Penatalaksanaan Emfisema
Penatalaksanaan emfisema dilakukan dengan pemberian bronkodilator, serta kortikosteroid, antibiotik, ataupun oksigen sesuai indikasi. Penatalaksanaan bertujuan untuk mencegah progresivitas penyakit dan memperbaiki kualitas hidup. Belum ada penatalaksanaan definitif yang dapat menghilangkan penyakit emfisema.[1,2]
Indikasi Rawat Jalan dan Indikasi Rujukan
Panduan penatalaksanaan emfisema oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa emfisema merupakan diagnosis patologi dan bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sehingga dalam penatalaksanaan tidak terlalu dibedakan. Menurut pedoman ini, baik bronkitis kronik maupun emfisema dianggap sebagai suatu kesatuan dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).[25]
Indikasi Rawat Jalan
Indikasi dilakukannya rawat jalan pada PPOK menurut pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
- Eksaserbasi ringan sampai sedang
- Gagal napas kronik
- Tidak ada gagal napas akut[25]
Indikasi Rawat Inap
Indikasi dilakukannya rujukan untuk rawat inap di Rumah Sakit adalah:
- Eksaserbasi sedang dan berat
- Terdapat komplikasi
- Infeksi saluran napas berat
- Gagal napas akut
- Gagal jantung kanan
Selama dilakukan rawat inap di rumah sakit, harus diperhatikan:
- Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara evaluasi klinis yang ketat dan terapi adekuat
- Terapi oksigen dengan cara yang tepat
- Obat-obatan maksimal yang diberikan melalui intravena dan nebulizer
- Perhatikan keseimbangan asam-basa
Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang
- Rehabilitasi awal
- Edukasi untuk pasca-rawat[25]
Indikasi Rawat Intensif
Selain itu, perlu diperhatikan indikasi-indikasi yang mengharuskan pasien dirawat di ICU, seperti:
- Sesak napas berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat
- Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi
- Menetap atau perburukan hipoksemia (PaO2 <5,3 kPa, 40 mmHg) atau asidosis respiratorik (pH <7,25) meskipun dengan suplementasi oksigen dan ventilasi non-invasif
- Memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau non-invasif)
- Hemodinamik tidak stabil yang memerlukan vasopressor[25]
Bronkodilator
Bronkodilator bekerja memperbaiki FEV1 melalui relaksasi otot polos pada bronkus sehingga ikut meredakan gejala sesak napas. Bronkodilator yang sering digunakan adalah agonis beta-2 dan antikolinergik.[1,25]
Agonist Beta-2 Kerja Pendek
Berdasarkan durasi kerjanya, agonist beta-2 dibagi menjadi short-acting beta-2 agonist (SABA) dan long-acting beta-2 agonist (LABA). Penggunaan SABA secara reguler dan saat diperlukan dilaporkan efektif memperbaiki VEP1 dan gejala emfisema. SABA yang dapat digunakan adalah salbutamol dan terbutaline.
Dosis salbutamol yang dapat diberikan adalah:
- Dosis 100-200 µg dalam sediaan MDI (metered dose inhaler) atau DPI (dry powdered inhaler) dapat diulang setiap 4-6 jam
- Dosis 5 mg/ml dalam sediaan solusio untuk nebulizer dapat diulang setiap 4-6 jam
- Dosis 5 mg dalam sediaan tablet dapat diulang setiap 4-6 jam
Dosis terbutaline yang dapat diberikan adalah:
- Dosis 400-500 µg dalam sediaan DPI dapat diulang setiap 4-6 jam
- Dosis 2.5-5 mg dalam sediaan tablet dapat diulang setiap 4-6 jam[25]
Agonist Beta-2 Kerja Panjang
Penggunaan bronkodilator kerja panjang formoterol dan salmeterol telah dilaporkan efektif memperbaiki VEP1, volume paru, sesak napas, kualitas hidup, dan angka eksaserbasi. Golongan bronkodilator LABA dengan durasi 24 jam dengan onset cepat yang pada saat ini diberikan tunggal pada pasien PPOK adalah indacaterol dan olodaterol. Indacaterol merupakan bronkodilator kerja panjang dengan durasi 24 jam, yang telah dilaporkan lebih efektif dibandingkan formoterol dan salmeterol serta setara dengan tiotropium. Pemberian indacaterol selama 6 bulan dikaitkan dengan perbaikan kualitas hidup pasien PPOK stabil.
