Patofisiologi Asma
Patofisiologi asma melibatkan inflamasi jalan napas kronik yang menyebabkan limitasi jalan napas. Beberapa sitokin yang diketahui berhubungan dengan patofisiologi asma antara lain interleukin (IL) 17, IL–12, dan IL–23. Sitokin lain, seperti IL–3, IL–4, IL–5, IL–13, dan granulocyte – macrophage colony stimulating factor berkaitan dengan inflamasi pada sel Th2.[1,5,6]
Inflamasi kronik pada asma menyebabkan peningkatan sekresi, penambahan jumlah sel goblet, dan sel sekretoris yang pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur jalan napas. Selain itu, inflamasi berulang juga menyebabkan kerusakan epitel, fibrosis subepitel, serta peningkatan jumlah otot polos jalan napas. Gejala asma dapat dipicu atau diperburuk oleh paparan alergen dan iritan, infeksi saluran pernapasan atas, aktivitas fisik, dan udara dingin.[6]
Gangguan Traktus Respiratorius pada Asma
Saluran napas pada sistem respirasi normal bersifat elastis dan dapat teregang ketika paru mengembang. Hal ini disebabkan karena parenkim paru melekat dengan jaringan ikat di sekitar jalan napas. Pada sistem pernapasan yang sehat, sifat komplians paru dan jalan napas saling berkorelasi satu sama lain. Hal ini menyebabkan fisiologi volume paru dengan diameter jalan napas saling berhubungan sinergis. Oleh karena itu, perubahan pada sifat mekanis paru maupun jalan napas tentu menyebabkan peningkatan responsivitas dan obstruksi jalan napas.
Pada asma, inflamasi kronik menyebabkan peningkatan ketebalan dinding jalan napas yang menyebabkan jalan napas semakin menyempit, terutama ketika terjadi kontraksi otot polos jalan napas. Selain itu, karena resistensi jalan napas berbanding terbalik dengan pangkat empat dari jari-jarinya, penebalan mukosa dan otot polos pun semakin meningkatkan tahanan jalan napas.
Proses lain, yaitu penebalan jalan napas yang terjadi di luar lapisan otot polos akan menyebabkan penurunan daya elastisitas paru. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos pun semakin menyebabkan peningkatan beban usaha jalan napas. Pada akhirnya, remodelling jalan napas, terutama pada bagian matriks ekstraselular semakin menyebabkan penurunan kemampuan mekanis dinding jalan napas dan memicu peningkatan responsivitas serta penyempitan jalan napas permanen.[4,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon