yang tentunya tidak ditemukan pada mereka dengan toxic hepatitis.[27]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada infeksi HDV terutama meliputi bukti infeksi HDV dengan ditemukannya antigen maupun antibodi terhadap HDV yang disertai dengan bukti infeksi HBV, yaitu dengan menemukan antigen permukaan HBV atau HBsAg. Gold standard untuk pemeriksaan infeksi hepatitis D adalah tes HDV RNA, untuk mengkonfirmasi viraemia yang sedang berlangsung.[4,5]
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Tes skrining lini pertama untuk HDV adalah antibodi HDV (IgM dan IgG) pada pasien dengan Hepatitis B-positif akut maupun kronik, maupun pada orang dengan risiko tinggi, diikuti dengan tes HDV RNA untuk mengkonfirmasi viraema yang sedang berlangsung. Hasil RNA HDV positif selama lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi kronis.[4]
Pada pasien dengan hepatitis akut di daerah endemik, pemeriksaan penunjang harus meliputi koinfeksi akut dan superinfeksi, karena hal tersebut mempengaruhi prognosis dan tatalaksana. Koinfeksi akut ditandai dengan adanya anti-HBc IgM dan anti-HDV (IgM). Pada superinfeksi dapat ditandai dengan adanya anti-HBc IgG dan anti-HDV (IgM), tanpa anti-HBc atau anti-HBc negatif.[4]
Deteksi antibodi terhadap virus HDV dapat dilakukan dengan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau radioimmunoassay (RIA). Antibodi anti HDV ini dapat terdeteksi dalam 2 sampai 3 minggu dari onset gejala dan tidak terdeteksi 2 bulan setelah infeksi akut.[11]
Antibodi anti HDV (IgM) ini juga dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi HDV kronik yang memiliki perburukan gejala, sehingga pemeriksaan IgM antibodi anti-HDV tidak bisa membedakan antara infeksi HDV akut dan kronik.[11]
Pemeriksaan fungsi liver dilakukan dengan pemeriksaan aspartate aminotransferase (AST) atau SGOT dan aminotransferase alanine (ALT) atau SGPT. Peningkatan ALT dapat terjadi dalam pola bifasik, yaitu naik pada 2 periode yang terpisah 2–5 minggu, dengan peningkatan pertama karena hepatitis B dan yang kedua karena hepatitis D.[4]
Di bawah ini adalah tabel pemeriksaan penunjang untuk Hepatitis D. Secara garis besar, pemeriksaan penunjang utama untuk infeksi HDV adalah menemukan virus HDV sebagai antigen, RNA, maupun menentukan genotipe HDV, serta menemukan antibodi HDV.[9]
Antigen HDV dapat ditemukan di liver dengan pewarnaan imunohistokimia, sebagai tempat replikasi, dan di serum. Sedangkan pemeriksaan antibodi anti-HDV dapat berupa identifikasi IgG dan IgM. Pemeriksaan genotipe HDV dilakukan untuk mengidentifikasi jenis HDV secara spesifik, namun pemeriksaan ini bukan pemeriksaan rutin dan tidak tersedia untuk keperluan komersial.[9]
Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang Untuk Hepatitis D.
Pemeriksaan Penunjang | Terdeteksi | Interpretasi | Keterangan |
Liver HDAg | Mendeteksi antigen HDV pada jaringan liver melalui pewarnaan imunohistokimia | Infeksi sedang aktif | Terdeteksi 2 minggu pertama saat infeksi akut. Sensitivitas kurang |
Serum HDAg | Mendeteksi antigen HDV di dalam serum | Infeksi sedang aktif, namun hasil cepat hilang | Jarang digunakan. Mungkin tidak terdeteksi pada infeksi kronis |
Anti-HDV IgM | Mendeteksi antibodi IgM HDV di dalam serum | Infeksi sedang aktif, biasanya ditemukan pada kondisi akut namun juga dapat ditemukan pada HDV Kronis | Jarang ditemukan pada infeksi kronis tetapi dapat positif saat peningkatan replikasi HDV |
Anti HDV IgG | Mendeteksi antibodi IgG | Biasanya mendeteksi infeksi lampau maupun infeksi kronik HDV | Dapat ditemukan pada akhir infeksi akut |
HDV RNA PCR (kualitatif) | Mendeteksi HDV RNA di serum | Infeksi sedang aktif, dapat ditemukan pada saat infeksi akut maupun kronis | Berguna untuk diagnosis |
HDV RNA PCR (kuantitatif) | Mendeteksi HDV RNA di serum | Infeksi sedang aktif, dapat ditemukan pada infeksi akut maupun kronis | Berguna untuk monitoring tata laksana |
Genotipe HDV | Menentukan genotipe HDV | Membedakan genotipe HDV spesifik (1–8) dengan kemungkinan signifikansi prognostik | Tidak tersedia secara komersial |
Sumber: dr. Devina Sagitania, Alomedika. 2022.[9]
Di bawah ini adalah diagram yang menunjukkan perbedaan antara keadaan koinfeksi dan superinfeksi HDV. Pada keadaan koinfeksi HDV, infeksi HDV terjadi bersamaan dengan HBV. Pada keadaan ini virus HDV, dalam hal ini antigen dan RNA, dan HBsAg terdeteksi bersamaan setelah fase replikasi virus, jadi sekitar minggu ke 7-8, tergantung dari fase inkubasi. Kemudian setelah sekitar kurang lebih 2 minggu, terbentuk antibodi IgM anti HDV yang perlahan naik dan menandakan resolusi penyakit sedang berjalan, sedangkan IgG muncul pada sekitar minggu ke 12-13 sampai titik tertentu dan bertahan lama.[28]
Pada keadaan superinfeksi, karena infeksi HBV terjadi lebih dahulu dan biasanya sudah kronis, HBsAg sudah terdeteksi sebelum infeksi. Pada superinfeksi, penyakit dibagi menjadi 2 fase, yaitu akut dan kronis. Pada keadaan akut, jumlah HDV sangat tinggi, baik di serum maupun jaringan hepar, dan lebih cepat terdeteksi, karena infeksi HBV sudah terjadi lebih dahulu. Sedangkan pada fase kronik, RNA HDV, anti-HDV IgM dan anti-HDV, mengalami kenaikan titer dan bertahan cukup lama.[28]
Diagram 1. Deteksi Serologis pada Koinfeksi HDV
Sumber: dr. Felicia, Alomedika. 2022.[28]
Diagram 2. Deteksi Serologis pada Superinfeksi HDV
Sumber: dr. Felicia, Alomedika. 2022.[28]
Berikut adalah tabel interpretasi pemeriksaan penunjang yang dapat memudahkan mengidentifikasi, apakah pasien mengalami koinfeksi, superinfeksi, dan infeksi kronik.
Tabel 2. Interpretasi Pemeriksaan Penunjang.
Penanda diagnostik | HBV/HDV koinfeksi akut | HDV superinfeksi | HDV infeksi kronik |
HBsAg | Positif | Positif | Positif |
Anti-HBc IgM | Positif | Negatif | Negatif |
Serum HDAg | Awal dan durasi pendek | Awal dan durasi pendek | Tidak bisa diidentifikasi |
Serum HDV RNA | Cepat namun lebih lama durasinya dibanding HDag | Awal dan berkelanjutan | Secara umum positif |
Anti-HDV total | Muncul di akhir (late), titernya rendah | Titer cepat meningkat | Titer tinggi |
Anti-HDV, IgM | Sementara, hanya sebagai penanda | Titer cepat meningkat dan permanen | Perubahan titer cepat |
Liver HDAg | Tidak terindikasi | Positif | Secara umum positif, namun dapat negative saat fase akhir |
Sumber: dr. Devina Sagitania, Alomedika. 2022.[14]
Biopsi Hepar
Biopsi hepar bukan merupakan pemeriksaan rutin pada infeksi HDV, namun disarankan apabila hasil pemeriksaan serologis untuk infeksi HDV inkonklusif. Biopsi hepar dilakukan untuk menentukan derajat sirosis hati dan tanda keparahan inflamasi.[16]
Gambaran histopatologis biopsi hepar pada infeksi HDV akut, menunjukkan adanya infiltrasi intralobular sel inflamasi (limfosit, makrofag, sel Kupffer). Pada hepatitis D kronis, ditandai dengan nekrosis periportal dan sering disertai perubahan nodular. Pada pasien dengan HDV, diagnosis dengan biopsi hati dilakukan dengan mengidentifikasi hepatitis D antigen (HDAg). Jumlah HDAg menurun dengan perkembangan fibrosis, menjadi hampir tidak terdeteksi pada tahap akhir penyakit.[17,18]
Biopsi hepar juga dapat d igunakan untuk mengevaluasi penyakit hati lain yang mungkin menyertai infeksi virus HDV, seperti steatohepatitis non alkohol (non alcoholic fatty liver disease/ NAFLD) dan penyakit hati terkait alkohol (alcohol-associated liver disease/ AALD).[10]
Radiologi
Pemeriksaan pencitraan non-invasif dapat dilakukan dengan pilihan seperti fibroscan transient elastography, ultrasound elastography, magnetic resonance elastography, untuk membantu menilai fibrosis hati. Elastography merupakan teknik pencitraan non invasive untuk memeriksa adanya fibrosis pada hati dengan yang dinilai dengan melihat elastic modulus atau elastisitas suatu jaringan yang diukur dengan teknik elastografi.[10,19]