Diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Diagnosis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) perlu dicurigai pada pasien yang mengeluhkan dispnea, batuk kronis atau produksi sputum, dengan riwayat pajanan faktor risiko penyakit, seperti merokok dan polutan. Penegakkan diagnosis PPOK memerlukan spirometri. Adanya FEV1/FVC <0,70 setelah pasien diberikan bronkodilator menandakan adanya keterbatasan aliran udara persisten yang berkaitan dengan PPOK.
Kecurigaan kuat pasien menderita PPOK adalah bila dalam anamnesis didapati 3 informasi berikut:
- Riwayat merokok sebanyak lebih dari 55 pak per tahun
- Didapati mengi yang terdengar jelas saat dilakukan auskultasi
- Didapati adanya mengi dari informasi yang diberikan pasien.[1,2]
Gejala dan Risiko Eksaserbasi
Setiap pasien PPOK perlu diklasifikasikan dalam satu di antara 4 kelompok, yakni kelompok A,B,C, atau D. Gejala dievaluasi menggunakan skala dispnea Modified Medical Research Council (mMRC) atau COPD Assessment Test (CAT).
- Grup A: Bergejala minimal, risiko rendah eksaserbasi. MMRC grade 0-1, nilai CAT 1 eksaserbasi per tahun dan tidak pernah dirawat inap akibat eksaserbasi PPOK yang dialami sebelumnya
- Grup B: Lebih jelas bergejala, berisiko rendah untuk terjadi eksaserbasi akut di masa mendatang. MMRC grade ≥ 2 atau nilai CAT ≥ 10; 0-1 eksaserbasi per tahun dan tidak pernah dirawat inap akibat eksaserbasi PPOK yang dialami sebelumnya
- Grup C: Bergejala minimal, berisiko tinggi untuk eksaserbasi di masa mendatang. MMRC bernilai 0-1 atau nilai CAT ≥ 10; eksaserbasi 0-1 ≥2 per tahun atau ≥ 1 dirawat inap akibat eksaserbasi PPOK yang dialami sebelumnya
- Grup D: Lebih bergejala, berisiko tinggi mengalami eksaserbasi di masa mendatang. MMRC bernilai ≥ 2 atau nilai CAT ≥ 10; eksaserbasi ≥ 2 per tahun atau ≥ 1 episode rawat inap akibat eksaserbasi PPOK yang dialami sebelumnya.[26]
Tiga Jenis Manifestasi Klinis Pasien PPOK
Terdapat tiga jenis manifestasi klinis pasien PPOK yang biasanya menyebabkan pasien datang ke dokter, yaitu pola hidup sedenter dan kelelahan, dispnea dan batuk kronis, serta gambaran klinis penuh.
Pola Hidup Sedenter dan Kelelahan (Fatigue):
Beberapa pasien PPOK tanpa sadar menghindari aktivitas berat dan memiliki pola hidup sedenter karena merasa sesak napas ketika beraktivitas (dyspnea d’effort). Pasien juga mudah merasa kelelahan saat melakukan aktivitas.
Dispnea dan Batuk Kronik:
Pasien PPOK yang telah terganggu dengan gejala pernapasannya seringkali mengeluhkan adanya sesak napas (dispnea) dan batuk kronik. Batuk pada PPOK ditandai dengan produksi sputum yang banyak yang pada mulanya terjadi saat pagi hari namun lama kelamaan terjadi sepanjang hari. Produksi sputum bisa mencapai 60 ml per hari dan bersifat mukoid, tetapi dapat bersifat purulen saat mengalami eksaserbasi.
Gambaran Klinis Penuh (Full Spectrum):
Diagnosis PPOK dapat menjadi sulit ditegakkan karena pasien dapat datang dengan berbagai gejala secara bersamaan seperti batuk, sputum yang purulen, mengi, kelelahan, dispnea, dan demam. Adanya dispnea yang disertai mengi dapat menyebabkan dokter mencurigai asthma sementara adanya demam dan batuk dapat menjadikan dokter berpikir ke arah bronkiolitis atau bronkiektasis. .
Anamnesis
Anamnesis pada pasien PPOK perlu difokuskan untuk mengidentifikasi faktor risiko, termasuk riwayat merokok aktif atau pasif, deskripsi batuk, dan adanya penyakit penyerta seperti asthma.
Riwayat Merokok atau Paparan Asap dan Debu
Faktor risiko paling penting untuk terjadinya PPOK adalah merokok. Paparan gas beracun lainnya yang juga telah dikaitkan dengan PPOK adalah merokok pasif atau paparan terhadap asap hasil pembakaran biomassa. Dengan demikian, diperlukan anamnesis yang mencakup detail lengkap terkait faktor sosio lingkungan pasien.
