Penatalaksanaan Asma
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol gejala dan menurunkan kemungkinan risiko terjadinya asthma–related death, eksaserbasi, limitasi jalan napas menetap, dan efek samping asma. Dalam pemberian terapi pengontrol, selain efektivitas obat, dokter perlu mempertimbangkan, beberapa faktor individu, seperti terapi yang lebih dipilih oleh pasien, karakteristik pasien, fenotip asma pada pasien, pandangan pasien, serta beberapa isu lainnya seperti teknik penggunaan alat inhalasi, kepatuhan, hingga harga alat inhalasi.
Berdasarkan kelompoknya, terapi asma dapat dikelompokkan menjadi pemberian obat pengontrol (controller), reliever, dan terapi tambahan. Terapi tambahan digunakan pada pasien dengan asma berat dengan gejala menetap atau eksaserbasi sering walaupun pasien sudah mendapatkan terapi pengontrol dosis tinggi.[1]
Terapi Non Farmakologis
Selain pemberian terapi farmakologis, beberapa rekomendasi terapi non farmakologis pada asma antara lain:
- Anjuran berhenti merokok
- Lakukan aktivitas fisik rutin untuk membantu meningkatkan fungsi kardiorespirasi
- Hindari paparan bahan iritan atau alergen pada tempat kerja
- Hindari konsumsi obat–obatan yang berpotensi memperberat gejala asma, seperti aspirin
- Anjurkan kepada pasien untuk konsumsi buah dan sayuran secara rutin
- Hindari paparan alergen dalam rumah, seperti tungau debu rumah
- Penurunan berat badan pada pasien asma disertai obesitas[10]
Controller
Pemberian terapi controller atau pengontrol bertujuan untuk menurunkan derajat inflamasi, mengendalikan gejala asma, menurunkan risiko eksaserbasi akut, serta mencegah penurunan fungsi paru. Studi menunjukkan pemberian kortikosteroid inhalasi (inhaled corticosteroid, ICS) pada awal penegakkan diagnosis dapat membantu meningkatkan fungsi paru apabila dibandingkan pemberian pada pasien yang telah mengalami gejala asma 2-4 tahun. Oleh karenanya, Global Strategy for Asthma Management and Prevention (GINA) merekomendasikan kortikosteroid inhalasi sebagai terapi pengontrol pada asma ketika pasien terdiagnosis.[1]
Dalam perjalanannya, pemberian terapi pengontrol dapat dimodifikasi, seperti dinaikkan, diturunkan dosisnya, atau diganti obatnya. Penyesuaian ini bergantung pada beberapa faktor, seperti perbaikan gejala, fungsi paru, dan frekuensi eksaserbasi. Beberapa faktor individual juga berperan dalam evaluasi pengobatan asma, seperti preferensi pasien dalam penggunaan alat inhalasi, kenyamanan, serta harga.[1,6]
Reliever
Pemberian terapi reliever bertujuan sebagai terapi jangka pendek ketika pasien mengalami serangan asma akut. Untuk, terapi reliever, GINA merekomendasikan pemberian ICS dosis rendah yang dikombinasikan dengan formoterol. Reliever hanya digunakan seperlunya.
Pemberian ICS dosis rendah–formoterol lebih direkomendasikan untuk pasien asma dewasa dan remaja karena lebih mampu menurunkan terjadinya risiko eksaserbasi dibandingkan pemberian SABA sebagai reliever. Pemberian SABA sebagai reliever direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat diberikan ICS-formoterol atau pada pasien stabil tanpa riwayat eksaserbasi pada regimen terapi yang sedang dijalani.[1]
Pendekatan Penatalaksanaan Asma Menurut Pedoman Global Strategy for Asthma Management and Prevention (GINA)
Gambaran terapi asma menurut GINA 2021 terbagi menjadi dua jalur, yakni:
- Jalur pertama: ICS-formoterol dosis rendah sebagai reliever. Penggunaan ICS-formoterol mengurangi risiko eksaserbasi dibandingkan SABA sebagai reliever.
- Jalur kedua: SABA dapat dijadikan alternatif reliever apabila jalur pertama tidak bisa dipilih. Sebelum memilih jalur ini, pastikan pasien patuh terapi kontroler, karena jika tidak pasien akan mengalami risiko pemakaian SABA sebagai terapi tunggal.
Gambar 1. Pendekatan Langkah Tata Laksana Asma pada Dewasa dan Remaja. (Sumber: GINA, 2021)
Pada jalur pertama, ICS-formoterol dosis rendah dianjurkan bila perlu sebagai reliever pada setiap langkah (step) terapi asma. Pada langkah ke-3 hingga ke-5, pasien dianjurkan menggunakan ICS-formoterol sebagai controller harian atau menjadi maintenance and reliever therapy (MART). ICS-formoterol sebaiknya tidak digunakan bila pasien telah diresepkan ICS-LABA sebagai terapi controller.
Alternatif terapi ada pada jalur kedua dan dipilih apabila dengan terapi ini pasien tidak mengalami eksaserbasi. Pada langkah pertama, pasien memakai inhaler SABA dan ICS bersamaan (kombinasi atau berurutan) sebagai reliever ketika gejala asma muncul. Pada langkah ke-2 hingga ke-5, pasien tetap menggunakan controller ICS secara reguler setiap hari dan menggunakan reliever SABA ketika ada serangan asma. Sebelum memilih jalur kedua ini, dokter perlu memastikan pasien patuh menggunakan controller ICS, untuk menghindari risiko eksaserbasi yang berat.[1]
Penggunaan Kortikosteroid Oral
Pemberian kortikosteroid oral, seperti prednison, dianjurkan bagi pasien asma berat yang sulit terkontrol. Meski demikian, dokter perlu mewaspadai bahwa pemakaian kortikosteroid oral walau dalam jangka waktu pendek dapat meningkatkan risiko efek samping, seperti osteoporosis, diabetes mellitus, dan katarak.[1]
Cara Memulai Terapi Asma
Setelah konfirmasi diagnosis, dokter perlu menilai fungsi paru, komorbiditas, dan tingkat keparahan asma. Terapi asma dimulai dengan pendekatan bertingkat atau step wise.
Bila pasien memiliki gejala asma setiap hari, terbangun malam minimal sekali seminggu, dan memiliki fungsi paru rendah, maka berikan controller dan reliever (MART) ICS-formoterol dosis sedang (jalur 1), atau berikan controller ICS-LABA dosis medium-tinggi ditambah dengan reliever SABA (jalur 2).
Apabila pasien memiliki gejala asma hampir setiap hari atau terbangun malam minimal sekali seminggu, maka pasien diberikan MART dosis rendah (jalur 1) atau ICS-LABA dosis rendah ditambah dengan reliever SABA (jalur 2).
Bila pasien bergejala minimal 2 kali sebulan, tapi tidak lebih dari 4-5 hari dalam seminggu, maka diberikan ICS-formoterol dosis rendah bila perlu (jalur 1) atau controller ICS dosis rendah ditambah dengan reliever SABA (jalur 2).
Bila pasien sangat jarang mengalami gejala asma (<2 kali sebulan) maka bisa diberikan ICS-formoterol dosis rendah bila perlu saja (jalur 1) atau reliever ICS dosis rendah selalu digunakan ketika SABA digunakan (jalur 2).[1]
Terapi Tambahan
Langkah ke-5 atau terakhir dari penanganan asma adalah penambahan long-acting muscarinic antagonist (LAMA) berupa kombinasi ICS-LABA-LAMA bila dengan penggunaan ICS-LABA gejala pasien masih sulit terkontrol.