Dosis formoterol yang dapat digunakan adalah:
- Dosis 4,5-12 µg dalam sediaan MDI dan DPI dapat diulang setiap 12 jam
- Dosis 0.01% dalam sediaan solusio untuk nebulizer dapat diulang setiap 12 jam
Sementara itu, salmaterol dapat digunakan dalam dosis 25-50 µg dalam sediaan MDI & DPI dapat diulang setiap 12 jam.
Indacaterol dapat digunakan dalam dosis 75-300 µg dalam sediaan inhaler, dapat diulang setiap 24 jam.[25]
Antikolinergik
Antikolinergik bekerja dengan cara menginhibisi bronkokonstriksi melalui jalur inhibisi asetilkolin. Berdasarkan durasi kerjanya, antikolinergik juga dibedakan menjadi short-acting muscarinic antagonist (SAMA) dan long-acting muscarinic antagonist (LAMA).[1,25]
Contoh SAMA adalah ipratropium bromida yang dapat digunakan dalam dosis:
- Dosis 20-40 µg dalam sediaan DPI dapat diulang setiap 6-8 jam
- Dosis 0,25-0,5% dalam sediaan solusio nebulizer dapat diulang setiap 6-8 jam
Contoh LAMA adalah tiotropium yang dapat digunakan dalam dosis:
- Dosis 18 µg dalam sediaan DPI dapat diulang setiap 24 jam
- Dosis 5 µg dalam sediaan soft mist inhaler (SMI) dapat diulang setiap 24 jam[25]
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan secara inhalasi atau oral. Kortikosteroid dalam sediaan oral digunakan untuk semua pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut. Pemberian kortikosteroid sistemik, baik oral maupun intravena, pada kondisi eksaserbasi akut dapat mempercepat pemulihan, memperbaiki fungsi paru (FEV1) serta kondisi hipoksemia arteri. Kortikosteroid sistemik juga terbukti dapat mengurangi risiko kambuh, kegagalan terapi, dan lama perawatan.[25]
Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik per oral umumnya diberikan secara 5 hari dengan memilih salah satu dosis dan sediaan secara berikut:
Prednison oral dosis 40 mg per hari,
Triamcinolone oral 40 mg per hari,
Methylprednisolone oral 32 mg per hari dalam dosis tunggal atau terbagi
Kortikosteroid sistemik intravena dapat diberikan berupa methylprednisolone 30 mg IV setiap 8 jam sampai bisa digantikan dalam bentuk oral.[25]
Kortikosteroid Inhalasi
Inhaled corticosteroid (ICS) merupakan terapi tambahan pada bronkodilator yang diberikan step-up therapy.[1,25]
Beclomethasone dapat digunakan dalam dosis:
- Dosis 50-400 µg dalam sediaan MDI dan DPI
- Dosis 0,2-0,4% dalam sediaan solusio untuk nebulizer
Budesonide juga dapat digunakan dengan dosis:
- Dosis 100, 200, dan 400 µg dalam sediaan DPI
- Dosis 0,20% atau 0,5% dalam sediaan DPI
- Dosis 0,20% dan 0,5% dalam sediaan solusio untuk nebulizer
Pilihan lain adalah fluticasone dalam dosis 50-500 µg dalam sediaan MDI dan DPI.[25]
Inhibitor Phosphodiesterase-4
Inhibitor phosphodiesterase-4 diberikan dalam bentuk oral dan bekerja dengan cara menekan respon inflamasi dan dapat ditambahkan bila terjadi penyempitan saluran napas berat yang tidak membaik dengan obat-obatan di atas. Rofumilast dapat diberikan dalam dosis 500 µg dalam sediaan tablet dapat diulang setiap 24 jam.[1,25]
Antioksidan
N-acetylcysteine (NAC) dalam dosis 1200 mg/hari intravena selama 5 hari terbukti dapat meningkatkan perubahan skala klinis pasien PPOK eksaserbasi akut. Pilihan lain adalah erdosteine 300 mg, 2 kali sehari, selama 7 hari.[1,25]
Alfa Antitripsin-1
Alfa antitripsin-1 diberikan pada pasien emfisema yang telah dikonfirmasi mengalami defisiensi enzim alfa antitripsin-1. Namun ketersediaannya yang masih terbatas menjadikan terapi ini sulit diaplikasikan di lapangan.[1]
Triple Inhaled Therapy
Triple inhaled therapy merupakan kombinasi dari 3 obat untuk meredakan gejala emfisema, yakni LABA, LAMA, dan ICS. Kombinasi 3 obat tersebut diberikan dalam bentuk inhalasi sebanyak satu kali sehari.[1]
Antibiotik
Antibiotik diberikan pada:
- Pasien PPOK eksaserbasi dengan semua gejala kardinal (sesak napas yang bertambah, meningkatnya jumlah sputum, dan bertambahnya purulensi sputum)
- Pasien PPOK eksaserbasi dengan dua dari gejala kardinal, apabila salah satunya adalah bertambahnya purulensi sputum
- Pasien PPOK eksaserbasi berat yang membutuhkan ventilasi mekanis[1]
Keputusan untuk memilih penggunaan antibiotik oral atau intravena berdasarkan kemampuan pasien untuk makan dan farmakokinetik antibiotik tersebut. Apabila digunakan antibiotik intravena, maka segera lakukan pergantian menjadi antibiotik oral apabila kondisi pasien membaik. Lama pemberian antibiotik pada pasien PPOK eksaserbasi adalah 5-10 hari.[25]
Pilihan antibiotik oral yang dapat digunakan pada emfisema adalah:
Levofloxacin 500-750 mg per oral setiap 24 jam selama 5 hari
Moxifloxacin 400 mg per oral setiap 24 jam selama 5 hari
Ampicillin Sulbaktam 1,5-3 gram intravena setiap 6 jam selama 5 hari atau lebih.
Cefuroxime 500-750 mg intravena setiap 8 jam
Ceftriaxone 1-2 gram intravena setiap 12-24 jam selama 4-7 hari
Cefotaxime 1-2 gram setiap 8 jam[25]
Terapi Oksigen
Pemberian oksigen bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Indikasi pemberian terapi oksigen pada pasien emfisema atau PPOK adalah:
- Apabila PaO2 <55 mmHg atau saturasi O2 <88% dengan atau tanpa hiperkapnia yang dikonfirmasi 2 kali selama periode 3 minggu
- Apabila PaO2 di antara 55-59 mmHg atau saturasi O2 >89% disertai cor pulmonale, perubahan gelombang p pulmonal pada EKG, hematokrit >55% disertai tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, serta penyakit paru lain
Terapi oksigen dapat dilakukan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan pada pasien emfisema atau PPOK yang stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sementara itu, terapi oksigen yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktivitas dengan nasal kanul dalam dosis 1-2 liter per menit. Sebagai parameter, harus digunakan analisis gas darah atau pulse oximetry. Pemberian oksigen harus dapat memperbaiki saturasi oksigen menjadi minimal 90%.
Pada pemberian terapi oksigen dengan nasal kanul yang tidak adekuat meningkatkan saturasi oksigen, dapat dipertimbangkan memberikan oksigen melalui sungkup venturi, sungkup rebreathing, atau sungkup nonrebreathing.
Khusus pada pasien emfisema atau PPOK, tidak dianjurkan memberikan konsentrasi oksigen 100% karena kondisi hipoksemia kronik pada emfisema atau PPOK telah menyebabkan stimulasi napas terjadi sehingga dikhawatirkan dapat terjadi depresi pernapasan ketika diberikan oksigen 100%.[25]
Terapi Nutrisi
Status gizi pasien emfisema atau PPOK memainkan peranan penting dalam memunculkan gejala, disabilitas, dan prognosis. Diet yang diberikan akan ikut menentukan status oksidan dan antioksidan di dalam tubuh pasien sehingga berdampak pada kondisi klinis emfisema atau PPOK yang diderita pasien.[25,27]
Pada penelitian preklinis, pemberian diet tinggi serat terbukti dapat menekan reaksi inflamasi dan destruksi alveolus paru. Serat yang tinggi dapat berperan sebagai prebiotik yang berinteraksi dengan mikroba yang ada di saluran cerna, sehingga menghasilkan beberapa metabolit kunci yang berperan dalam memodulasi sistem imun dan kardiovaskular. Hal ini yang mendasari timbulnya dampak proteksi dari pola diet sehat terhadap perjalanan penyakit emfisema atau PPOK.[26]
Makronutrien yang perlu sedikit dikurangi adalah karbohidrat sementara protein dan lemak sebaiknya perlahan ditingkatkan sehingga total perbandingan menu diet sehari-hari terdiri dari:
- 30% karbohidrat
- 50% lipid
- 20% protein
Konsumsi karbohidrat berlebih terbukti meningkatkan karbondioksida dalam tubuh, sehingga jumlahnya dikurangi hingga < 200 gram sumber karbohidrat dalam sehari. Protein dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi muscle wasting yang banyak dialami penderita emfisema atau PPOK.
Lemak dibutuhkan terutama dalam bentuk polyunsaturated fatty acid (PUFA) seperti omega-3 dan DHA. Pada penelitian klinis, konsumsi lemak sehat pada emfisema atau PPOK memperbaiki kapasitas paru secara signifikan. PUFA juga bersifat sebagai antiinflamasi yang dapat menekan kerusakan oksidatif pada paru pasien emfisema.[27]
Terapi Rehabilitasi
Rehabilitasi pada emfisema atau PPOK bertujuan untuk mengontrol dan mengurangi gejala dan komplikasi, mengoptimalkan status fungsional pasien, meningkatkan aktivitas dan partisipasi pasien dalam kehidupan sosial dan masyarakat, serta untuk menurunkan biaya perawatan pasien.[2,25]
Latihan Ketahanan
Tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan kapasitas aerobik pada pasien. Contoh latihan berupa bersepeda atau berjalan sebanyak 3-4 hari per minggu. Biasanya pasien disarankan untuk menggunakan metode bernapas pursed lips untuk mengurangi hiperventilasi dan menurunkan frekuensi napas.[25]
Stimulasi Elektrik Neuromuskuler
Stimulasi elektrik diberikan melalui elektroda yang ditempelkan di kulit bagian otot-otot yang akan ditingkatkan performanya. Otot-otot utama yang distimulasi adalah quadriceps dan tibialis anterior. Respons metabolik terhadap terapi ini jauh lebih rendah dibandingkan latihan fisik, sehingga metode ini akan lebih bermakna dan sangat direkomendasikan terutama untuk pasien tirah baring.[25]
Latihan Otot Pernapasan
Latihan otot pernapasan dapat meningkatkan fungsi diafragma, meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot napas, meningkatkan kualitas hidup, dan memperingan dispnea.[25]
Pembedahan
Terdapat dua jenis terapi pembedahan pada emfisema atau PPOK, yakni reduksi volume paru dan transplantasi paru.
Pembedahan dengan Cara Reduksi Volume Paru
Metode ini terbukti menurunkan hiperinflasi yang terjadi serta memperbaiki elastic-recoil.[1,25]
Beberapa indikasi melakukan terapi pembedahan reduksi volume paru adalah:
- FEV1 < 45%
- PaCO2 <60 mmHg
- PaO2 >45 mmHg
- Tidak merokok minimal 4 bulan sebelum pemeriksaan skrining untuk prosedur
- IMT <32 kg/m2
- Uji tes berjalan 6 menit masih dapat melampaui >140 m[28]
Pembedahan dengan Tujuan Transplantasi Paru
Metode ini diindikasikan bila FEV1 dan atau DLCO <20%. Penerima donor harus memiliki kriteria sebagai berikut:
- Risiko tinggi mengalami kematian (>50%) dalam 2 tahun bila tidak dilakukan transplantasi paru,
- Risiko tinggi tidak mengalami kematian dalam 90 hari sejak prosedur (>80%) bila menjalani transplantasi paru,
- Risiko tinggi tidak mengalami kematian dalam kurun waktu 5 tahun sejak prosedur (>80%)[1,29]
Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan faktor yang paling penting dalam mempengaruhi progresivitas penyakit. Semua pasien emfisema atau PPOK sangat dianjurkan untuk menghilangkan kebiasaan merokoknya sama sekali.[1,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Novita