Diagnosis Asma
Diagnosis asma perlu dicurigai pada pasien dengan mengi, sesak, dan batuk berulang terkait pencetus tertentu. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan mengi dengan atau tanpa penggunaan otot bantu napas tambahan. Spirometri bermanfaat untuk menentukan derajat keparahan dan reversibilitas asma.[4]
Anamnesis
Keluhan utama pasien dapat berupa gejala saluran napas berulang, mencakup sesak, mengi, batuk, dan keluhan dada terasa berat. Keluhan akan dipicu oleh situasi tertentu, misalnya olahraga, paparan asap rokok, debu, atau infeksi saluran pernapasan atas.[1,6,10]
Dalam anamnesis, dokter juga dapat menggali mengenai riwayat eksaserbasi, riwayat alergi pada pasien serta keluarga, dan riwayat pemakaian obat–obatan asma. Selain itu, dokter juga dapat menanyakan mengenai frekuensi eksaserbasi yang pernah dialami pasien, riwayat merokok, komorbid seperti obesitas dan gastroesophageal reflux disease, serta riwayat pekerjaan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya paparan bahan polutan.[1]
Asma juga bisa disertai riwayat atopi pada pasien, seperti alergi makanan, rhinitis alergi, dan dermatitis atopik. Bisa juga ditemukan riwayat atopi atau asma pada keluarga pasien atau riwayat pekerjaan yang berhubungan dengan paparan bahan polutan dan iritan.[1,4,8]
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien asma yang stabil biasanya dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung dapat ditemukan tanda–tanda rhinitis alergi maupun polip nasal. Selain itu, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda sesak, seperti napas cuping hidung, penggunaan otot bantu napas, dan retraksi sela iga.[6]
Hasil pemeriksaan fisik tidak normal yang paling sering didapatkan adalah adanya mengi ketika fase ekspirasi pada pemeriksaan auskultasi. Namun demikian, hal tersebut bisa jadi tidak ditemukan atau hanya dapat terdengar ketika pasien melakukan ekspirasi paksa.[1]
Silent chest pada asma eksaserbasi berat juga dapat menyebabkan mengi tidak dapat terdengar pada pemeriksaan fisik. Beberapa temuan lain yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah hiperinflasi paru, pemanjangan waktu ekspirasi, dan peningkatan usaha napas. Pada pasien dengan asma eksaserbasi berat juga dapat ditemukan sianosis.[1,4,6]
Diagnosis Banding
Global Strategy for Asthma Management and Prevention (GINA) 2021 membedakan diagnosis banding asma berdasarkan kelompok usia, yaitu anak 6–11 tahun, usia 12–39 tahun, di atas 40 tahun, dan seluruh usia.[1,6]
Tabel 1. Diagnosis Banding Asma Berdasarkan Kelompok Usia
Usia | Diagnosis Banding |
6 hingga 11 tahun | Cystic Fibrosis, penyakit jantung kongenital, inhalasi benda asing. |
12 hingga 39 tahun | Infeksi saluran napas atas, bronkiektasis, penyakit jantung kongenital |
Di atas 40 tahun | Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), bronkiektasis, emboli paru, obstruksi jalan napas sentral |
Seluruh kelompok usia | Tuberkulosis |
Sumber: dr. Dyah Ayu Kusumoputri Buwono, Alomedika, 2022.[1,6]
Benda Asing Saluran Napas
Benda asing dapat masuk ke saluran napas dan menyebabkan kelainan bunyi napas yang mirip dengan asma. Pasien anak biasanya mengalami hal ini karena memasukkan benda ke hidung. Sementara orang dewasa dapat mengalami obstruksi jalan napas sentral.[11]
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) bisa mengeluhkan gejala sesak dan batuk yang rekuren seperti pada asma. Pasien PPOK biasanya memiliki riwayat merokok sebelumnya. Pemeriksaan rontgen toraks dapat membedakan dengan asma, dimana akan ditemukan air trapping.[12]
Bronkiektasis
Gejala bronkiektasis mirip dengan asma. Keluhan pada bronkiektasis adalah batuk kronis, sputum mukopurulen, dan infeksi paru berulang. Pasien juga bisa mengalami sesak napas, rhinosinusitis, rasa lelah, hemoptisis, dan nyeri toraks. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi rontgen toraks, uji fungsi paru, dan CT scan dada.[13]
Cystic Fibrosis
Anak dengan cystic fibrosis akan mengeluhkan batuk lama, sesak napas, produksi dahak berlebihan, diare, malnutrisi akibat gangguan absorbsi nutrisi, hingga gangguan pada sistem hepatobilier seperti kolelitiasis. Cystic fibrosis merupakan penyakit genetik dan tidak dapat disembuhkan.[14]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada asma adalah pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri dan tes provokasi bronkial.
Pemeriksaan Fungsi Paru
Pada pemeriksaan fungsi paru pasien asma, terdapat istilah variabilitas, yaitu perbaikan dan/atau perburukan gejala saluran napas maupun fungi paru. Secara objektif, variabilitas jalan napas ditunjukkan dengan nilai penurunan rasio forced expiratory volume in one second (FEV1) terhadap forced vital capacity (FVC) yang dibandingkan dengan hasil pada individu normal. Variabilitas jalan napas dapat berupa variabilitas diurnal, antara hari ke hari, atau berdasarkan kunjungan satu dan kunjungan lainnya.
Selain variabilitas, terdapat parameter lain, yaitu reversibilitas yang didefinisikan sebagai perbaikan cepat dari FEV1 atau peak expiratory flow (PEF) yang diukur dalam satu menit setelah inhalasi bronkodilator kerja cepat, seperti 200–400 µg salbutamol. Selain itu, terdapat definisi lain dari reversibilitas adalah perbaikan dari hari ke hari pasca pemberian terapi pengontrol, seperti steroid. Dalam hal ini, peningkatan atau penurunan FEV1 lebih dari 12% dan 200 ml dari nilai basal, atau perubahan nilai PEF sebanyak 20% pasca pemberian bronkodilator kerja cepat konsisten dengan diagnosis asma.[1,6]
GINA 2021 menyebutkan bahwa pada individu dewasa variabilitas diurnal dengan rerata PEF > 10% dapat mengindikasikan variabilitas limitasi jalan napas ekspiratori. Parameter lain yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
- Peningkatan fungsi paru 4 minggu pasca pemberian antiinflamasi: peningkatan FEV1 > 12% dan > 200 ml dari nilai dasar
- Hasil positif pada exercise challenge test: penurunan nilai FEV1 > 10% dan > 200 ml dari nilai dasar
- Hasil positif pada bronchial challenge test: Nilai FEV1 lebih dari atau sama dengan 20% dengan dosis standar metakolin atau lebih dari atau sama dengan 15% dengan hiperventilasi terstandarisasi
- Peningkatan variasi fungsi paru antar kunjungan: peningkatan FEV1 > 12% dan > 200 ml antar kunjungan[1,10]
Tes Provokasi Bronkial
Tes provokasi bronkus dilakukan untuk mengidentifikasi hiperresponsivitas jalan napas. Beberapa obat, seperti metakolin maupun histamin inhalasi dapat digunakan dalam pemeriksaan ini. GINA 2022 menyebutkan tes ini cukup sensitif namun tidak memiliki spesifisitas yang baik dalam mendiagnosis asma. Dalam hal ini, hiperresponsivitas jalan napas pasca inhalasi metakolin dapat terlihat pada pasien dengan rhinitis alergi, displasia bronkopulmonal, maupun cystic fibrosis.[1,6]
Tes Alergi
Tes alergi digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan pencetus asma. Namun, tes ini hanya dapat membantu dalam penegakkan diagnosis asma dengan fenotip alergi.[6]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon