Diagnosis Pneumonia Komuniti
Diagnosis pneumonia komuniti atau community-acquired pneumonia (CAP) ditegakkan berdasarkan gambaran klinis adanya tanda infeksi sistemik seperti demam dan leukositosis, gejala sistem respirasi seperti batuk, dispnea, nyeri dada non kardiogenik, hipoksemia, dan gambaran infiltrat baru pada rontgen toraks.
Selain itu, saat ini sudah terdapat aplikasi analisis batuk berbasis artificial intelligence dengan prinsip pengenalan suara batuk. Aplikasi ini juga dapat membantu mengidentifikasi pneumonia dan penyakit sistem respirasi lainnya. Pemeriksaan lain yang juga dapat membantu mengidentifikasi patogen penyebab pneumonia adalah kultur sputum.
Gambaran Klinis pada Pneumonia dengan Etiologi Tipikal dan Atipikal
Perbedaan patogen tipikal dan atipikal yang menyebabkan pneumonia komuniti atau CAP dapat memberikan gambaran klinis yang berbeda.
Pneumonia Tipikal
Pneumonia dengan etiologi patogen tipikal umumnya memiliki gambaran klinis khas pneumonia seperti demam, dispnea, batuk berdahak dengan sputum yang purulen, hipoksemia, dan gambaran infiltrat yang lebih nyata pada rontgen toraks dibandingkan dengan pneumonia atipikal.[5]
Pada gambaran rontgen toraks, akan ditemukan infiltrat segmental atau lobar pada kebanyakan kasus pneumonia tipikal. Selain itu, pada pneumonia tipikal, seringkali ditemukan adanya peningkatan jumlah hitung leukosit, C-reactive protein (CRP), dan laju endap darah (LED).[5]
Pneumonia Atipikal
Pneumonia dengan etiologi patogen atipikal umumnya memiliki gambaran klinis batuk kering, jika terdapat sputum, sputumnya jarang purulen. Pada pneumonia atipikal juga dapat ditemukan hemoptoe. Selain itu, pada pneumonia atipikal demam yang terjadi bersifat low grade fever dan gejala ekstra paru, seperti ruam dan gejala gastrointestinal.[3,7]
Seringkali pada orang dewasa, gejala pneumonia atipikal lebih ringan dan biasanya jumlah hitung leukosit, C-reactive protein (CRP), dan laju endap darah (LED) normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada bayi dan anak kecil, gejala pneumonia atipikal dapat berat. Selain itu, gambaran rontgen toraks pada keadaan ini biasanya diffuse patchy atau ground glass appearance. Konsolidasi lobar dan segmental juga dapat ditemukan tapi lebih jarang dibandingkan pneumonia tipikal.[53]
Anamnesis
Anamnesis khas sebagai gejala klasik pada pneumonia komuniti atau CAP adalah batuk, demam, sesak dan kadang kala dapat ditemukan nyeri dada yang bukan disebabkan karena gangguan kardiak. Batuk dengan sputum purulen umumnya hanya ditemui pada etiologi bakteri tipikal saja. Infeksi pneumokokus, Mycobacterium tuberculosis, Klebsiella pneumonia, dan Legionella pneumonia dapat memberikan gambaran klinis sputum dengan bercak darah.[5]
Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri dada pleuritik apabila kondisi infeksi telah mencapai pleura. Pada anak, keluhan batuk, napas cepat, dan demam sudah bisa mengarahkan diagnosis ke pneumonia. Selain itu, anak dapat terlihat letargi dan sianosis.[3,14]
Keluhan tidak khas lainnya yang juga dapat dikeluhkan oleh pasien antara lain adalah nyeri kepala, mialgia, artralgia, kelelahan, diare, penurunan berat badan mual, dan muntah.[3]
Riwayat imunisasi juga perlu ditanyakan, terutama pada pasien dengan usia di atas 7 bulan untuk vaksin pneumokokus dan diatas usia 6 bulan untuk vaksin influenza. Imunisasi pneumokokus dan influenza merupakan salah satu bentuk pencegahan pneumonia yang mudah dilakukan.[15,16]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien pneumonia komuniti atau CAP, antara lain ditemukan demam, yang dapat disertai menggigil atau berkeringat dan takikardi. Pada pneumonia atipikal, demam dapat low grade fever. Adanya sesak napas, tergantung beratnya penyakit, dapat disertai dengan retraksi subkostal, interkostal, suprasternal dan penggunaan otot bantu napas.[3,7]
Pada lansia berusia di atas 65 tahun, gambaran klinis kadang tidak khas, dimana bisa didapatkan afebris, letargi, penurunan status mental, serta tumpang tindih dengan keadaan klinis yang sudah ada sebelumnya, seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada keadaan ini, rontgen toraks dapat membantu diagnosis.[2,3]
Berdasarkan auskultasi paru didapatkan suara ronki kasar pada lobus atau segmen paru yang terinfeksi. Apabila telah terjadi konsolidasi paru, maka fremitus taktil akan meningkat serta terdapat egofoni.[5,7]
Pada pemeriksaan fisik, penilaian skoring CURB-65 perlu dilakukan untuk membantu memutuskan diperlukannya rawat inap atau rawat jalan. Komponen skoring CURB-65 adalah sebagai berikut:
C : Confusion atau disorientasi
U : Urea >7 mmol/L atau setara blood urea nitrogen (BUN) >20 mg/dL
R : Respiratory rate (laju pernapasan) 30 x/menit atau lebih
B : Blood pressure (tekanan darah) sistolik <90 mmHg atau diastolik <60 mmHg
65 : usia 65 tahun ke atas[3]
Skoring CURB-65 ini dilakukan pemberian skor 1 poin pada setiap komponen yang dinilai. Rawat jalan direkomendasikan pada skor 0-1, rawat jalan dengan supervisi atau rawat inap singkat pada skor 2, rawat inap pada skor 3 atau lebih, dan pertimbangkan rawat di ruang perawatan intensif (ICU) pada skor 4-5.[3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pneumonia komuniti antara lain adalah bronkitis akut, bronkiolitis, infark miokard, congestive heart failure dan pneumonitis aspirasi
Bronkitis Akut
Bronkitis akut adalah kondisi inflamasi pada bronkus. Gejala utamanya adalah batuk dengan disertai gejala malaise, kesulitan bernapas dan wheezing. Gambaran rontgen thoraks umumnya adalah normal atau terdapat sedikit kelainan. Bila terdapat kelainan biasanya berupa peningkatan corakan interstitial dan penebalan dinding bronkial, tidak seperti pada CAP yang terutama ditemukan gambaran infiltrat pada rontgen toraks pasien.[17]
Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah infeksi pada bronkiolus yang seringkali disebabkan oleh infeksi virus, seperti respiratory syncytial virus (RSV) dengan usia predileksinya adalah <2 tahun. Pada kondisi ini, dapat ditemukan keluhan berupa demam batuk dan pilek, dapat pula ditemukan keluhan sesak dan gambaran klinis auskultasi ronki dan wheezing. Pada umumnya, bronkiolitis disebabkan oleh infeksi virus, sehingga hanya memerlukan terapi suportif. Bronkiolitis dapat berkembang menjadi pneumonia dengan gambaran klinis infiltrat pada rontgen thoraks.[18]
Sindrom Koroner Akut (SKA)
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sekelompok gejala yang disebabkan karena penurunan aliran darah ke miokardium. Gejalanya adalah sesak, nyeri dada kardiogenik yang dapat menjalar ke ekstremitas atas, bahu, dan mandibula. Selain itu, dapat pula disertai dengan mual dan muntah. Sindrom koroner akut (SKA) dapat dibedakan CAP dengan gambaran EKG yang seringkali ditemukan elevasi atau depresi segmen ST pada J-point, tidak adanya riwayat demam, dan peningkatan cardiac marker.[19]
Congestive Heart Failure (CHF)
Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan fungsi maupun struktur anatomis jantung, sehingga terjadi kegagalan pengisian ventrikel dan penurunan fraksi ejeksi.[20]
Gejala utama pasien CHF adalah sesak napas yang dipengaruhi oleh posisi tubuh dan aktivitas fisik. Pada auskultasi dapat ditemukan ronki halus terutama pada basal paru hingga wheezing. Pada kondisi berat, umumnya disertai dengan edema perifer dan distensi vena jugular. Dari rontgen toraks didapatkan gambaran kardiomegali dan kranialisasi. Hal ini tidak didapatkan pada CAP murni.[20]
Pneumonitis Aspirasi
Pneumonitis aspirasi adalah kondisi cedera paru akut yang disebabkan oleh inhalasi cairan gaster yang regurgitasi. Tanda dan gejala utamanya antara lain adalah dyspnea dengan onset mendadak, yang disertai dengan demam dan hipoksemia. Pada auskultasi ditemukan ronki dan pemeriksaan rontgen toraks menunjukkan infiltrat bilateral pada pasien. Pada bronkoskopi akan tampak gambaran bronkus eritema.[21]
Pneumonitis aspirasi dapat dibedakan dengan CAP terutama pneumonia aspirasi berdasarkan etiologinya, dimana pneumonitis aspirasi disebabkan karena aspirasi cairan gaster yang steril. Sedangkan CAP disebabkan karena proses infeksi yang diakibatkan inhalasi sekresi orofaringeal yang mengandung patogen penyebab infeksi.[22]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama pada pneumonia komuniti atau CAP adalah pemeriksaan radiologi, yaitu rontgen toraks dengan temuan infiltrat sebagai gambaran khas CAP. Kultur sputum dan kultur darah bermanfaat dalam menentukan mikroorganisme yang menginfeksi paru pada pneumonia komuniti, sehingga terapi definitif dapat diberikan sesuai dengan mikroorganisme penyebab dan resistensinya.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi rontgen toraks memiliki gambaran khas infiltrat setelah 12 jam infeksi yang dapat terlihat dari gambaran posteroanterior (PA) dan lateral. Posisi lateral juga diperlukan dalam diagnosis untuk melihat infiltrat yang mungkin tertutup dengan gambaran jantung.[2]
Gambaran rontgen toraks yang normal pada awal pemeriksaan tidak mengeksklusi CAP, sehingga pemeriksaan perlu diulang setelah 1 sampai 2 hari. Selain itu, rontgen toraks juga dapat diulang bila dalam 48 sampai 72 jam setelah mendapat antibiotik tidak didapatkan perbaikan klinis, perburukan klinis, demam persisten, dan pneumonia komplikasi dengan klinis menjadi tidak stabil.[3,6]
Gambaran yang dapat ditemukan pada rontgen toraks antara lain adalah gambaran Infiltrat, konsolidasi dengan air bronchogram, gambaran kavitas, infiltrat bilateral/multipel atau gambaran bronkopneumonia. Meningkatnya corakan infiltrat yang disertai dengan perburukan klinis pada 48 sampai 72 jam setelah terapi antibiotik dimulai, dapat menandakan kegagalan terapi dan kemungkinan diperlukannya rawat intensive care unit (ICU).[3,6]
Rontgen toraks bukan merupakan acuan utama untuk menentukan etiologi, karena hal ini didapatkan dari kultur mikroba maupun PCR. Akan tetapi, pemeriksaan rontgen toraks dapat membantu memberikan petunjuk untuk membedakan etiologi bakteri dan virus. Pada etiologi bakteri umumnya gambaran rontgen toraksnya memperlihatkan gambaran pneumonia lobular atau alveolar, sedangkan pneumonia viral dapat memberikan gambaran diffuse patchy infiltrate maupun ground glass appearance.[2,23]
CT-Scan Toraks:
Pemeriksaan CT-scan toraks dalam diagnosis CAP diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan mengalami pneumonia aspirasi, etiologi keganasan, dan pasien dengan gambaran rontgen toraks tidak ditemukan infiltrat tetapi klinis pasien sangat mengarah pada pneumonia. Selain itu, pasien pneumonia imunokompromais, pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotika dan pneumonia rekuren juga dapat diindikasikan untuk melakukan CT-scan toraks.[23]
Gambaran pneumonia pada CT-scan toraks dapat menggambarkan adanya konsolidasi, ground glass appearance dan nodul peribronkial.[23]
Aplikasi Analisis Batuk
Tes batuk dengan aplikasi analisis batuk berbasis artificial intelligence (AI) dengan mengenal jenis batuk untuk membantu mengidentifikasi pneumonia berdasarkan jenis batuk serta membedakan pneumonia dengan penyakit sistem respirasi lainnya seperti asma, croup, dan infeksi saluran napas atas. Berdasarkan studi yang telah dilakukan sampai saat ini, aplikasi ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tidak lebih inferior atau bahkan lebih baik daripada penilaian klinis dokter yang dikombinasi dengan rontgen toraks.[56]
Prinsip aplikasi ini adalah teknologi pengenalan suara dengan membedakan suara napas dan suara batuk (cough recognition), segmentasi batuk yang terjadi beberapa kali dalam satu periode batuk (cough segmentation), dan analisis suara batuk untuk menghubungkannya dengan diagnosis tertentu.[57-59]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang bermanfaat dalam diagnosis CAP antara lain adalah pemeriksaan darah lengkap, penanda inflamasi, pewarnaan gram, kultur darah dan sputum, serta polymerase chain reaction (PCR).
Pemeriksaan Gram dan Kultur:
Pemeriksaan gram, serta kultur sputum dan darah dilakukan untuk mengidentifikasi etiologi infeksi serta melihat adanya resistensi bakteri pada CAP yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Sampel yang diperiksa harus berkualitas dan tidak terkontaminasi oleh sediaan lain, misalnya sediaan sputum tidak boleh terkontaminasi saliva. Pengambilan sampel harus dilakukan sebelum terapi empiris dilakukan karena bisa menyebabkan hasil negatif palsu.[5]
Pewarnaan gram pada sputum berguna untuk mengidentifikasi spesies bakteri yang menjadi etiologi infeksi, sementara kultur sputum untuk mengidentifikasi patogen dalam jumlah yang lebih besar serta dilanjutkan dengan uji resistensi dan uji sensitivitas terhadap antibiotik.[5,8]
Kultur darah lebih diindikasikan pada pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit dengan tanda klinis sepsis dan mengalami perburukan klinis pasca pemberian terapi antibiotik. Pemeriksaan ini jarang diperlukan pada pasien rawat jalan.[6,8]
Polymerase Chain Reaction (PCR):
Deteksi virus penyebab pneumonia komuniti atau CAP dapat dilakukan dengan metode diagnostik dengan polymerase chain reaction (PCR). PCR dapat bermanfaat mendeteksi dengan cepat identitas mikroba patogen yang menginfeksi pasien yang umumnya dilakukan dengan teknik tradisional dengan metode kultur yang membutuhkan waktu lama.[3,8,25,26]
Pemeriksaan Darah Lengkap:
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan leukositosis yang bermakna dan pergeseran ke kiri atau shift to the left pada hitung jenis leukosit, terutama pada keadaan akut karena neutrofilia. Hasil pemeriksaan darah lengkap tidak spesifik dan tidak selalu diindikasikan pada semua pasien CAP yang tidak diputuskan untuk menjalankan rawat inap.[6]
Pemeriksaan Penanda Inflamasi:
Protein reaktan fase akut merupakan penanda inflamasi yang seringkali meningkat pada keadaan inflamasi akut. Contoh penanda inflamasi antara lain adalah laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP), dan procalcitonin.[6,8]
Peningkatan procalcitonin dapat digunakan untuk penanda kebutuhan pemberian antibiotik dan penghentian antibiotik bila kadarnya telah menurun di bawah ambang batas bawah. Akan tetapi, procalcitonin mahal dan tidak selalu ada di semua fasilitas kesehatan.[6,8]
Pemeriksaan LED dan CRP lebih mudah dilakukan, murah, dan lebih tersedia, sehingga lebih sering digunakan. Pemeriksaan LED dinyatakan dalam mm/jam, serta dipengaruhi kadar fibrinogen yang meningkat saat inflamasi, sehingga kemampuan agregasi eritrosit meningkat dan LED meningkat. Akan tetapi, LED baru meningkat setelah 24 sampai 48 jam dengan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.[24]
Protein CRP digunakan untuk membantu proses fagositosis pada infeksi akibat patogen tertentu. Kadarnya meningkat setelah 4 sampai 6 jam dan mencapai puncaknya setelah 36 sampai 50 jam. Pemeriksaan lebih sensitif untuk menjadi penanda infeksi bakteri, terutama bila dibandingkan dengan LED. Akan tetapi, pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis dan bukan merupakan panduan utama untuk memulai terapi definitif, seperti antibiotik.[24]
Analisa Gas Darah (AGD):
Analisa gas darah (AGD) dilakukan untuk menganalisis pH, menilai status ventilasi dan oksigenasi, serta kadar bikarbonat. Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) dilakukan untuk menilai status oksigenasi, sedangkan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) menilai status ventilasi.[55]
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan rutin yang selalu dilakukan, karena sangat nyeri untuk pasien dan menambah biaya. Akan tetapi, pada keadaan tertentu seperti keputusan intubasi serta menilai keberhasilan terapi oksigen yang diberikan, pemeriksaan ini dapat diindikasikan.[55]
Polymerase Chain Reaction (PCR):
Deteksi virus penyebab pneumonia komuniti atau CAP dapat dilakukan dengan metode diagnostik dengan polymerase chain reaction (PCR). PCR dapat bermanfaat mendeteksi dengan cepat identitas mikroba patogen yang menginfeksi pasien yang umumnya dilakukan dengan teknik tradisional dengan metode kultur yang membutuhkan waktu lama.[3,8,25,26]
Pemeriksaan Histologi dan Bakteri Tahan Asam (BTA)
Pemeriksaan histologi tidak rutin dilakukan pada pasien dengan CAP. Akan tetapi, pemeriksaan ini dapat membantu melihat stadium penyakit pada CAP, terutama untuk pneumonia lobaris yang dibagi menjadi 4 stadium, yaitu kongesti, hepatisasi merah, hepatisasi abu-abu, dan resolusi.[7]
Pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) pada sputum dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami batuk persisten, adanya gambaran yang mengarah ke tuberkulosis (TB) dari interpretasi rontgen toraks, kontak erat dengan pasien TB, maupun faktor risiko TB lainnya.[60]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon