Diagnosis Agorafobia
Diagnosis agorafobia didasarkan oleh temuan anamnesis tentang ketakutan atau rasa cemas hebat saat berada di berbagai kondisi nyata, maupun saat memikirkan kemungkinan terjadinya kondisi-kondisi tersebut. Contoh kondisi agorafobik, antara lain menggunakan kendaraan umum, berada di tempat terbuka, seperti lapangan parkir, berada di tempat tertutup, seperti pertokoan, atau meninggalkan rumah.
Anamnesis
Anamnesis pada agorafobia dilakukan untuk mengetahui adanya rasa takut berlebihan atau kecemasan untuk meninggalkan rumah, memasuki ruangan terbuka, misalnya lapangan parkir, jembatan, ruangan tertutup, seperti pertokoan atau bioskop, dan penggunaan transportasi umum.[5]
Rasa takut mungkin disebabkan karena pasien merasa tidak mampu untuk pergi atau menyelamatkan diri dari situasi-situasi yang menakutkan itu. Gejala yang menyerupai serangan panik, misalnya pusing, ingin pingsan, dan takut meninggal, juga kadang menyertai. Selain itu, ada juga rasa takut terhadap munculnya gejala yang dianggap memalukan dalam situasi yang ditakutkan, seperti muntah, diare, takut jatuh pada pasien lanjut usia, dan disorientasi pada anak-anak.[3,5]
Rasa takut dan cemas terjadi saat pasien berhadapan dengan situasi-situasi yang ditakuti, maupun saat memikirkan kemungkinan terjadinya situasi tersebut. Rasa takut ini menyebabkan pasien menghindari situasi tersebut, sehingga mengakibatkan gangguan aspek sosial, bersekolah, bekerja, maupun kegiatan lainnya. Lama terjadinya rasa takut atau cemas juga perlu ditanyakan. Pada agorafobia, rasa takut atau cemas setidaknya telah berlangsung selama 6 bulan.[3,5]
Riwayat masa kanak-kanak, seperti peristiwa tidak menyenangkan atau traumatis, mimpi buruk, serta keadaan keluarga yang kurang hangat dan sifat overprotective orang tua juga perlu ditanyakan.[5,6]
Pada agorafobia yang berat, pasien dapat benar-benar hanya diam di rumah dan sepenuhnya bergantung kepada orang lain untuk menolongkan melakukan kegiatan sehari-hari. Gangguan moral, gejala menyerupai depresi, serta penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang sebagai cara mengobati diri, juga kerap dijumpai.[3]
Pemeriksaan Fisik
Berbeda dengan gangguan panik atau gangguan cemas menyeluruh, pada agorafobia tidak ada temuan fisik yang bisa digunakan untuk membantu diagnosis. Dasar diagnosis adalah menggunakan wawancara psikiatrik pada anamnesis.[1]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk agorafobia mencakup semua gangguan medis yang dapat menyebabkan kecemasan atau depresi. Beberapa diagnosis banding agorafobia, antara lain fobia spesifik, separation anxiety disorder, dan fobia sosial. Melalui wawancara psikiatri yang baik, agorafobia dapat dibedakan dengan diagnosis bandingnya.[3]
Fobia Spesifik
Meskipun bergejala serupa dengan agorafobia, diagnosis fobia spesifik lebih sesuai jika ketakutan atau rasa cemas disebabkan oleh 1 pencetus saja. Selain itu, faktor pembeda juga didapatkan pemikiran kognitif, misalnya rasa takut tidak disebabkan oleh munculnya gejala panik atau gejala memalukan, melainkan oleh rasa takut kecelakaan jika menaiki pesawat pada fobia terbang.[3]
Separation Anxiety Disorder
Pada separation anxiety disorder (SAD), rasa cemas muncul akibat takut berpisah atau kehilangan sosok yang berarti bagi pasien. Pasien dengan SAD akan menolak meninggalkan sosok yang berarti ini, sehingga menyebabkan gangguan dalam bersekolah, bekerja, maupun fungsi sosial lainnya.[3,4]
Fobia Sosial
Fokus rasa takut pada fobia sosial adalah karena kecemasan akan dinilai negatif oleh orang lain, dan perilaku menghindar yang muncul hanya terbatas pada situasi sosial. Pasien agorafobia akan menghindari situasi yang dianggap menakutkan, baik saat ada orang lain maupun tidak ada. Pada fobia sosial, pasien akan merasa lebih nyaman memasuki situasi sosial saat tidak ada kehadiran orang lain.[3,6]
Pemeriksaan Penunjang
Meski tidak rutin dilakukan, beberapa pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan hormon tiroid, glukosa darah, atau elektrokardiografi (EKG) dapat dikerjakan. Pemeriksaan penunjang berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding, terutama untuk kondisi medis yang tidak disebabkan gangguan jiwa.[4]
Alat Pemeriksaan
Evaluasi agorafobia diperlukan untuk merencanakan pengobatan dan menilai respon pengobatan. Data menunjukkan penilaian secara dimensional lebih bermanfaat secara klinis dibandingkan kategorikal, terutama untuk mengetahui derajat keparahan penyakit di awal. Pemeriksaan yang telah digunakan di Indonesia adalah Skala Panik dan Agorafobia.