Jumlah dan durasi merokok mempengaruhi derajat keparahan penyakit, sehingga evaluasi jumlah bungkus rokok yang dikonsumsi bertahun-tahun penting dalam diagnosis. Jumlah bungkus rokok yang dikonsumsi bertahun-tahun dihitung dengan cara mengalikan jumlah bungkus rokok yang dikonsumsi per hari dengan jumlah tahun total merokok. Riwayat merokok harus mencakup usia berapa pasien mulai merokok dan usia berapa berhenti merokok (bila sudah berhenti)
Paparan Asap dan Debu:
Diperkirakan sekitar 20% pasien PPOK yang meninggal akibat PPOK tidak pernah terpapar rokok aktif maupun pasif. Penyebab meninggal pasien-pasien tersebut adalah akibat bahaya lingkungan atau okupasi yang memberikan paparan polutan atau gas beracun bagi struktur anatomi pernapasan, baik jalan napas maupun jaringan parenkimnya. Oleh karenanya, faktor bahaya lingkungan dan okupasi yang berpotensi memberikan polutan gas berbahaya harus diperiksa pada anamnesis[26-29]
Batuk Berdahak yang Dapat Disertai Nyeri Dada Akut
Batuk pada pasien PPOK biasanya telah berlangsung kronik (> 3 minggu) dengan ciri dahak berwarna bening dan lebih berat di pagi hari. Bila disertai adanya infeksi akut, warna dahak dapat berubah dan jumlahnya dapat bertambah banyak.[1,2]
Sesak Napas
Sesak napas merupakan gejala paling menonjol dari eksaserbasi akut PPOK yang mendorong pasien mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan. Sesak napas pada PPOK lebih sering didapati pada pasien yang berusia 60 tahun ke atas. Sesak napas biasanya mulai terjadi perlahan dan progresif hingga menyebabkan exercise intolerance.[1,2]
Adanya Suara Mengi
Pasien dapat menyadari adanya mengi, terutama pada saat beraktivitas berat atau mengalami eksaserbasi akut.[1,2]
Gejala Lain
Gejala PPOK lebih sering terjadi pada cuaca dingin, seperti pada musim penghujan. Bila tidak didapati adanya riwayat merokok aktif, perlu ditanyakan mengenai kemungkinan terpapar asap rokok dari orang-orang di sekitarnya atau asap polutan dari lingkungan keseharian pasien.
Pasien juga perlu ditanyakan mengenai riwayat-riwayat eksaserbasi sebelumnya, riwayat terbangun dari tidur akibat gejala yang dirasakan, riwayat frekuensi dan intensitas penggunaan inhaler untuk meredakan gejalanya, serta dampak gejala terhadap aktivitas pasien.
Adanya komorbiditas dengan asthma, infeksi saluran pernapasan akut, serta alergi perlu digali untuk mempertimbangkan regimen terapi yang perlu diberikan. Sementara itu, komorbiditas dengan penyakit hepar kronik, emfisema basilar, atau adanya riwayat keluarga yang mengalami emfisema dapat meningkatkan kecurigaan PPOK akibat adanya defisiensi alpha-1 antitrypsin.[1,2]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan keadaan umum dan tentunya pemeriksaan toraks. Pasien dengan PPOK akan memiliki tanda hipoksemia kronis, seperti sianosis dan clubbing finger.
Keadaan Umum
Perawakan pasien PPOK tipe emfisema seringkali kurus akibat adanya muscle wasting dengan gaya bernapas cepat dan pursed lips, serta kulit kemerahan (pink puffer). Sementara itu, pada PPOK tipe bronkitis kronik lebih cenderung obesitas dan sianosis (blue bloater)
Pada kondisi eksaserbasi akut, pasien terlihat distress atau gelisah akibat sesak napas yang dirasakan. Penurunan saturasi oksigen bila sesak napas terjadi dalam derajat berat.[1,2]
Kulit dan Ekstremitas
Pasien dapat mengalami sianosis sentral bila terjadi penurunan oksigenasi pada darah arteri. Sianosis perifer, terutama pada ujung-ujung jari dengan pembengkakkan jaringan di bawah kuku jari (clubbing finger), terjadi akibat hipoksemia kronik.
Selain itu, bisa didapatkan edema ekstremitas inferior bila telah terjadi komplikasi berupa gagal jantung kanan.[1,2]
Pemeriksaan Toraks
Pada pasien yang mengalami sesak, bisa tampak penggunaan otot-otot aksesoris pernapasan dan pelebaran ruang interkostalis. Pada inspeksi, bisa terlihat adanya peningkatan diameter toraks anteroposterior (barrel chest) terutama pada pasien PPOK tipe emfisema.
Pada auskultasi paru dapat terdengar mengi atau ronki, serta penurunan fremitus vokal. Pada auskultasi jantung, suara jantung baik S1 maupun S2 terdengar menjauh akibat adanya hiperinflasi paru.[1,2,12]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding PPOK antara lain asthma bronkial, tuberkulosis paru, dan bronkiektasis.
Asthma Bronkial
Asthma bronkial cenderung terjadi pada pasien dengan usia yang lebih muda dibandingkan pasien PPOK. Pencetus keluhan pada asthma dapat berupa allergen, paparan polutan, ataupun infeksi saluran pernapasan. Berbeda dengan PPOK, pada asthma bronkial merokok bukanlah menjadi faktor risiko utama. Bagaimanapun, penting untuk dicatat bahwa PPOK dan asrhma dapat muncul bersamaan.[1,2,13]
Bronkiektasis
Bronkiektasis ditandai dengan batuk yang sangat produktif, dengan sputum tiga lapis ketika diendapkan. Pada pemeriksaan rontgen toraks didapati gambaran seperti sarang tawon.[1,2,13]
Tuberkulosis Paru
Pada pasien dengan tuberkulosis paru, terdapat riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis lain, imunodefisiensi, atau riwayat tidak vaksinasi BCG. Rontgen toraks memberikan gambaran pembesaran hilus atau adanya kavitasi. Pemeriksaan sputum akan menunjukkan adanya basil tahan asam.[1,2,13]
Cystic Fibrosis
Gejala cystic fibrosis sangat mirip dengan PPOK. Cystic fibrosis disebabkan oleh mutasi gen sehingga dapat terjadi pada pasien dengan usia yang lebih muda dibandingkan pasien PPOK. Riwayat keluarga terutama dari kedua orangtua juga sering didapati mengalami penyakit yang sama.[1,2,13]
Gagal Jantung
Meskipun sering saling menyertai, gagal jantung dapat dibedakan dari PPOK secara klinis dari edema yang terjadi. Pada edema paru akut yang disebabkan gagal jantung kiri, didapati suara ronki basah halus pada pemeriksaan auskultasi. Selain itu, akan ada riwayat yang mendukung, seperti hipertensi yang tidak terkontrol.[1,2,13]
Emboli Paru
Emboli paru terjadi secara mendadak disertai dengan nyeri dada. Pasien juga seringkali memiliki riwayat stasis vena pada ekstremitas bawah yang dapat menyebabkan emboli pada vaskular paru.[1,2,13]
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat banyak modalitas pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis PPOK, namun yang dapat mengkonfirmasi adalah pemeriksaan yang mengevaluasi fungsi paru, yakni spirometri. Pemeriksaan penunjang lain yang biasa dilakukan untuk mengkonfirmasi PPOK adalah pemeriksaan walk test dalam 6 menit, pemeriksaan penunjang laboratorium, serta pemeriksaan radiografi.[1,2]
Pemeriksaan Spirometri
Pemeriksaan spirometri berfungsi untuk mengetahui kondisi fungsional paru sehingga dapat dilakukan konfirmasi ada tidaknya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan sekaligus dapat dilakukan staging derajat penyakit. Rasio forced expiratory volume dalam 1 detik (FEV1) dengan forced vital capacity (FVC) kurang dari 0,7 mengkonfirmasi diagnosis PPOK.
Keparahan PPOK:
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), derajat keparahan PPOK menurut nilai FEV1 adalah:
- FEV1 ≥ 80% : Ringan (GOLD 1)
- FEV1 50-79 : Sedang (GOLD 2)
- FEV1 30-49 : Berat (GOLD 3)
- FEV1 <30 : Sangat Berat (GOLD 4)[1,2,14,26]
Pemeriksaan Radiografi
Pemeriksaan radiografi yang biasa dilakukan pada PPOK adalah rontgen dan CT Scan toraks. Pada rontgen toraks dapat tampak adanya hiperinflasi paru, struktur diafragma yang rata akibat adanya pembesaran paru, serta peningkatan diameter anterior-posterior toraks. Pada kasus PPOK tipe bronkitis kronik, dapat tampak penebalan dinding bronkus atau hipervaskularisasi paru.
CT Scan lebih bermakna dilakukan pada PPOK yang memiliki emfisema sentrilobuler. Dalam kondisi tersebut, dapat tampak adanya bula pada regio subpleura.[1,2,14]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan untuk pemeriksaan PPOK adalah pemeriksaan darah rutin atau darah lengkap untuk mengevaluasi status hemoglobin, leukosit, dan trombosit. Hemoglobin pada PPOK dapat rendah atau tinggi. Leukosit dapat menunjukkan ada atau tidaknya infeksi akut, yang akan mempengaruhi terapi.
Penelitian juga menunjukkan bahwa paru merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam biogenesis trombosit. Pada beberapa kasus PPOK, terjadi aktivasi trombosit berlebihan yang dapat meningkatkan hitung jumlah trombosit. Selain darah lengkap, pemeriksaan CRP juga dapat membantu diagnostik untuk memutuskan keperluan antibiotik dalam tata laksana PPOK.[1,2,15,16]
Penulisan pertama: dr. Yudhistira Kurnia