Pada anak usia ≥6 tahun, terapi ditambahkan inhaler tiotropium secara terpisah. Pada usia dewasa, digunakan triple combinations seperti beclometasone-formoterol-glycopyrronium atau fluticasone propionate furoate-vilanterol-umeclidinium.[1]
Tata Laksana Asma Eksaserbasi
Asma eksaserbasi ditandai dengan adanya episode asma progresif disertai gejala napas pendek, batuk, mengi, rasa sesak di dada, dan penurunan fungsi paru progresif. Penegakkan asma eksaserbasi dilakukan dengan cara melakukan pengkajian awal terhadap airway, breathing, dan circulation, serta melakukan pemeriksaan terhadap tanda-tanda asma yang mengancam jiwa, yaitu pasien mengantuk, bingung, atau adanya silent chest.[1,10]
Pada pasien dengan asma mengancam jiwa, segera berikan SABA, ipratropium bromida, oksigen, maupun kortikosteroid. Apabila tidak terdapat tanda–tanda asma mengancam jiwa, dokter dapat melakukan identifikasi serangan asma pada pasien termasuk asma ringan, sedang, atau berat dengan melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lanjutan sederhana, seperti pemeriksaan saturasi oksigen dan arus puncak respirasi.[1]
Suplementasi Oksigen
Pemberian terapi pada pasien asma eksaserbasi meliputi pemberian suplementasi oksigen dengan target saturasi 93–95% pada dewasa dan 94–98% pada anak 6–11 tahun. Pada pasien dengan eksaserbasi berat, suplementasi oksigen aliran rendah diberikan dan gunakan oksimetri untuk memantau saturasi oksigen berada pada rentang 93–95%.[1]
Pemberian Bronkodilator
Terapi selanjutnya adalah pemberian SABA inhalasi menggunakan pressurised metered dose inhalers (pMDI) dan spacer. Saat ini diketahui penggunaan SABA menggunakan alat nebulisasi berpotensi meningkatkan risiko infeksi virus karena aerosol yang timbul pada prosedur nebulisasi. Terapi lain adalah pemberian epinefrin intramuskular pada asma yang disertai reaksi anafilaksis dan angioedema.[1]
Penggunaan Kortikosteroid
Terapi berupa pemberian kortikosteroid sistemik 1 jam setelah penegakan diagnosis dapat diberikan apabila terapi SABA tidak mampu memperbaiki gejala pasien, eksaserbasi yang terjadi pada pasien yang mengonsumsi kortikosteroid oral, dan eksaserbasi asma pada pasien dengan riwayat eksaserbasi yang membutuhkan terapi kortikosteroid oral sebelumnya.
Untuk rute pemberian, GINA lebih merekomendasikan pemberian kortikosteroid sistemik secara per oral, karena lebih murah dan tidak invasif. Dosis kortikosteroid oral yang direkomendasikan adalah ekuivalen dengan 50 mg prednisolon dosis tunggal di pagi hari, atau 200 mg hydrocortisone dalam dosis terbagi.
Untuk pasien anak, dosis yang direkomendasikan adalah prednisolon 1–2 mg/kg dengan dosis maksimal 40 mg/hari. Kortikosteroid oral dapat diberikan selama 5-7 hari pada pasien dewasa dan 3–5 hari pada pasien anak.[1]
Antibiotik
Dalam penatalaksanaan asma eksaserbasi, tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik rutin, kecuali terdapat bukti infeksi paru secara klinis maupun berdasarkan pemeriksaan penunjang.[10]
Manajemen Lanjutan
Apabila kegawatdaruratan pasien sudah teratasi dan pasien sudah stabil, dokter dapat melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Pada anamnesis dapat ditanyakan mengenai onset, kemungkinan pemicu eksaserbasi, derajat keparahan gejala asma yang dialami pasien, gejala anafilaksis, serta riwayat pengobatan asma.[6]
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda–tanda eksaserbasi berat, seperti peningkatan laju respirasi, takikardia, penggunaan otot bantu napas kesulitan bernapas maupun berbicara, penggunaan otot bantu napas, serta mengi. Selain itu, lakukan identifikasi terhadap kemungkinan faktor pemberat seperti reaksi anafilaksis, pneumothorax, dan pneumonia. Dokter juga perlu melakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan penyebab sesak akut yang lain.[1,6,10]
Pemantauan
Evaluasi pasien asma eksaserbasi akut dilakukan setiap jam. Evaluasi yang dilakukan meliputi status klinis dan saturasi oksigen. Panduan GINA menyebutkan bahwa penilaian fungsi paru dan status klinis pada 1 jam setelah penatalaksanaan asma merupakan penanda yang cukup baik untuk memperkirakan pasien dapat dipulangkan atau membutuhkan perawatan lebih lanjut di rumah sakit.
Pasien dengan nilai FEV1/APE < 25% sebelum terapi atau FEV1/APE <40% setelah pemberian terapi direkomendasikan untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di rumah sakit.[1]
Imunoterapi Alergen
Pemberian imuntoerapi alergen pada asma dapat diberikan pada asma yang berhubungan dengan alergen, seperti asma yang disertai rinokonjungtivitis alergi. Saat ini alergen yang sudah banyak digunakan pada imunoterapi alergen adalah polen dan tungau debu rumah.[1]
Imunoterapi Subkutan (Subcutaneous Immunotherapy, SCIT)
Pada terapi SCIT dilakukan identifikasi dan pemberian ekstrak alergen dengan dosis yang ditingkatkan secara bertahap untuk menginduksi respon desensitisasi atau toleransi. Namun, saat ini terapi ini belum banyak direkomendasikan karena berpotensi menginduksi respon anafilaksis yang mengancam nyawa.[1]
Imunoterapi Sublingual (Sublingual Immunotherapy, SLIT)
Panduan GINA merekomendasikan terapi tambahan SLIT pada pasien dewasa dengan rhinitis alergi, sensitif terhadap alergen tungau debu rumah, dan memiliki gejala asma menetap walaupun pasien sudah mendapatkan terapi ICS dosis rendah hingga menengah.[1]
Termoplasti Bronkial
Penambahan terapi termoplasti bronkial pada manajemen asma dapat dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan asma yang tetap tidak terkontrol walaupun telah mendapat terapi asma yang adekuat. Namun belum belum banyak studi yang memberikan data mengenai efikasi serta manfaat positif dari prosedur termoplasti bronkial terhadap penurunan gejala asma, sehingga pilihan terapi ini belum banyak dilakukan.[1]
Kriteria Rujukan
Rujukan dapat diperlukan pada beberapa kasus asma, seperti kecurigaan asma okupasional, adanya gejala yang persisten, atau gejala atipikal yang menyebabkan kesulitan diagnosis.
Diagnosis Asma Sulit Ditegakkan
Hal ini dapat terjadi pada pasien asma yang disertai infeksi kronik atau non pulmonal; pasien yang sudah menjalani terapi trial dengan kortikosteroid inhalasi maupun sistemik namun diagnosis asma masih sulit ditegakkan; dan pasien dengan kombinasi asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).[1]
Terduga Asma Okupasional
Pada pasien terduga asma okupasional, dokter umum dapat merujuk pasien untuk pemeriksaan dan identifikasi lebih lanjut terkait agen penyebab asma.[1,10]
Pasien dengan Asma Persisten Tidak Terkontrol dan Frekuensi Eksaserbasi Akut yang Sering
Salah satu kriteria rujukan yang lainnya adalah pasien dengan gejala tidak terkontrol, frekuensi eksaserbasi sering, atau fungsi paru yang rendah walaupun sudah mendapat terapi inhalasi dengan teknik dan kepatuhan yang baik. Namun, sebelum melakukan rujukan pasien tersebut, dokter umum diharapkan sudah melakukan identifikasi dan penatalaksanaan faktor pencetus yang mungkin berperan dalam rendahnya kontol asma pasien tersebut.[1,10]
Pasien dengan Risiko Asthma – Related Death
Contoh kasus asma yang berhubungan dengan risiko kematian adalah near–fatal asthma attack. Selain itu, contoh lain adalah pasien asma yang terkonfirmasi atau terduga memiliki riwayat reaksi anafilaksis atau alergi makanan.[1]
Adanya Bukti atau Risiko Pasien Mengalami Efek Samping Akibat Tata Laksana Asma yang Cukup Signifikan
Contoh kasus ini adalah pasien yang memerlukan terapi kortikosteroid oral jangka panjang dan membutuhkan evaluasi khusus.[1]
Adanya Bukti Pasien Mengalami Komplikasi atau Asma Subtipe Khusus
Contoh kasus ini adalah pasien dengan bronkopulmonal aspergillosis alergi atau aspirin – exacerbated respiratory disease.[1]
Kriteria Lainnya
Pada anak usia 6 – 11 tahun terdapat beberapa kriteria rujukan tambahan lainnya, yaitu:
- Penegakan diagnosis asma meragukan, seperti gejala respirasi yang tidak membaik dengan terapi asma adekuat
- Gejala dan frekuensi eksaserbasi tidak membaik dengan pemberian terapi kortikosteroid inhalasi dosis sedang walaupun teknik serta kepatuhan pasien sudah baik
- Terdapat kemungkinan pasien mengalami efek samping terapi asma jangka panjang, seperti misalnya gagal tumbuh[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon