Patofisiologi Agorafobia
Patofisiologi agoraphobia diduga melibatkan interaksi antara faktor biologis, seperti genetik, neurobiologi, kognitif, faktor psikologis, misalnya kepribadian introvert, serta faktor sosial, yaitu proses pembelajaran berdasarkan situasi sosial.
Genetik
Riwayat keluarga menderita agorafobia dan gangguan panik lainnya diketahui meningkatkan risiko terjadinya gangguan kecemasan secara keseluruhan. Peran faktor keturunan pada terjadinya agorafobia mencapai 61%. Sebuah studi genomik menemukan gen GLRB berkaitan dengan gangguan ansietas, salah satunya agorafobia.[5–7]
Studi lain mendapatkan adanya korelasi genetik yang bermakna antara pasien ansietas, depresi, dan gangguan neurotik lainnya. Hal ini menunjukkan adanya faktor risiko genetik yang dapat menjelaskan tingginya komorbiditas antar gangguan jiwa.[5]
Neurobiologi
Pada pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), ditemukan pasien dengan agorafobia menunjukkan aktivasi striatum ventral bilateral dan insula kiri yang lebih kuat, ketika diberikan stimulus spesifik agorafobia, seperti kendaraan umum, ketinggian, dan keramaian, dibanding saat melihat gambar-gambar netral. Pasien pada kelompok kontrol tidak menunjukkan perubahan gambaran MRI ketika ditunjukkan stimulus spesifik agorafobia.[5,6]
Temuan ini mengonfirmasi dugaan klinis bahwa ansietas yang dialami saat mengantisipasi kondisi yang ditakutkan lebih berat gejalanya, dibandingkan saat benar-benar berada dalam kondisi yang ditakutkan. Peningkatan aktivasi pada striatum ventral dan insula kiri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penderita agorafobia sangat awas terhadap berbagai keadaan yang ingin dihindarinya, autonomic readiness, dan siap bertindak saat merasa terancam.[5,6]
Kepribadian
Beberapa karakteristik kepribadian seseorang turut berperan dalam terjadinya agorafobia, antara lain:
Extrovert/ Introvert
Tipe kepribadian introvert dihubungkan dengan peningkatan angka diagnosis agorafobia. Hal ini diduga berhubungan dengan kebiasaan menghindari situasi-situasi sosial tertentu (situational avoidance).[6]
Sensitivitas Terhadap Ansietas
Sensitivitas terhadap ansietas merupakan keyakinan bahwa gejala fisik yang muncul akibat ansietas membahayakan jiwa. Keadaan ini diketahui meningkatkan terjadinya serangan panik, juga agorafobia tanpa serangan panik.[6]
Ketergantungan
Tipe kepribadian avoidant, yaitu menghindari situasi sosial, ketergantungan/dependent, dan kepribadian lainnya yang sejenis, juga ditemukan dapat menjadi prediktor munculnya agorafobia.[6]
Lain-lain
Kurangnya kontrol diri, kemampuan komunikasi yang kurang baik, dan rasa percaya diri rendah, juga dihubungkan dengan agorafobia.[6]
Kognitif
Pasien agorafobia sangat takut memikirkan kemungkinan terjadinya serangan panik, maupun gejala kecemasan lainnya. Ekspektasi pasien terhadap seberapa berbahayanya serangan panik berperan dalam terus dalam terjadinya perilaku menghindar.[5,6]
Selain itu pasien agorafobia terkadang memiliki ketakutan terserang penyakit, berfokus pada kekurangan pada tubuh (bodily preoccupation), rasa takut terjebak dalam suatu keadaan karena keterbatasan fisik, dan adanya efikasi diri yang rendah, yaitu merasa tidak mampu mengatasi situasi yang ditakutinya. Didapatkan juga adanya gangguan pada sirkuit yang mengatur berbagai fungsi psikologis, seperti atensi, emosi, belajar, dan memori.[5,6]
Sosial
Agorafobia dapat terbentuk akibat pasien belajar adanya rasa lega setelah meninggalkan situasi yang ditakuti, misalnya pergi dari keramaian dengan cepat dapat mengatasi rasa cemas yang muncul. Hal ini menyebabkan adanya proses belajar bahwa menghindari atau pergi/escape dari situasi tertentu dapat mengurangi gejala, sehingga dapat dilakukan kembali jika terjadi rasa cemas di masa mendatang.[6]