Alat pemeriksaan ini dapat dikerjakan pasien pada waktu luangnya, tidak harus di tempat pemeriksaan dokter, kemudian dikumpulkan saat kunjungan follow-up. Sistem penilaian alat-alat ini juga relatif mudah. Beberapa alat pemeriksaan lain, tetapi belum tersedia di Indonesia, di antaranya:
Fear Questionnaire untuk agorafobia
The Severity Measure for Agoraphobia, terdiri atas 10 pertanyaan yang dapat diisi sendiri tentang seberapa sering gejala muncul, dan respon pasien terhadap gejala, misalnya perilaku menghindar, atau strategi penyesuaian
The Oxford Agoraphobic Avoidance Scale, terdiri atas 8 pertanyaan yang dapat diisi sendiri, dan akan menunjukkan skor, serta cut off klinis untuk derajat keparahan perilaku menghindar dan kesulitan yang terjadi akibat situasi spesifik, contohnya berdiri sendirian di luar rumah selama 5 menit
The Agoraphobic Cognitions Scale menilai kesamaan karakteristik antara pasien agorafobia
The Anxiety Sensitivity Index, merupakan alat untuk mengukur level sensitivitas terhadap ansietas[16–21]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan, antara lain:
- Fungsi tiroid, untuk mendeteksi hipotiroidisme atau hipertiroidisme
- Glukosa darah puasa, untuk mengetahui hipoglikemia
- Kalsium, untuk mendeteksi hiperparatiroidisme
Drug screen, untuk menyingkirkan ansietas yang disebabkan obat[4]
Elektrokardiografi
Terkadang, agorafobia dapat disertai gejala menyerupai panik, misalnya berdebar-debar. Elektrokardiografi (EKG) dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infark miokardium atau aritmia.[4]
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), diagnosis agorafobia perlu memenuhi beberapa kategori yang menjelaskan karakteristik gejala agorafobia.[3]
Kategori A
Terdapat ketakutan atau kecemasan yang nyata tentang dua atau lebih dari lima kelompok situasi di bawah ini:
- Menggunakan transportasi umum, misalnya, bus, kereta api, mobil, pesawat
- Berada di ruang terbuka, misalnya, taman, pusat perbelanjaan, tempat parkir
- Berada di ruang tertutup, misalnya, toko, lift, teater
- Dalam keramaian atau berdiri dalam antrian
- Keluar dari rumah[3]
Kategori B
Rasa takut disebabkan oleh keyakinan bahwa akan sulit untuk keluar dari situasi tersebut, serta tidak adanya bantuan jika terjadi gejala menyerupai panik, maupun gejala yang memalukan, misalnya pasien lanjut usia takut jatuh atau mengalami inkontinensia.[3]
Kategori C
Situasi agorafobik hampir selalu menyebabkan rasa takut atau kecemasan.[3]
Kategori D
Situasi agorafobik dihindari secara aktif, membutuhkan teman jika harus berhadapan dengan situasi tersebut, atau bertahan dalam situasi yang ditakuti dengan rasa takut yang hebat.[3]
Kategori E
Rasa takut atau kecemasan jauh lebih besar, dibanding bahaya yang sesungguhnya mungkin terjadi, atau dibandingkan dengan konteks sosiokultural.[3]
Kategori F
Ketakutan atau kecemasan dirasakan terus-menerus dan berlangsung setidaknya 6 bulan.[3]
Kategori G
Rasa takut, kecemasan, atau perilaku menghindar menyebabkan hendaya pada aspek sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.[3]
Kategori H
Jika pasien menderita gangguan kesehatan lain, misalnya inflammatory bowel disease, atau penyakit Parkinson, rasa takut yang muncul terhadap penyakit sangat berlebihan.[3]
Kategori I
Rasa takut dan kecemasan yang terjadi tidak disebabkan oleh gangguan jiwa lainnya. Sebagai contoh, tidak berkaitan secara khusus dengan keadaan spesifik, seperti pada fobia spesifik, kondisi sosial, seperti pada fobia sosial, perilaku obsesif, seperti pada gangguan obsesi-kompulsif, adanya perasaan defek fisik, seperti pada body dysmorphic disorder, peristiwa traumatik, seperti pada posttraumatic stress disorder, atau rasa takut berpisah, seperti pada separation anxiety disorder.[3]