Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti
Penatalaksanaan pneumonia komuniti atau community-acquired pneumonia (CAP) dipertimbangkan dengan melakukan penilaian berdasarkan sistem skoring pneumonia severity index (PSI) maupun CURB-65. Berdasarkan penilaian tersebut, maka dapat diputuskan kemungkinan rawat jalan, rawat inap, atau perawatan intensif pada pasien dengan CAP.[3]
British Thoracic Society mengeluarkan skoring CURB-65 yang lebih sederhana dengan pemberian skor 1 poin pada setiap temuan aspek yang dinilai. Rawat jalan direkomendasikan pada skor 0-1, rawat jalan dengan supervisi atau rawat inap singkat pada skor 2, rawat inap pada skor 3 atau lebih, dan pertimbangkan rawat di ruang perawatan intensif (ICU) pada skor 4-5. Aspek yang dinilai adalah:
C : Confusion atau disorientasi
U : Urea >7 mmol/L atau setara blood urea nitrogen (BUN) >20 mg/dL
R : Respiratory rate (laju pernapasan) 30 x/menit atau lebih
B : Blood pressure (tekanan darah) sistolik <90 mmHg atau diastolik <60 mmHg
65 : usia 65 tahun ke atas[3]
Indeks lainnya yang bermanfaat pada pasien pneumonia komuniti adalah indeks PSI. Indeks PSI merupakan model prognostik untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko kematian yang rendah namun cukup rumit bila diaplikasikan di instalasi gawat darurat yang cukup sibuk.[3]
Berobat Jalan
Keputusan berobat jalan pada CAP dilakukan berdasarkan pemeriksaan risiko beratnya penyakit dengan metode skoring CURB-65. Apabila dari skoring didapatkan skor antara 0 hingga 1, maka pasien diperbolehkan untuk rawat jalan dengan disertai pemberian obat-obatan yang adekuat. Pasien perlu diberikan edukasi mengenai warning sign yang perlu diwaspadai pada pneumonia.[7,27]
Apabila terdapat warning sign, maka pasien harus segera kontrol kembali di fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk menerima terapi lebih lanjut. Warning sign pada pneumonia komuniti antara lain adalah tidak adanya perbaikan gejala klinis 48 sampai 72 jam setelah menerima terapi adekuat serta perburukan gejala klinis, seperti adanya distress napas dan penurunan kesadaran.[27]
Kriteria Rawat Inap untuk Anak
Pada pasien anak, kriteria rawat inap antara lain apabila ditemukan kondisi hipoksemia atau saturasi oksigen <90% dengan room air, usia dibawah 6 bulan dengan gejala pneumonia, takipneu, distress napas, capillary refill time (CRT) >2 detik, dan penampakan toksik. Penampakan toksik adalah manifestasi klinis berupa kondisi letargi, tanda perfusi yang buruk, tampak hipo- atau hiperventilasi dan sianosis.[6,28]
Pasien dengan Penyakit Komorbid dan Komplikasi
Pasien dengan penyakit komorbid dianjurkan untuk tidak berobat jalan. Penyakit komorbid yang dimaksud antara lain seperti sindrom genetik seperti sindrom down, gangguan neuromuskular seperti distrofi muskular, dan penyakit kardiopulmoner seperti ventrikular septal defek (VSD). Pasien CAP dengan komplikasi seperti efusi pleura dan empiema, serta memiliki caregiver yang tidak cakap dalam merawat juga sebaiknya dirawat.[6]
Kriteria Berobat Jalan untuk Pasien Rawat Inap
Pasien pneumonia komuniti atau CAP yang dirawat diperbolehkan untuk pulang dan berobat jalan dari rumah sakit apabila telah didapatkan perbaikan kondisi klinis secara umum yang ditandai dengan:
- Pasien dapat beraktivitas secara mandiri
- Perbaikan nafsu makan
- Status respiratori normal
- Demam hilang minimal 24 jam
- Perbaikan hipoksia yang ditandai dengan peningkatan kadar oksigen >90% dengan room air selama 24 jam[3]
Persiapan Rujukan
Persiapan rujukan dari fasilitas kesehatan primer ke tingkat yang lebih tinggi dipertimbangkan apabila pada penilaian skoring CURB-65 didapatkan hasil 4 atau lebih. Hal ini karena, pasien kemungkinan besar membutuhkan fasilitas ruang perawatan intensif.[7]
Tabel 1. Kriteria Perawatan Pada Unit Rawatan Intensif Atau ICU
Kriteria Mayor | Kriteria Minor |
Kebutuhan untuk ventilasi mekanik Syok sepsis | Rasio PaO2/FiO2 <250 Laju pernapasan >30 kali per menit Konfusi Infiltrat multilobar Tekanan darah sistolik <90 mmHg walaupun telah dilakukan resusitasi cairan Blood Urea Nitrogen (BUN) >20 mg/dl Leukopenia (<4000 sel/mm3) Trombositopenia (<100.000 per mm3) Hipotermia (<36oC) Hiponatremia (<130 mEq/L) pH arterial <7,3 |
Perawatan ICU diindikasikan apabila terdapat minimal satu kriteria mayor atau 3 kriteria minor. |
Sumber : dr. Reren Ramanda, 2022.[2,3,5]
Medikamentosa
Tata laksana medikamentosa pada pneumonia komuniti dapat meliputi terapi simtomatik dan definitif sesuai etiologi. Terapi simptomatik seperti paracetamol untuk demam dapat diberikan berdasarkan pertimbangan klinis tertentu, dan tidak selalu harus diberikan bila pasien sudah mendapat terapi definitif yang sesuai. Selain itu, penggunaan dexamethasone jangka pendek selama 5 hari juga dapat memberikan outcome yang lebih baik pada anak dengan CAP berat.
Bila etiologi CAP adalah virus, maka tidak diperlukan antibiotik karena virus dianggap sebagai self-limited diseases. Akan tetapi, kebanyakan infeksi virus dapat tumpang tindih dengan infeksi bakteri, sehingga pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan apabila pemeriksaan klinis menunjang keadaan ini.[3,5,6]
Selain untuk pneumonia yang diakibatkan oleh infeksi bakteri, pemberian antibiotik dapat dilakukan pada kasus pneumonia dengan komplikasi. Pada anak prasekolah, etiologi yang sering ditemukan adalah virus, sehingga pada populasi ini lebih jarang memerlukan terapi antibiotik.[3,5,6]
Antibiotik
Terapi CAP dengan antibiotik empiris dapat dipertimbangkan bila klinis mengarah ke infeksi bakteri sambil menunggu hasil kultur dan uji sensitivitas dan uji resistensi antibiotik. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain seperti amoxicillin, clarithromycin, azithromycin, dan lefamulin.[3,5,6]
Kondisi yang membutuhkan pemberian segera terapi empiris antibiotik antara lain adalah pada CAP komplikata, contohnya pneumonia komuniti yang disertai dengan efusi parapneumonia, pneumonia nekrotik, empiema, dan abses paru. Terapi antibiotik empiris pada CAP juga dibedakan berdasarkan pasien rawat inap ataupun rawat jalan.[3,5,6]
Selain menentukan antibiotik yang tepat, durasi pemberian antibiotik juga harus diperhatikan. Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa, pemberian antibiotik jangka pendek sama efektif dan aman dengan antibiotik jangka panjang.
Rawat Jalan Anak:
Pada pasien anak dengan CAP yang diputuskan untuk rawat jalan, pilihan utama antibiotik empiris berdasarkan bakteri patogen lokal dan pola resistensi antibiotik adalah amoxicillin dengan dosis 90 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 kali sehari dengan durasi 3 sampai 5 hari atau makrolida terbaru, seperti clarithromycin dengan dosis 15 mg/kg/hari dalam 2 dosis selama 7 sampai 14 hari. Pilihan lain adalah azithromycin dosis tunggal 10 mg/kgBB pada hari pertama dilanjutkan 5 mg/kgBB pada hari ke 2 sampai 5.[6]
Rawat Jalan Dewasa:
Pada pasien dewasa yang diputuskan untuk rawat jalan, bila tidak ada riwayat penyakit dan pemakaian antibiotik dalam 3 bulan terakhir, maka antibiotiknya mirip dengan rawat jalan anak, tapi dengan dosis berbeda.
Pilihan utama antibiotik yang diberikan adalah amoxicillin dengan dosis 1 g/12 jam per oral selama 3-7 hari atau makrolid terbaru, seperti clarithromycin dengan dosis 500 mg/12 jam per oral selama 7-14 hari. Alternatif lainnya adalah azithromycin 500 mg hari pertama dilanjutkan dengan 250 mg/hari per oral selama 5 hari atau doksisiklin 100 mg tiap 12 jam per oral selama 10 hari.[3,5]
Apabila pasien memiliki komorbid atau riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir, antibiotik yang diberikan adalah golongan fluorokuinolon, seperti moxifloxacin dengan dosis 400 mg/hari per oral atau levofloxacin 750 mg/hari per oral selama 5 hari.[3,5]
Pilihan lainnya dapat diberikan antibiotik golongan beta-laktam dengan amoxicillin dosis tinggi yaitu 1 g/8 jam selama 3-7 hari atau amoxicillin-clavulanate dengan dosis 2 g/12 jam per oral selama 7 hari.[3,5]
Rawat Inap Dewasa:
Pada pasien rawat inap dewasa, lini pertama terapi yang diberikan adalah antibiotik golongan fluorokuinolon, seperti moxifloxacin dengan dosis 400 mg/hari per oral/intravena (IV), atau levofloxacin 750 mg/hari per oral/IV.
Alternatif antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan cephalosporin, misalnya ceftriaxone dengan dosis 1–2 g IV per 24 jam, ampicillin 1–2 g IV tiap 4–6 jam, cefotaxime 1–2 g IV tiap 8 jam atau dengan ertapenem 1 g IV per 24 jam ditambah makrolid.[3]
Rawat Inap Anak:
Pada pasien anak, direkomendasikan penggunaan ampisilin intravena 200 mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam atau azithromycin IV atau peroral diberikan sebagai dosis tunggal 10 mg/kg pada hari pertama dilanjutkan dengan 5 mg/kg pada hari ke 2–5. Alternatif lainnya dengan penicillin G intravena dengan dosis 250,000-400,000 U/kgBB/hari terbagi tiap 4–6 jam.[6]
Rawat Inap di Ruangan Perawatan Intensif (ICU) Dewasa:
Pada pasien dewasa yang dirawat di ruang perawatan intensif (ICU), lini pertama antibiotik yang diberikan adalah golongan beta-laktam, contohnya ceftriaxone dengan dosis 2 g IV per 24 jam, ampicillin-sulbactam dengan dosis 2 g IV tiap 8 jam. Pilihan lain adalah cefotaxime 1–2 g IV tiap 8 jam ditambah azithromycin atau fluorokuinolon.[3]
Rawat Inap di Ruangan Perawatan Intensif (ICU) Anak:
Pada pasien anak yang dirawat di ruang rawat intensif, lini pertama antibiotik yang diberikan adalah golongan beta-laktam, contohnya ceftriaxone yang diberikan dengan dosis 75 mg/kgBB/hari tiap 24 jam.
Alternatif lain untuk pasien anak adalah clindamycin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari terbagi tiap 8 jam atau vancomycin intravena 60 mg/kgBB/hari terbagi tiap 8 jam.[6]
Pertimbangan khusus:
Bila dicurigai terdapat infeksi Pseudomonas, maka pilihan pertama antibiotik yang diberikan adalah golongan beta-laktam, seperti piperacillin/tazobactam dengan dosis 4,5 g IV tiap 6 jam, cefepime dengan dosis 1–2 g IV tiap 12 jam, imipenem dengan dosis 500 mg IV tiap 6 jam, meropenem dengan dosis 1 g IV tiap 8 jam. Kemudian dikombinasi dengan ciprofloxacin 400 mg IV tiap 12 jam atau levofloxacin 750 mg IV perhari.[3]
Alternatif lainnya adalah beta-laktam ditambah aminoglikosida, seperti amikacin 15 mg/kg perhari atau tobramycin 1,7 mg/kg per hari dan dikombinasi dengan azithromycin.[3]
Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan sebagai tata laksana pada kasus pneumonia komuniti dengan komplikasi. Pembedahan yang dapat dilakukan antara lain dengan metode sederhana seperti pemasangan chest tube hingga yang lebih invasif seperti torakotomi dan lobektomi.
Chest Tube
Chest tube adalah prosedur pemasangan selang drainase lewat celah interkostal dengan tujuan mengalirkan cairan maupun udara pada rongga pleura keluar. Pada pneumonia, pemasangan chest tube diindikasikan pada pneumonia yang disertai empiema dan efusi pleura, maupun dengan komplikasi pneumothorax.[29]
Torakotomi
Torakotomi adalah prosedur pembedahan dengan melakukan insisi pada dinding dada agar dapat mengakses cavum toraks. Prosedur torakotomi diindikasikan pada pneumonia yang disertai dengan empiema kronik.[30]
Lobektomi
Lobektomi adalah prosedur bedah untuk mengeluarkan lobus paru yang rusak. Biasanya lobektomi diindikasikan pada infeksi paru kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi yang sudah diberikan. Contohnya pada kondisi lobus paru dengan kavitas yang besar atau terdapat bronkiektasis lokal yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik.[31]
Terapi Suportif
Selain tata laksana pasien CAP dengan antibiotik, terapi suportif seperti istirahat dan pemberian cairan berdasarkan stratifikasi risiko CURB-65 untuk rawat inap/ICU dan rawat jalan. Paracetamol sebagai penurun panas tidak selalu diperlukan dan pemberian antitusif tidak direkomendasikan pada keadaan ini.
Terapi Suportif untuk Rawat Jalan
Terapi suportif untuk rawat jalan adalah memastikan pasien dapat mendapatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat serta istirahat, karena pemberian antibiotik yang adekuat dapat berperan memberikan outcome yang baik tapi tidak selalu sufisien untuk semua kasus. Pemberian nutrisi yang disarankan untuk rawat jalan adalah toleransi dan berat badan.[5,67]
Terapi Suportif untuk Rawat Inap/ICU
Terapi suportif pada pasien dengan CAP yang penting diberikan adalah pemberian terapi oksigen sesuai indikasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik, terapi cairan, serta nutrisi sesuai kebutuhan.[3,5,6]
Terapi Oksigen:
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Zhang et al, terapi oksigen pada pasien pneumonia yang dirawat di ruang perawatan intensif dapat menurunkan angka kematian serta menurunkan lamanya waktu perawatan di ruang rawat intensif.[32]
Target saturasi oksigen adalah 92 sampai 98% pada orang normal. Akan tetapi, pada pasien dengan penyulit lain, misalnya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), target saturasi oksigen dapat diturunkan menjadi 88 sampai 92% karena kondisi hiperkapnia kronis yang sudah ada sebelumnya.[54]
Terapi oksigen dapat diberikan tanpa ventilasi mekanik, seperti nasal kanul dan non-rebreathing mask (NRM). Akan tetapi, bila target oksigenasi masih tidak tercapai, dapat dipertimbangkan pemberian high flow nasal cannula (HFNC), non invasive ventilation (NIV), maupun intubasi.[54]
Intubasi dapat dipertimbangkan dengan menghitung rasio PaO2/FiO2, indeks rasio SpO2/FIO2 dengan respiratory rate (ROX) pada mereka yang mendapat HFNC maupun skoring HACOR (Heart rate, Acidosis, Consciousness level, Oxygenation dan Respiratory rate) pada mereka yang mendapat NIV. Penurunan kesadaran tidak selalu menjadi indikasi dilakukannya intubasi.[54]
Terapi Cairan:
Terapi cairan diberikan pada pasien pneumonia komuniti untuk memenuhi kebutuhan cairan atau nutrisi parenteral tambahan, dehidrasi, serta ketidakseimbangan elektrolit. Pada terapi cairan, perhitungan balance cairan dari input dan output sangat diperlukan untuk mencegah kelebihan ataupun kekurangan pemberian cairan. Pada kondisi gangguan elektrolit, pemberian tambahan cairan elektrolit diberikan hingga mencapai target yang diinginkan sesuai perhitungan.[33]
Selain itu, pasien CAP dengan syok sepsis juga perlu ditata laksana dengan resusitasi cairan, vasopressor seperti norepinefrin, dan hidrokortison (pada syok sepsis yang refrakter) sesuai indikasi.[65,66]
Nutrisi:
Terapi nutrisi diperlukan pada pasien pneumonia komuniti yang mengalami malnutrisi. Kondisi malnutrisi akan menyebabkan respons pertahanan tubuh menjadi terganggu, sehingga kemampuan tubuh untuk melawan patogen berkurang.
Terapi nutrisi lebih disarankan melalui rute per oral maupun enteral lewat nasogastric tube (NGT). Akan tetapi, apabila tidak memungkinkan dengan jalur tersebut, pemberian nutrisi melalui jalur intravena (nutrisi parenteral) dapat dipertimbangkan.[33]
Simtomatik
Tata laksana utama pada CAP adalah mengobati etiologi, misalnya dengan antibiotik sesuai rekomendasi pada CAP yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Pemberian paracetamol sebagai penurun demam tidak selalu diperlukan pada keadaan dimana terapi definitif sudah diberikan dan klinis “toxic appearance” tidak didapatkan. Demam merupakan respon pertahanan imun tubuh terhadap infeksi dan beneficial pada suhu <40°C. Umumnya di atas suhu ini pasien memiliki toxic appearance.[61]
Antitusif, seperti codeine dan dextromethorphan, tidak direkomendasikan pada pneumonia. Hal ini karena berdasarkan studi yang ada, pemberian antitusif tidak benefisial. Selain itu, batuk pada keadaan infeksi sebenarnya benefisial untuk membersihkan saluran napas dari sekresi yang berlebihan akibat infeksi. Selain itu, obat ini bekerja menekan batuk secara sentral, sehingga benefit dan harm dari penggunaan obat ini tidak seimbang.[62]
Berhenti Merokok
Berhenti merokok dapat secara signifikan menurunkan mortalitas pneumonia. Bahkan angka mortalitas pasien yang telah berhenti merokok selama minimal 10 tahun dapat menurun hingga menyamai mortalitas pasien yang tidak pernah merokok.[34]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon