Penatalaksanaan Agorafobia
Tata laksana agorafobia terdiri dari psikoterapi, misalnya cognitive behavioral therapy (CBT), dan farmakoterapi, seperti escitalopram, fluoxetin, atau sertraline. Penatalaksanaan bertujuan untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Psikoterapi
Psikoterapi berbasis bukti klinis merupakan terapi agorafobia lini pertama, sama seperti farmakoterapi. Bukti klinis paling banyak didapatkan tentang cognitive behavioral therapy (CBT). CBT merupakan terapi jangka pendek, biasanya terdiri dari 8 sampai 20 pertemuan, yang berdasarkan psikologi perilaku dan kognitif. CBT dilakukan dengan melakukan paparan terhadap situasi yang ditakuti, baik secara langsung atau melalui gambar-gambar.[5]
Pada sebuah metaanalisis, CBT ditemukan memiliki respon yang lebih tinggi sebesar 2,5 kali lipat, dibanding penggunaan pil plasebo atau kontrol kondisi psikososial. Pada follow-up selama 6–12 bulan, didapatkan keberhasilan terapi tetap bertahan.[10]
Metaanalisis lain membandingkan CBT, terapi psikodinamik, psikoedukasi, psikoterapi suportif, terapi fisiologis, terapi kognitif, dan terapi perilaku. CBT merupakan psikoterapi yang paling banyak diteliti dan terbukti lebih superior dari metode lainnya, meskipun bukti tidak begitu kuat. Selain itu, kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi terbukti lebih baik daripada farmakoterapi saja.[11,12]
Farmakologis
Farmakoterapi juga merupakan tata laksana lini pertama untuk agorafobia. Terdapat beberapa faktor yang mengindikasikan perlunya penggunaan obat-obatan, antara lain tidak berespon dengan psikoterapi, gejala kronis atau kompleks, dan ada komborbid gangguan depresi.[1,13]
Selective serotonin receptor inhibitors (SSRIs), seperti citalopram, escitalopram, fluoxetine, sertraline, umumnya digunakan sebagai terapi lini pertama. Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) misalnya desvenlafaxine, duloxetine, venlafaxine, golongan tricyclic antidepressants (TCA) seperti amitriptilin, trimipramine, imipramine, dan golongan benzodiazepin juga merupakan alternatif SSRI yang efektif dalam pengobatan agorafobia.[1,13]
SSRI umumnya lebih disukai, karena profil efek samping, keterjangkauan, ketersediaan, penurunan potensi penyalahgunaan, dan tolerabilitas yang lebih baik. Terdapat juga data yang menunjukkan bahwa kombinasi CBT dengan farmakoterapi mungkin paling efektif dalam pengelolaan gejala agorafobia dan gangguan panik.[1,13]
Pengobatan Fase Akut
Tata laksana agorafobia dapat dimulai dengan SSRI dosis rendah, lalu dititrasi hingga mencapai dosis minimum yang dapat mengontrol kecemasan. Sebagai contoh, sertraline dapat dimulai pada dosis 25 mg/hari, lalu seminggu kemudian dinaikkan ke dosis terapeutik 50 mg/hari, dan dilanjutkan selama 4 minggu.
Jika respon terhadap terapi setelah 6 minggu kurang baik, dosis SSRI dapat dinaikkan setiap 2 minggu hingga respon tercapai atau sampai dosis maksimal. Jika respon tetap kurang, pertimbangkan mengganti dengan SSRI lainnya, atau mengganti dengan golongan obat lain.
Benzodiazepin juga dapat diberikan sebagai terapi primer, tetapi lebih jarang digunakan karena kemungkinan ketergantungan dan penyalahgunaan obat. Jika pasien tidak memiliki riwayat penyalahgunaan obat, pemberian benzodiazepin, seperti alprazolam, dapat digunakan dalam jangka pendek untuk mengatasi gejala akut.[4,14]
Pengobatan Jangka Panjang
Studi double-blind menemukan bahwa penggunaan SSRI atau clomipramine selama 12–52 minggu meningkatkan respon terhadap pengobatan. Pada pasien yang berespon baik, pengobatan sebaiknya dilanjutkan selama 9–12 bulan, kemudian pertimbangkan melakukan tapering perlahan. Namun, jika gejala muncul kembali, lanjutkan pengobatan dan jangan dihentikan lagi.[4]