Etiologi Asma
Etiologi asma adalah hiperresponsif jalan napas yang menyebabkan inflamasi kronik dan obstruksi saluran napas. Asma dapat dicetuskan oleh infeksi saluran napas atas, aktivitas fisik, suhu dingin, dan paparan asap rokok atau polutan lain.[1,4]
Fenotip Asma
Asma memiliki beberapa fenotip yang memberikan gejala dengan karakteristik yang berbeda pada setiap individu.[1]
Asma Alergi
Asma alergi merupakan fenotip asma yang paling banyak. Fenotip asma ini sering kali muncul pada anak dengan riwayat asma atau alergi pada keluarga. Pemeriksaan sputum pada pasien dengan asma alergi sebelum terapi memberikan gambaran inflamasi jalan napas eosinofilik. Selain itu, pasien dengan fenotip asma alergi biasanya memberikan respon yang baik dengan pemberian kortikosteroid inhalasi.[1,4]
Asma Non Alergi
Pada asma non alergi, pemeriksaan sputum sering kali memberikan gambaran adanya neutrofil, eosinofil, serta sedikit gambaran sel inflamasi (pausigranulositik).[1]
Asma Awitan Lambat
Asma awitan lambat atau onset dewasa biasanya membutuhkan pemberian kortikosteroid inhalasi dosis tinggi. Sebelum menegakkan diagnosis asma onset dewasa, klinisi perlu menyingkirkan kemungkinan adanya diagnosis asma okupasional.[1]
Ama dengan Limitasi Jalan Napas Menetap
Adanya remodelling jalan napas menyebabkan terjadinya asma dengan limitasi jalan napas menetap. Fenotip ini dapat terjadi pada pasien asma yang tidak menjalani tata laksana asma yang adekuat.[1]
Asma dengan Obesitas
Beberapa pasien asma dengan komorbid obesitas memiliki gejala respirasi yang berat serta inflamasi jalan napas eosinofilik.[1]
Faktor Pencetus Asma
Beberapa faktor yang dapat mencetuskan asma adalah:
- Alergen: tungau rumah, residu kecoa, polen
Infeksi saluran pernapasan atas, terutama infeksi virus
- Paparan asap rokok
- Suhu dingin
- Aktivitas fisik[4]
Faktor Risiko
Faktor genetik, paparan asap rokok, polusi udara, defisiensi vitamin D, pekerjaan, dan konsumsi aspirin dilaporkan berkaitan dengan risiko asma.[1,8]
Genetik
Gen yang berperan dalam proses terjadinya asma antara lain ADAM33, DPP10, PHF11, NPSR1, HLA – G, CYFIP2, IRAK3, dan OPN3.[5]
Paparan Asap Rokok
Beberapa studi menunjukkan bahwa paparan asap rokok mampu meningkatkan risiko terjadinya asma melalui mekanisme metilasi DNA, perubahan ekspresi gen, serta aktivasi jalur sel T helper 2.[5]
Polusi Udara
Beberapa polutan yang diduga berperan memicu terjadinya asma adalah ozon, sulfur dioksida, dan nitrit oksida. Zat–zat tersebut diduga memicu asma dengan cara meningkatkan kerusakan oksidatif yang memicu remodelling jalan napas, serta peningkatan respon inflamasi dan sensitisasi aeroalergen.[5]
Aktivitas Fisik
Asma yang diinduksi olahraga adalah varian asma yang didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana olahraga atau aktivitas fisik yang kuat memicu bronkokonstriksi akut pada orang dengan reaktivitas saluran napas yang meningkat.[8]
Stres
Salah satu biomarker yang berperan dalam respon stres, seperti kortisol, pada wanita hamil mampu meningkatkan risiko anak mengalami asma dengan cara mengganggu sistem imunitas, neuroendokrin, serta fungsi autonomi yang berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan paru normal.[5]
Pekerjaan
Pekerjaan berhubungan dengan 10-15% kasus asma dewasa. Pekerjaan berisiko tinggi termasuk pertanian, pengecatan, pekerjaan kebersihan, dan manufaktur plastik.[8]
Konsumsi Aspirin
Trias asma, sensitivitas aspirin, dan polip nasal mempengaruhi 5-10% pasien asma. Dosis tunggal aspirin dapat memicu eksaserbasi asma akut, disertai dengan rhinorrhea dan iritasi konjungtiva.[8]
Vitamin D
Vitamin D serta aktivasi reseptor vitamin D diketahui memiliki efek imunomondulator dan antiinflamasi. Dalam hal ini, vitamin D mampu meningkatkan respon imunitas adaptif dan bawaan melalui aktivasi sel dendritik, makrofaga, serta sel limfosit T dan B. Selain itu, vitamin D juga berperan dalam proses remodeling jalan napas melalui aktivasi sel epitel, sel makrogafa alveolar, serta proses transkripsi sitokin proinflamasi.
Lebih lanjut lagi, vitamin D dan hubungannya dengan asma diketahui sudah berperan sejak proses embriogenesis. Dalam hal ini, beberapa studi menunjukkan kadar vitamin D yang rendah pada ibu hamil berpotensi meningkatkan risiko mengi pada anak.[5]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon