Penatalaksanaan Hepatitis D
Penatalaksanaan definitif untuk infeksi virus hepatitis D atau HDV) sampai saat ini belum ada yang disetujui oleh FDA, namun pada saat ini terapi yang dilakukan pada praktik klinis sehari-hari, menggunakan IFN-a dan peginterferon alfa-2b atau peginterferon alfa-2a untuk infeksi HDV kronis.[4,20,30]
Berobat Jalan
Pada pasien dengan hasil deteksi antigen permukaan hepatitis B atau HBsAg positif yang bergejala, perlu dilakukan screening anti-HDV (hepatitis D virus). Bila anti HDV negatif dapat ditatalaksana sesuai standard tata laksana hepatitis B. Bila anti-HDV positif perlu diperiksa HDV RNA, bila HDV RNA negatif dan enzim hepar dalam batas normal, maka pasien boleh berobat jalan dan diobservasi berkala setiap 3 sampai 6 bulan.[21]
Pada observasi rutin, perlu dievaluasi pemeriksaan fungsi liver yang dilakukan dengan pemeriksaan aspartate aminotransferase (AST) atau SGOT dan aminotransferase alanine (ALT) atau SGPT, serta HDV RNA. Pada kasus di mana terdapat perburukan klinis penyakit atau dicurigai akan terjadi komplikasi, dari klinis perburukan dan hasil laboratorium perburukan, maka dapat dipertimbangkan untuk rawat inap dan konsultasi ke spesialis terkait.[21]
Persiapan Rujukan
Beberapa kriteria rujukan untuk pasien dengan infeksi HDV ke fasilitas tingkat lanjut dapat mempertimbangkan:
- Pada kelompok berisiko tinggi, seperti pasien imunodefisiensi dan memiliki faktor risiko yang telah disebutkan sebelumnya, bila didapatkan HbsAg positif sebaiknya diperiksa anti-HDV. Apabila anti-HDV positif dapat dirujuk dari fasilitas kesehatan (faskes) primer ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi atau konsultasi dengan spesialis untuk mendapatkan tata laksana segera dan menentukan staging kerusakan hepar
- Didapatkan gejala hepatitis D yang memberat disertai peningkatan enzim hati sebaiknya segera dirujuk untuk mendapatkan tata laksana segera dan menentukan staging kerusakan hepar
- Didapatkan gejala dari komplikasi hepatitis D seperti sirosis hepatis, hepatocellular carcinoma (HCC), dan gagal hati; sebaiknya segera dirujuk untuk mendapatkan penanganan segera[4]
Hepatitis D belum tercantum di Standar Kompetensi Dokter Indonesia, namun karena seringkali koinfeksi dengan Hepatitis B, di mana termasuk standar kompetensi 3A, maka pada pasien dengan infeksi HBV, setelah dilakukan penanganan awal sebaiknya dirujuk ke faskes yang lebih tinggi atau konsultasi dengan spesialis terkait yang ada.[28]
Terapi Medikamentosa
Pada pasien dengan infeksi virus hepatitis D (HDV) kronik, pengobatan saat ini yang digunakan yaitu terapi interferon menggunakan pegylated Interferon-2a (peg-IFNα) injeksi subkutan 180 μg seminggu atau pegylated IFN alfa-2b dengan dosis 1,5 mcg/kgBB per minggu. Lama pengobatan adalah 1 tahun, tergantung klinis. Namun, perlu diperhatikan bahwa obat ini belum disetujui FDA untuk penatalaksanaan infeksi HDV.[20-23,30]
Kontraindikasi pengobatan interferon yakni sirosis hepar dekompensata, kondisi gangguan psikiatri aktif, dan penyakit autoimun. Efek samping berupa flu-like symptoms, sakit kepala, myalgia, arthralgia, anemia, leukopenia, dan trombositopenia.[20-23]
European Medicines Agency (EMA) telah menyetujui bulevirtide (Hepcludex) 2 mg per hari subkutan selama 48 minggu dapat menghentikan masuknya HDV dan HBV ke hepatosit, sehingga membantu pemulihan dan melindungi sel yang tidak terinfeksi.[4,20]
Pembedahan
Transplantasi hati lebih disarankan bila sudah terjadi gagal hepar akut, ditandai dengan perkembangan penyakit ke ensefalopati hepatikum dan kelainan koagulasi, biasanya dengan nilai international normalized ratio (INR) 1,5 atau lebih, serta pada pasien tanpa sirosis yang sudah ada sebelumnya, dan durasi penyakit kurang dari 26 minggu.[4,23]
Terapi Suportif
Terapi suportif sebenarnya merupakan terapi utama pada penyakit yang disebabkan infeksi virus, termasuk infeksi HDV, di mana pada kasus infeksi HDV akut, terapi antivirus tidak diindikasikan, dan diutamakan perawatan suportif. Selain itu, perawatan suportif juga dapat dilakukan untuk mengurangi keluhan efek samping dari terapi interferon yang sedang dilakukan pada penderita hepatitis D kronis.[4]
Terapi suportif yang dimaksud misalnya dengan rehidrasi pada pasien yang mengeluh mual dan muntah, misalnya dengan pemberian cairan intravena. Selain itu, perlu diingat bahwa pasien juga harus dijauhkan dari obat atau substansi yang sifatnya hepatotoksik, misalnya paracetamol dapat diganti dengan sistenol dan edukasi untuk tidak minum alkohol.[27]
Diet pada penderita infeksi HDV yang disarankan adalah diet tinggi energi agar mencegah terjadinya katabolisme, protein 1,25–1,5 g/kgBB/hari, dan diet lemak yang tidak jenuh (unsaturated) yang cukup sesuai kebutuhan. Diet per oral atau per NGT lebih dipilih daripada parenteral, namun bila pasien terus menerus tidak dapat mentoleransi diet, maka dapat diberikan diet parenteral.[29]
Pasien juga dapat diberikan suplementasi vitamin D, vitamin B12, dan vitamin lainnya sesuai kebutuhan. Pada pasien dengan edema atau asites, kebutuhan natrium per hari harus dikurangi untuk mengurangi keparahan klinis edema.[29]