Diagnosis Abses Peritonsilar
Diagnosis abses peritonsilar ditegakkan terutama berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang baku standar adalah melalui tindakan aspirasi abses menggunakan jarum, yang kemudian dikultur. Pemeriksaan penunjang radiologi digunakan untuk mengevaluasi perluasan abses ke jaringan sekitar.
Anamnesis
Pada anamnesis, bisa didapatkan keluhan nyeri tenggorokan selama 3-6 hari yang secara progresif bertambah berat dan sering kali unilateral. Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri menelan (odinofagia) dan kesulitan menelan (disfagia). Kombinasi odinofagia dan disfagia yang berat dapat membuat pasien sulit sekali menelan air ludah sehingga akan timbul keluhan air liur menetes (drooling).[1,6]
Nyeri tenggorokan yang dirasakan pasien dapat menjalar hingga telinga (otalgia) ipsilateral. Pasien dapat merasakan nyeri leher yang timbul karena terjadi peradangan pada limfonodus servikal. Beberapa pasien dapat mengeluhkan kesulitan membuka mulut (trismus) karena peradangan juga terjadi pada otot pterygoid yang terletak di superior otot konstriktor. Keluhan suara serak juga cukup sering ditemukan.[1,3,5,6]
Keluhan yang sering dirasakan adalah demam menggigil, malaise, nyeri badan, sakit kepala, mual, dan juga konstipasi. Gejala demam lebih menonjol daripada nyeri tenggorokan pada pasien anak-anak.[1,10]
Pada kasus abses yang berat dan berukuran besar, abses dapat meluas hingga area parafaringeal dan prevertebra hingga menimbulkan distres pernapasan.[1]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tanda vital dapat ditemukan febris dan keadaan umum yang tidak baik. Gejala dehidrasi dan sepsis juga bisa didapatkan.
Pada pemeriksaan daerah mulut, tampak pembengkakan area peritonsilar dan tonsil tampak terdorong ke medial dan inferior. Pada inspeksi area tonsil, dapat terlihat mukus maupun eksudat. Tonsil dapat berubah warna menjadi pucat (blanch) dan fluktuatif dengan penekanan ringan. Uvula sering kali edema dan eritema, tampak deviasi ke sisi berlawanan. Dapat juga ditemukan eritema dan edema di daerah palatum mole dan sisi anterior pilar tonsil. Air liur yang menumpuk dapat mengganggu kebersihan rongga mulut dan menimbulkan bau mulut tidak sedap (halitosis).[5]
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan limfadenopati servikal, terutama di daerah jugulodigastrik. Tortikolis juga dapat terjadi, leher membengkok ke arah sisi yang terkena abses peritonsilar. [1] Saat ukuran abses bertambah besar, cara bicara pasien menjadi tidak jelas (muffled speech atau "hot potato" voice).[6]
Diagnosis abses peritonsilar sudah dapat ditegakkan bila dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda berikut ini:
- Pembengkakan unilateral di area peritonsilar
- Gejala tonsilitis akut yang tidak membaik dengan pembesaran tonsil unilateral yang menetap
- Penonjolan di palatum mole unilateral dengan pergeseran tonsil ipsilateral ke arah anterior[1]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding abses peritonsilar antara lain selulitis peritonsilar, infeksi mononukleosis, dan neoplasma.
Selulitis Peritonsilar
Selulitis peritonsilar memiliki gejala yang mirip abses peritonsilar, namun tidak didapatkan area fluktuatif atau pus pada aspirasi jarum. CT scan dengan kontras dapat membedakan ada tidaknya pus yang terbentuk. Ultrasonografi intraoral juga dapat secara akurat membedakan abses dengan selulitis peritonsilar.[6]
Infeksi Mononukleosis
Infeksi mononukleosis disebabkan oleh Epstein Barr virus (EBV). Gejala nyeri tenggorokan dan demam dapat timbul sehingga mirip dengan abses peritonsilar. Pada pemeriksaan kasus infeksi mononucleosis, dapat ditemukan pembesaran limfonodus leher, splenomegali, dan hepatomegali. Infeksi EBV ini dapat mengganggu respon imun dan membuat kolonisasi bakteri pada tonsil meningkat. Akibatnya, beberapa kasus infeksi mononukleosis juga diikuti oleh tonsilitis atau abses peritonsilar. Pemeriksaan laboratorium darah tes antibodi heterophile dapat digunakan sebagai skrining.[4,6]
Neoplasma
Neoplasma pada tonsil atau kelenjar ludah di sekitar tonsil dapat memberikan gejala pembengkakan tonsil unilateral. Pada neoplasma, biasanya tidak ditemukan tanda infeksi akut seperti nyeri tenggorokan akut, demam, dan pembesaran limfonodus servikal yang terasa nyeri.[6]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan bila pemeriksaan fisik atau visualisasi tonsil sulit dilakukan, misalnya pada pasien anak-anak atau pasien dengan trismus berat. Pemeriksaan penunjang khususnya radiologi dapat membedakan abses peritonsil dengan peradangan non abses, serta dapat mendeteksi perluasan abses peritonsil ke jaringan lunak sekitarnya.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah yang dapat dilakukan adalah complete blood count, protein C-reaktif, elektrolit, serta antibodi tes heterophile untuk mengeksklusi infeksi mononukleosis. Pemeriksaan standar baku adalah kultur pus dari sampel aspirasi abses menggunakan jarum.[5,11,12]
Radiologi
Pemeriksaan radiologi sederhana yang dapat dilakukan adalah foto rontgen jaringan lunak leher. Pemeriksaan rontgen leher dengan proyeksi lateral dapat mengevaluasi ada tidaknya abses retrofaringeal.[12]
Ultrasonografi (USG) intraoral dapat digunakan untuk membedakan abses peritonsilar dengan peritonsilitis. USG intraoral juga dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang tepat saat melakukan drainase abses. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 89-95% dan spesifisitas 79-100% untuk mendiagnosis abses peritonsilar.[2] Pendekatan USG transervikal (submandibula) dapat menjadi pilihan untuk pemeriksaan pada anak-anak atau pasien dengan trismus.[11]
CT scan dengan kontras direkomendasikan untuk pasien anak-anak yang sangat kecil yang mana diagnosis secara klinis sulit dilakukan, atau jika ada kecurigaan perluasan abses ke parafaringeal atau retrofaringeal. CT scan dapat mendiagnosis abses peritonsilar secara akurat dengan sensitivitas mencapai 100%. Sebelum melakukan CT scan, pastikan bahwa patensi jalan napas tidak akan terganggu jika pasien dalam posisi supinasi.[2]