Etiologi Depresi Postpartum
Etiologi depresi postpartum secara pasti belum diketahui. Suatu penelitian menunjukkan asosiasi yang konsisten antara mutasi dalam gen transporter serotonin (SERT) dan lokus 5HTT (kromosom 16p13) dengan depresi postpartum. Namun, faktor genetik ini dipercaya memiliki efek yang relatif kecil, di mana terdapat faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan depresi postpartum, yaitu faktor risiko psikiatri, obstetri, biologis dan hormonal, sosial, serta gaya hidup.[1,2,5]
Etiologi
Depresi postpartum lebih sering terjadi pada ibu hamil yang mengalami depresi dan kecemasan, pada setiap trimester kehamilan. Penelitian pada tahun 2007 menunjukkan mutasi dalam gen transporter serotonin (SERT) dan lokus 5HTT (kromosom 16p13) pada penderita depresi postpartum. Akan tetapi, faktor genetik ini bukan etiologi utama depresi postpartum, di mana terdapat banyak faktor-faktor risiko yang berhubungan.[2,5]
Faktor Risiko
Faktor risiko depresi postpartum dapat dikelompokan menjadi faktor risiko psikologis/psikiatri, obstetrik, biologis-hormonal, sosial, dan gaya hidup.[1,1a]
Faktor Psikologis/Psikiatri
Ibu-ibu dengan riwayat gangguan kecemasan dan depresi sebelumnya berisiko tinggi mengalami depresi postpartum. Munculnya gangguan psikiatri, seperti depresi, selama kehamilan merupakan prediktor kuat untuk depresi postpartum. Riwayat mengalami premenstrual syndrome derajat sedang sampai berat juga merupakan salah satu faktor risiko depresi postpartum.[1,2]
Wanita dengan riwayat gangguan mood dua kali lebih berisiko mengalami depresi postpartum. Wanita dengan riwayat gangguan bipolar mempunyai risiko paling tinggi untuk mengalami depresi postpartum.[1,2]
Selain gangguan psikiatri, perilaku negatif terhadap kehamilan, stres akibat merasa tidak akan mampu merawat bayi, dan riwayat kekerasan juga merupakan faktor predisposisi depresi postpartum. Suatu studi menunjukkan bahwa tindak kekerasan dan pelecehan selama persalinan meningkatkan risiko depresi postpartum hingga 3 bulan pasca melahirkan.[1,2,6]
Faktor Obstetrik
Hubungan paritas dengan depresi postpartum masih kontroversial. Penelitian telah menunjukkan bahwa depresi postpartum lebih banyak ditemukan pada multipara, tetapi ada pula yang menunjukkan hasil sebaliknya. Wanita yang mempunyai anak lebih dari satu, khususnya dengan jarak kelahiran yang dekat, berhubungan dengan stresor psikososial yang lebih berat yang berhubungan dengan timbulnya depresi.[1,2]
Kehamilan berisiko, termasuk kondisi-kondisi emergensi yang menyebabkan hospitalisasi atau sectio caesaria, meningkatkan risiko timbulnya depresi postpartum. Komplikasi peripartum dan postpartum juga meningkatkan risiko depresi postpartum.[1,2]
Ibu dengan bayi berat badan <1500 gram dilaporkan 4‒18 kali lebih berisiko mengalami depresi postpartum.[1,2,7]
Menyusui merupakan faktor protektif terhadap depresi postpartum. Ibu yang memberikan ASI secara eksklusif selama 3‒4 bulan pasca melahirkan dilaporkan terlindungi dari depresi postpartum. Menyusui akan meningkatkan interaksi antara ibu dan bayi. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis ibu.[1,2,8]
Faktor Biologis-Hormonal
Kehamilan pada usia muda merupakan salah satu faktor risiko depresi postpartum dengan insidensi tertinggi pada usia 13‒19 tahun. Selain umur, gangguan metabolisme glukosa selama kehamilan juga merupakan faktor risiko depresi postpartum. Ibu hamil dengan toleransi glukosa terganggu mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi postpartum.[1,2,9]
Kadar serotonin dan triptofan yang rendah dalam darah juga merupakan faktor risiko depresi. Mutasi dalam gen transporter dan reseptor serotonin juga berhubungan dengan kerentanan mengalami depresi. Dua hal ini, pada ibu hamil bisa menjadi faktor risiko terjadinya depresi postpartum.[1,2]
Oksitosin bisa menginduksi aktivitas reseptor serotonin dan menurunkan respon terhadap stres. Oksitosin juga penting untuk regulasi emosi, interaksi sosial, dan respon emosional. Kadar oksitosin yang tinggi pada tengah kehamilan dilaporkan merupakan prediktor depresi post partum. Selain oksitosin, estrogen juga mempunyai peran dalam regulasi reseptor serotonin dan fluktuasi hormone ini berhubungan dengan timbulnya depresi.[1,2]
Hormon lain yang berperan dalam timbulnya depresi postpartum adalah corticotropin releasing hormone (CRH). CRH juga dihasilkan oleh plasenta, uterus, dan ovarium. Segera setelah kelahiran, terjadi penurunan drastis hormon steroid karena penurunan CRH. Hal ini menyebabkan kerentanan untuk mengalami depresi postpartum pada 12 minggu pertama setelah melahirkan.[1,2]
Faktor Sosial
Dukungan sosial merupakan faktor sosial penting yang melindungi ibu dari depresi postpartum. Kekerasan dalam rumah tangga oleh pasangan selama kehamilan menjadi faktor risiko untuk depresi postpartum.[1,2]
Faktor sosial lain yang berpengaruh adalah status pekerjaan, penghasilan, dan tingkat pendidikan. Wanita karir memiliki tingkat risiko depresi postpartum yang lebih rendah. Penghasilan dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan faktor risiko bagi timbulnya depresi postpartum.[9]
Faktor Gaya Hidup
Faktor gaya hidup seperti pola makan, pola tidur, olah raga, dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi timbulnya depresi postpartum. Kecukupan kebutuhan nutrisi selama kehamilan dan setelah melahirkan akan melindungi ibu dari depresi postpartum, begitu juga dengan kecukupan tidur.[1,2]
Nutrisi yang buruk dan kurang tidur berhubungan dengan fatigue yang merupakan faktor risiko depresi.[1,2]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini