Patofisiologi Gout
Secara garis besar, patofisiologi gout dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu hiperurisemia, fase akut, fase interkritikal, dan fase kronis. Gout terjadi akibat akumulasi asam urat berlebih dalam darah atau hiperurisemia secara kronis. Hal ini mengakibatkan akumulasi dan pembentukan kristal asam urat secara abnormal di ruang intraartikular
Fase I : Hiperurisemia
Hiperurisemia dapat terjadi akibat konsumsi bahan makanan tinggi purin sebagai sumber purin eksogen. Selain itu, hiperurisemia juga dapat terjadi akibat gangguan atau penyakit yang memicu peningkatan cell-turnover dan kerusakan sel tubuh yang memicu pengeluaran dan metabolisme DNA, RNA, ATP, GTP, c-AMP, dan NADH sebagai sumber purin endogen.
Purin dimetabolisme menjadi xanthine, kemudian xanthine oleh xanthine oxidase dimetabolisme menjadi asam urat. 30% asam urat diekskresikan lewat pencernaan ke dalam feses, sisanya diekskresikan oleh ginjal lewat urine.
Beberapa mutasi genetik, penggunaan obat-obatan, peningkatan kadar timbal, laktat, dan keton dalam darah mengakibatkan penurunan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan asam urat ke dalam urine. Terlebih manusia tidak memiliki enzim urikase yang berfungsi memecah asam urat menjadi allantoin dan substansi lain yang larut dalam urine. Kesemua hal ini mengakibatkan penumpukan dan peningkatan kadar asam urat dalam darah.[4,5]
Pada fase ini, penderita dapat belum memiliki gejala. Secara klinis, pasien dalam fase hiperurisemia asimtomatik ketika kadar asam urat darah > 6,8 mg/dl tetapi tanpa gejala klinis. Fase ini dapat berlangsung bertahun-tahun dan masuk ke fase gout bila sudah terjadi serangan akut.[6]
Fase II : Gout Akut (Acute Flare)
Ketika kadar asam urat dalam serum sudah terlalu jenuh (lebih dari 6,8 mg/dL), mulai terbentuk deposisi monosodium urat yang dapat terakumulasi menjadi kristal asam urat. Terbentuknya kristal asam urat memicu aktivasi inflamasom nucleotide-binding and oligomerization domain-like receptor, leucine-rich repeat and pyrin-domain containing 3 (NLRP3), yang kemudian memediasi produksi sitokin proinflamasi IL-β.
Kristal ini juga menstimulasi kedatangan neutrofil untuk fagositosis kristal, kemudian melepaskan IL-6 dan TNF-α. Kehadiran mediator inflamasi ini memicu kalor, eritema, edema, nyeri tekan, dan turunnya fungsi gerak sendi karena ketidaknyamanan.[4,5,7-9]
Penderita sudah memasuki fase arthritis gout akut (acute flare) ketika penderita mulai memiliki keluhan nyeri sendi akut dan kemerahan di salah satu sendinya. Pada pemeriksaan fisik terdapat pembengkakan sendi, kemerahan, nyeri tekan, teraba hangat pada sendi monoartikular, terutama pada sendi metatarsofalangeal I, pergelangan kaki, serta sering disertai febris. Gejala akut ini dapat hilang sendiri dalam beberapa hari.[6]
Fase III : Stadium Interkritikal (Interval)
Ketika serangan akut mereda setelah pemberian analgesik atau kolkisin, penderita memasuki fase remisi. Fase ini bersifat asimtomatik, namun kadar asam urat penderita masih tinggi. Jika pasien belum diberi terapi penurun asam urat, fase ini dapat dihentikan oleh serangan akut baru yang mungkin akan terjadi semakin sering. Fase ini dapat berlangsung bertahun-tahun hingga diakhiri dengan pembentukan tophus yang menandai fase kronis.[5,6]
Fase IV : Stadium Kronis dengan Pembentukan Tophus (Chronic Topaseous Gouthy Arthropathy/ CTGA)
Hiperurisemia berkepanjangan yang sudah mengalami serangan akut sebelumnya, bila tidak diberikan terapi penurun asam urat akan terus melangsungkan proses inflamasi sistemik. Proses inflamasi sistemik ini termasuk merusak semakin banyak sendi, sehingga semakin banyak sendi yang mengalami peradangan (poliartritis).
Dalam fase ini, terbentuk tophus yaitu massa dari akumulasi kristal monosodium urat yang dapat terletak di sekitar sendi, wilayah subkutan, atau pada sendi. Tophus dapat menyebabkan erosi sendi, tulang rawan, tulang subkondral, tulang, dan tendon di sekitarnya. Komplikasi dan kelainan yang dapat menyertai meliputi kelainan parenkim ginjal berupa nefropati urat, batu urat pada ginjal, hipertensi, aterosklerosis jantung dan otak, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia.[1,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Junita br Tarigan