Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Tujuan utama dari penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah meningkatkan status fungsional dan kualitas hidup pasien. Hal ini dilakukan dengan mempertahankan fungsi paru yang optimal, memperbaiki gejala, dan mencegah rekurensi eksaserbasi.
Mayoritas episode eksaserbasi akut PPOK (lebih dari 80%) dapat ditangani secara rawat jalan. Terkadang, pasien-pasien PPOK eksaserbasi akut yang dapat dilakukan rawat jalan tersebut diberi pengobatan inisial terdahulu di IGD, lalu dilanjutkan dengan obat untuk di rumah.[14,17]
Saat ini, terdapat intervensi teknologi berbasis komputer maupun ponsel yang telah diteliti manfaatnya untuk self management pasien PPOK. Selain itu, suatu studi kecil telah meneliti manfaat suplemen diet nitrat untuk pasien PPOK dengan hipoksia, tetapi masih diperlukan studi lebih lanjut.
Pendekatan Terapi Berdasarkan Kategori Pasien
Manajemen awal terapi pada pasien PPOK yang stabil bergantung pada derajat keparahan. Langkah pertama dalam menangani pasien PPOK adalah dengan menentukan terlebih dahulu pasien PPOK tersebut masuk ke kategori mana.Gejala dievaluasi menggunakan skala dispnea Modified Medical Research Council (mMRC) atau COPD Assessment Test (CAT).
Grup A
Grup A adalah pasien dengan gejala minimal, risiko rendah eksaserbasi. MMRC grade 0-1, nilai CAT 1 eksaserbasi per tahun dan tidak pernah dirawat inap akibat eksaserbasi PPOK yang dialami sebelumnya.
Untuk kategori ini, pasien membutuhkan terapi Short Acting Beta Agonist (SABA) atau suatu kombinasi SABA dengan Short Acting Muscarinic Antagonist (SAMA) untuk menghilangkan gejala. Pilihan SABA yang dapat digunakan terangkum dalam Tabel 1, sementara pilihan SAMA atau LAMA terangkum dalam tabel 5.
Grup B
Grup B adalah pasien yang lebih jelas bergejala, berisiko rendah untuk mengalami eksaserbasi akut di masa mendatang. MMRC grade ≥ 2 atau nilai CAT ≥ 10 dengan 0-1 eksaserbasi per tahun dan tidak pernah dirawat inap akibat eksaserbasi PPOK yang dialami sebelumnya.
Untuk kategori ini, direkomendasikan untuk memberikan Long Acting Muscarinic Antagonist (LAMA) atau Long Acting Beta Agonist (LABA). Lebih disukai untuk memberikan LAMA dibandingkan LABA pada kategori pasien ini. Namun demikian, penggunaan LABA satu kali sehari merupakan alternatif yang masih dapat dipertimbangkan bila tidak terdapat LAMA. Adapun pilihan LABA yang dapat digunakan terangkum dalam tabel 2.
Grup C
Grup C adalah pasien bergejala minimal, berisiko tinggi untuk eksaserbasi di masa mendatang. MMRC bernilai 0-1 atau nilai CAT ≥ 10 dengan eksaserbasi 0-1 ≥2 per tahun atau ≥ 1 dirawat inap akibat eksaserbasi PPOK yang dialami sebelumnya.
Direkomendasikan untuk memberikan LAMA pada pasien kelompok ini karena telah terbukti mengurangi eksaserbasi akut.
Grup D
Grup D adalah pasien yang lebih bergejala, berisiko tinggi mengalami eksaserbasi di masa mendatang. MMRC bernilai ≥ 2 atau nilai CAT ≥ 10 dengan eksaserbasi ≥ 2 per tahun atau ≥ 1 episode rawat inap akibat eksaserbasi PPOK yang dialami sebelumnya.
Pada kategori ini, direkomendasikan untuk menggunakan LAMA. Namun demikian, pada kondisi sesak napas yang berat, pasien dapat diberikan kombinasi LAMA-LABA. Bila pasien didapati memiliki kondisi PPOK dengan overlapping asthma, kombinasi LAMA-glukokortikoid inhalasi lebih disarankan untuk diberikan. Adapun glukokortikoid yang dapat digunakan pada pasien PPOK terangkum dalam Tabel 3.
Terapi Nonfarmakologi Bagi Semua Pasien PPOK
Selain terapi farmakologi, terapi nonfarmakologi yang dapat diberikan untuk semua kelompok pasien adalah sebagai berikut:
- Berhenti merokok
- Olahraga teratur
- Terapi oksigen jangka panjang bila terjadi hipoksemia kronik
- Rehabilitasi paru
- Evaluasi berkala ketepatan cara penggunaan inhaler
Berhenti Merokok
Menghentikan semua sumber paparan asap rokok sebagai perokok aktif atau pasif, menjadi langkah paling penting dalam menahan laju progresivitas PPOK. Dokter harus menekankan pentingnya peran pasien dan dukungan keluarga pasien dalam mewujudkan hal tersebut. Dimulai dengan edukasi pada pasien dan keluarganya tentang dampak buruk rokok terhadap kondisi pasien, kemudian menargetkan tanggal untuk mulai berhenti merokok, diikuti dengan dukungan yang baik dan prevensi bila adanya relaps.
Nikotin merupakan bahan utama rokok yang menyebabkan adiksi sehingga dapat terjadi withdrawal reaction seperti ansietas, iritabilitas, kesulitan konsentrasi, marah, kelelahan, rasa kantuk berlebihan, depresi, dan gangguan tidur. Efek withdrawal syndromes dapat diantisipasi dengan nicotine replacement therapies.[1,2]
Manajemen Bronkodilator
Bronkodilator merupakan salah satu terapi farmakologi utama dalam pengelolaan PPOK. Tujuan pemberian bronkodilator adalah untuk mengurangi kontraksi otot polos bronkus, sehingga dapat ikut menurunkan airflow resistance yang memang telah terganggu pada pasien PPOK.
Penelitian klinis menunjukkan bahwa agonis-beta2 yang dikombinasi dengan antikolinergik menghasilkan respon terapi yang jauh lebih baik dibandingkan hanya agonis-beta2 saja. Target kerja agonis-beta2 adalah dengan menstimulasi reseptor adrenergik beta sehingga akan meningkatkan cyclic AMP. Peningkatan cyclic AMP pada akhirnya akan mencegah terjadinya kontraksi otot polos bronkus.
Bronkodilator yang digunakan merupakan kombinasi dari agonis-beta2 kerja pendek dan kerja panjang. Contoh agonis-beta2 kerja pendek adalah salbutamol, sedangkan contoh kerja panjang adalah salmeterol. Tabel 1 dan 2 akan memaparkan jenis dan dosis secara lebih rinci.[1,2,17]
Tabel 1. Obat Agonis-Beta 2 Kerja Pendek (SABA)
Nama Obat | Dosis |
Salbutamol |
|
Levalbuterol |
|
Fenoterol |
|
Tarbutaline |
|
Sumber: dr .Qorry, Alomedika. 2022.[2,17]
Tabel 2. Obat Agonis-Beta 2 Kerja Panjang (LABA)
Nama Obat | Dosis |
Salmaterol | Sediaan MDI: 1 puff dua kali dalam 24 jam maksimal |
Formoterol | Sediaan larutan nebulizer: 20 mcg / 2 ml setiap 12 jam |
Arfomoterol | Sediaan larutan nebulizer: 15 mcg / 2 ml setiap 12 jam |
Indacaterol | Sediaan inhalasi oral: 75 mcg setiap 24 jam |
Olodaterol | Sediaan MDI: 2 puff setiap 24 jam maksimal |
Sumber: dr. Qorry, Alomedika. 2022.[2,17]
Manajemen Inflamasi
Inflamasi merupakan faktor utama dalam patogenesis PPOK. Steroid diharapkan dapat mengendalikan reaksi inflamasi itu dan memperbaiki kondisi pasien. Namun demikian, perlu diingat bahwa penggunaan steroid memiliki efek samping yang dapat bersifat lebih merugikan dibandingkan menguntungkan. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk mulai memberikan steroid adalah:
- Pasien memiliki riwayat rawat inap akibat PPOK eksaserbasi akut
- Episode PPOK eksaserbasi akut yang dialami pasien dua kali atau lebih dalam satu tahun
- Jumlah hitung eosinofil ≥ 100-300 sel/microliter
- Pasien memiliki riwayat penyakit asthma bronkial
Penggunaan steroid pada PPOK harus dihentikan bila didapati:
- Kejadian pneumonia berulang
- Jumlah hitung eosinofil <100 sel/mikroliter
- Pasien memiliki riwayat infeksi Mycobacterium sp.[2,17]
Tabel 3. Pilihan Steroid pada PPOK
Steroid Inhalasi | Dosis |
Fluticasone propionate | 2 puff setiap 12 jam; maksimal 10 puff setiap 12 jam |
Budesonide | Dimulai 180 mcg setiap 12 jam; maksimal 720 mcg setiap 12 jam |
Steroid Oral | Dosis |
Prednison | 40 mg setiap 24 jam |
Methylprednisolone | 0,5 mg/kg atau 40 mg setiap 24 jam |
Sumber: dr. Qorry, Alomedika. 2022.[2,17]
Tabel 4. Pilihan Antagonis Muskarinik Kerja Pendek dan Panjang
Antagonis Muskarinik | Dosis |
Ipratropium (SAMA-Atrovent, Combivent, Berodual) | 1 unit dose vial (UDV) diulang setiap 6-8 jam |
Tiotropium (LAMA-Spiriva) | 1 kapsul inhalasi (22,5 mcg tiotropium bromide setara dengan 18 mcg tiotropium) setiap 24 jam |
Glikopironium (LAMA) | 50 mcg setiap 24 jam |
Aclidinium (LAMA-Tudorza) | 400 mcg inhalasi (1 puff) diulang setiap 12 jam |
Revefenacin | 1 UDV setial 24 jam |
Sumber: dr. Qorry, 2022.[2,17]
Saat ini terdapat juga terapi maintenance baru untuk PPOK, yaitu ensifentrine. Ensifentrine bekerja melalui dual inhibisi phosphodiesterase (PDE) 3 dan PDE4, yang memberikan gabungan efek antiinflamasi dan bronkodilatasi.
Manajemen Infeksi
Pada pasien PPOK, dapat terjadi infeksi kronik atau peningkatan kolonisasi dengan S. pneumoniae, H. influenzae, dan M.catarrhalis. Pada beberapa pasien juga terdapat infeksi P. aeruginosa. Beberapa antibiotik yang dapat dipertimbangkan diberikan pada pasien adalah:
Azithromycin: 500 mg setiap 24 jam selama 3 hari atau 500 mg pada hari ke-1 dilanjutkan dengan 250 mg setiap 24 jam pada hari ke-2 hingga ke-5.
Levofloxacin: 500 mg setiap 24 jam selama 7 hari
Erithromycin: 250 mg-500 setiap 6-12 jam
Moxifloxacin: 400 mg setiap 24 jam
Doxycycline: 200 mg setiap 24 jam (dosis tunggal atau terbagi)
Cefuroxime: 250-500 mg setiap 12 jam selama 10 hari.[2,17]
Manajemen Kekentalan Sputum dan Bersihan Hasil Sekret
Agen mukolitik dapat digunakan untuk menurunkan viskositas sputum dan memperbaiki bersihan sekret. Berikut pilihan obat yang dapat digunakan:
N-acetylcysteine: 600 mg setiap 12 jam
- Carbocysteine: 1500 mg setiap 24 jam
Erdosteine: 300 mg setiap 12 jam.[18-20]
Terapi Oksigen
Pemberian oksigen telah dilaporkan dapat mengurangi angka kematian pada pasien dengan PPOK. Studi menunjukkan bahwa terapi oksigen jangka panjang dapat meningkatkan kelangsungan hidup 2 kali lipat pada pasien hipoksemia dengan PPOK.
Terapi oksigen jangka panjang direkomendasikan untuk pasien dengan PaO2 kurang dari 55 mm Hg, PaO2 kurang dari 59 mm Hg dengan bukti polisitemia, atau cor pulmonale. Oksigen digunakan selama 15-19 jam per hari. Evaluasi kembali pasien dalam 1-3 bulan setelah memulai terapi untuk mempertimbangkan keperluan melanjutkan terapi oksigen jangka panjang.
Pada pasien dengan PPOK yang mengalami hipoksemia saat aktivitas, dapat diresepkan oksigen suplemental. Suplementasi oksigen selama latihan dapat mencegah peningkatan tekanan arteri pulmonalis, mengurangi dispnea, dan meningkatkan toleransi latihan.[1,2]
Pembedahan
Terapi pembedahan pada pasien PPOK adalah transplantasi paru. Transplantasi paru dilakukan untuk mengurangi keluhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Rerata kesintasan pasien setelah transplantasi adalah 5 tahun. Tingkat kesintasan dalam 1 tahun mencapai 90%.[2,21]
Penulisan pertama: dr. Yudhistira Kurnia