Penatalaksanaan Amphetamine and Cocaine Use Disorder
Penatalaksanaan amphetamine and cocaine use disorder dilakukan sesuai dengan fase kecanduan. Penanganan medis terutama diberikan pada fase akut. Selanjutnya, tata laksana psikiatri diperlukan untuk pasien dapat melepaskan kecanduannya.
Indikasi Rawat Inap
Tidak semua pasien dengan amphetamine and cocaine use disorder harus dirawat inap. Pasien dengan gangguan organik yang jelas disarankan untuk dilakukan rawat inap untuk observasi dan tata laksana lebih lanjut. Pada pasien dengan gejala klinis yang khas harus dilakukan eksklusi penyebab organik lainnya sebelum menegakkan diagnosis overdosis psikostimulan. Pasien dengan agitasi akut harus diobservasi dalam beberapa jam untuk melihat perbaikan gejala. Bila memungkinkan, lakukan konsultasi dengan psikiater selama periode observasi agitasi. Pasien dengan paranoid yang menetap, ide atau percobaan bunuh diri, atau disforia hebat sebaiknya dilakukan rawat inap oleh psikiatri. Pasien dengan gangguan mental lain sebagai komorbid seperti depresi, gejala psikosis dan gangguan kepribadian juga sebaiknya dirawat inapkan.[2]
Persiapan Rujukan
Pasien dengan amphetamine and cocaine use disorder biasanya tidak menyadari kecanduan yang dialaminya. Untuk itu, diperlukan peran keluarga dan orang sekitar untuk dapat mengenal tanda-tanda kecanduan yang dialami. Keluarga dan pecandu sebaiknya dibawa ke dokter bila
- Pecandu tidak dapat berhenti menggunakan obat-obatan
- Pecandu terus menggunakan obat meskipun menyebabkan gangguan pada penderita
- Pecandu menunjukkan gejala perilaku berisiko, misalnya penggunaan jarum suntik bergantian dan perilaku seksual berisiko
- Ada tanda-tanda withdrawal
Pecandu harus dibawa ke rumah sakit segera bila ditemukan tanda-tanda berikut:
- Mengalami overdosis
- Adanya perubahan kesadaran
- Sulit bernapas
- Kejang
- Tanda-tanda serangan jantung
- Adanya gejala fisik dan psikologi yang berat
Tata Laksana Akut
Tata laksana amphetamine and cocaine use disorder dimulai dari tata laksana akut pada saat pasien datang pertama kali datang ke layanan kesehatan. Tata laksana akut meliputi penilaian risiko, tata laksana simtomatik dan tata laksana overdosis.
Penilaian Risiko
Batasan kadar letal pada penggunaan kokain bergantung pada kemampuan metabolisme masing-masing individu. Namun, pada studi ditemukan bahwa kadar letal penggunaan kokain IV adalah 20 mg dan kokain oral 500-1400 mg.[12]. Dosis toksik pada penggunaan amfetamin juga berbeda pada masing-masing pengguna. Pada literatur ditemukan komplikasi ditemukan pada penggunaan 30 mg, namun, pada beberapa kasus ditemukan setelah konsumsi 400 hingga 500 mg, tidak terjadi kematian pada pasien. Pengguna kronis dapat menoleransi dosis yang lebih besar.[13] Setelah dilakukan penilaian risiko, dilakukan penatalaksanaan sesuai gejala yang dialami pasien.
Stabilisasi dan Rehidrasi
Penatalaksanaan yang diberikan sifatnya simtomatik guna menangani gejala yang dialami seperti agitasi, hipertensi, kejang dan hipertermia. Hidrasi merupakan salah satu elemen penting. Hidrasi diberikan dengan cairan salin normal dengan memperhatikan output urine 2-3 ml/kgBB/jam. Resusitasi cairan yang cukup juga dilakukan dalam penatalaksanaan rabdomiolisis. Tata laksana pada saat akut termasuk di antaranya adalah menjaga patensi jalan napas dan observasi ketat. Observasi suhu menjadi perhatian penting dokter. Pasien dengan hipertermia, dapat mengalami peningkatan suhu akibat agitasi sehingga diperlukan kehati-hatian dalam interpretasi suhu pasien. Bila dibutuhkan, penurunan suhu dengan bak es dapat dilakukan. Kejang dapat terjadi sebagai komplikasi pada pasien dengan amphetamine and cocaine use disorder.
Tata Laksana Kejang
Pada pasien dengan kejang, penatalaksanaan dapat dilakukan dengan pemberian benzodiazepin seperti lorazepam, diazepam, atau midazolam. Restrain sebaiknya dihindarkan guna mencegah perburukan rhabdomiolisis.[12,14]
Tata Laksana Hipertensi dan Hipotensi
Pasien dengan hipertensi yang diinduksi oleh penggunaan kokain biasanya menunjukkan perbaikan dengan pemberian benzodiazepin. Pilihan terapi lain adalah vasodilator nitrogliserin terutama pada pasien dengan nyeri dada, atau vasodilator nitroprusside. Sebaliknya, pasien dengan hipotensi dapat diberikan cairan. Vasopressor dapat diberikan pada pasien yang tidak merespon dengan cairan. Norepinephrine merupakan vasopressor pilihan.[12]
Tata Laksana Gangguan Respirologi
Pasien dengan intoksikasi kokain juga dapat mengalami edema paru. Tata laksana pada saluran nafas dapat diberikan pemasangan CPAP (continuous positive airway pressure) atau PEEP (positive end-expiratory pressure) pada pasien dengan hipoksemia.[12,15]
Tata Laksana Body Stuffer
Kejang dapat terjadi pada pasien intoksikasi, terutama pada body stuffers, individu yang memasukkan paket kokain dalam jumlah besar ke dalam tubuh, biasanya untuk tujuan penyelundupan.
Kejang terjadi biasanya dalam 2 jam pertama intoksikasi yang terjadi jika paket bocor atau tidak tersegel dengan benar. Penatalaksanaan kejang pada intoksikasi psikostimulan dilakukan dengan benzodiazepine. Pada pasien dengan distonia, dopamin dan asetilkolin dapat diberikan bila pendekatan psikologis tidak berhasil.[12]
Pada pasien dengan ingesti kokain yang bukan body stuffers, dapat ditatalaksana dengan pemberian karbon aktif. Induksi muntah dan bilas lambung tidak disarankan untuk dilakukan. Pemberian karbon aktif juga disarankan untuk body stuffers. Pada pasien yang menunjukkan gejala, dapat diberikan laksatif atau irigasi seluruh saluran cerna guna mengeluarkan paket yang dibawanya. Body stuffers harus diobservasi setidaknya selama 6 jam setelah pasase paket terakhir. Pada body stuffers yang menunjukkan gejala intoksikasi berat atau gejala obstruksi dan iskemia saluran cerna, pembedahan menjadi pilihan pengobatan.[2,5,12]
Tata Laksana Gangguan Metabolik dan Kardiovaskular
Pasien dengan hipoglikemia dapat ditatalaksana dengan pemberian tiamin 100 mg bolus intravena dilanjutkan dengan dextrose 50%, 50 ml bolus intravena. Pasien dengan gangguan asidosis diperbaiki dengan ventilasi dan pemberian natrium bikarbonat. Natrium bikarbonat juga diberikan pada pasien dengan gangguan irama jantung.[2,5,12]
Tata Laksana Kronis
Tata laksana kronis pada amphetamine and cocaine use disorder terdiri atas terapi medikamentosa dan terapi suportif berupa terapi psikososial dan perilaku.
Medikamentosa
Tidak ada antidotum yang spesifik dalam penanganan intoksikasi psikostimulan. Sampai saat ini, belum ada terapi farmakologis yang disetujui oleh FDA untuk mengatasi amphetamine and cocaine use disorder. Beberapa pengobatan sudah diuji sebagai terapi untuk kecanduan psikostimulan termasuk antidepresan yakni golongan heterosiklik, SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors) dan MAOI (monoamine oxidase inhibitor). Penelitian menunjukkan bahwa pemberian obat-obatan ini tidak memiliki efek pada penghentian kecanduan kokain. Hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian terhadap efek farmakologis mood stabilizer, agonis dopamine dan neuroprotektor. Saat ini, sedang dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek kombinasi antidepresan terbaru terhadap penghentian amphetamine and cocaine use disorder.[1-2]
Terapi Suportif
Modalitas tata laksana amphetamine and cocaine use disorder yang utama adalah terapi psikososial dan perilaku. Terapi psikososial termasuk CBT (cognitive behavioural therapy), terapi berbasis penguatan komunitas, contingency management, atau kombinasi dari modalitas tersebut. Studi menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan efikasi terapi pada amphetamine and cocaine use disorder. Studi menemukan bahwa CBT saja tidak menunjukkan perubahan penyalahgunaan kokain yang bermakna, namun CBT yang disertai dengan contingency management menunjukkan penurunan penyalahgunaan moderat. Di sisi lain studi menemukan bahwa CBT memberikan hasil yang efektif pada pengobatan ketergantungan metamfetamin.[1]
Terdapat studi yang juga menunjukkan bahwa prosedur deep brain stimulation atau DBS dapat digunakan untuk terapi gangguan penyalahgunaan zat. Namun, hal ini masih perlu dipelajari lebih lanjut.
Cognitive and Behavioral Therapy
Terapi CBT berfokus pada berfokus pada belajar pada pola yang maladaptif dan meningkatkan mekanisme coping untuk mencegah kekambuhan. Contingency management adalah sebuah terapi yang mengubah pengkondisian dalam diri penderita. Dalam terapi ini sebuah perilaku diubah dengan menerapkan perilaku lain yang sifatnya menguntungkan atau merugikan pelaku (reward and punishment). Harapannya, terjadi perubahan perilaku yang akhirnya bersifat sukarela oleh pelaku.[1,9]
Contingency Management
Perbedaan mendasar pada contingency management dan modalitas lainnya adalah pada contingency management terdapat faktor eksternal yang dipakai sebagai sarana dalam mencapai tujuan jangka pendek. Sesuatu yang sifatnya eksternal ini misalnya imbalan uang, voucher barang atau jasa. Sedangkan pada modalitas terapi lain seperti terapi berbasis komunitas menggunakan sesuatu yang secara alami terdapat dalam lingkungan atau dalam diri penderita guna mencapai tujuan jangka panjang. Sesuatu yang berasal dari dalam diri atau kelompok ini misalnya adalah dukungan kelompok sosial atau pujian dari kelompok sosial atau pasangan.[1,9]
Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik untuk terapi contingency management pada penanganan amphetamine and cocaine use disorder. Pada beberapa meta analisis ditemukan bahwa contingency management menunjukkan penurunan kecanduan yang signifikan pada kecanduan kokain dibanding modalitas terapi lainnya. Salah satu kekhawatiran dalam terapi ini adalah efeknya yang pendek dan temporer bergantung pada imbalan yang diberikan. Dalam sebuah penelitian yang membandingkan contingency management dengan CBT ditemukan bahwa terapi dengan contingency management menunjukkan hasil yang lebih baik. Namun, setelah penghentian uji coba, yang berarti penghentian pemberian imbalan pada contingency management, subjek yang mendapatkan CBT menunjukkan penurunan kecanduan yang lebih konsisten.[1,9]
Tata Laksana Withdrawal
Pada pasien pengguna psikostimulan, fase withdrawal terutama terjadi pada 2 minggu pertama setelah penghentian obat. Fase withdrawal pada terdiri atas 3 fase yakni crash, withdrawal, dan extinction. Fase crash terjadi terutama dalam 2-4 hari pertama, pasien biasanya tampak tenang, tanpa adanya keinginan yang atas substans begitu besar. Fase withdrawal merupakan fase yang terberat dengan gejala klinis yang berat. Pasien memiliki keinginan yang begitu besar akan konsumsi substansi. Fase ini terjadi dalam setelah 2-4 setelah pemakaian amfetamin terakhir, mencapai puncak dalam 7-10 hari dan berangsur-angsur membaik dalam 2-4 minggu. Pada pemakaian kokain, fase withdrawal muncul pada 1-2 hari setelah pemakaian, mencapai puncak dalam 4-7 hari dan membaik dalam 1-2 minggu. Fase extinction berlangsung dalam hitungan minggu hingga bulan. Pasien belum kembali dalam keadaan fisiologis namun gejala klinis tidak lagi berat, keinginan untuk mengonsumsi psikostimulan juga jauh berkurang.[10]
Tidak ada tata laksana spesifik dan tidak ada tata laksana yang ditemukan secara efektif dapat menurunkan gejala yang dialami pada saat withdrawal psikostimulan. Tata laksana yang dilakukan bertujuan untuk mengatasi komplikasi yang dialami pasien dan bersifat simtomatik. Terapi farmakologis yang dapat diberikan untuk mengurangi aktivitas stimulasi dompaminergik, noradrenergik atau serotoninergik dapat diberikan desipramin, bromokriptin, amantadine, dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI). Pasien dengan gangguan mood dapat diberikan lithium atau carbamazepine. Pada pasien dengan gejala psikosis yang jelas dapat dipertimbangkan pemberian antipsikosis seperti olanzapine.[10]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri