Penatalaksanaan Abses Peritonsilar
Penatalaksanaan abses peritonsilar meliputi pemberian antibiotik spektrum luas, serta tindakan pembedahan seperti insisi dan drainase abses, aspirasi jarum, dan tonsilektomi.
Medikamentosa
Pasien diberikan antibiotik intravena terutama yang sensitif terhadap bakteri aerob Gram positif, Gram negatif, dan bakteri anaerob. Antibiotik empiris pilihan untuk abses peritonsilar adalah golongan penicillin seperti ampicillin yang biasanya dikombinasi dengan metronidazole atau clindamycin. Setelah ada hasil kultur, antibiotik dapat disesuaikan. Antibiotik diubah menjadi sediaan oral ketika sudah terjadi perbaikan klinis dan pasien dapat makan minum per oral.[1]
Pemberian antibiotik bermanfaat untuk mengurangi penyebaran infeksi, mengurangi durasi gejala, dan juga mengurangi komplikasi imunologi dan supuratif.[4] Bahkan beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien abses peritonsilar usia ≤6 tahun memberikan respon yang baik hanya dengan pemberian medikamentosa tanpa tindakan pembedahan.[10]
Antibiotik Intravena
Antibiotik intravena yang digunakan mencakup antibiotik untuk bakteri aerob dan juga anaerob, antara lain:
- Penicillin G 10 juta IU/ 6 jam + Metronidazole 500 mg/ 6 jam
- Ampicillin/ sulbactam 3 g/ 6 jam
- Sefalosporin generasi 3 (misalnya Ceftriaxone 1 g/ 12 jam) + Metronidazole 500 mg/ 6 jam
Piperacillin/ tazobactam 3,375 g/ 6 jam
- Clindamycin 900 mg/ 8 jam
- Vancomycin 1 g/ 12 jam (bila dicurigai infeksi Staphylococcus aureus resisten methicillin) + Metronidazole 500 mg/ 6 jam[6]
Antibiotik Oral
Antibiotik oral dapat digunakan pada pasien dengan toleransi oral yang baik atau sebagai terapi lanjutan antibiotik intravena pada pasien yang sudah dapat makan dan minum per oral. Contoh antibiotik oral yang dapat digunakan adalah:
Amoxicillin clavulanate 875 mg/ 12 jam
- Sefalosporin generasi 3 (misalnya Cefdinir 300 mg/ 12 jam) + Metronidazole 500 mg/ 6 jam
- Clindamycin 300-450 mg/ 8 jam[6]
Medikamentosa Tambahan
Pasien juga diberikan medikamentosa lain berupa analgetik dan antipiretik. Pemberian kortikosteroid sebagai terapi tambahan (adjunctive) masih kontroversial. Sebuah penelitian melaporkan bahwa pemberian dexamethasone intravena dosis tunggal (10 mg) dapat mengurangi tingkat keparahan nyeri, memperbaiki asupan per oral, dan mengurangi lama hari perawatan di rumah sakit. Terapi medikamentosa pada abses peritonsilar tetap harus diikuti dengan pembedahan untuk melakukan drainase abses.[1,6]
Pembedahan
Pembedahan yang umum dikerjakan pada kasus abses peritonsilar adalah aspirasi abses menggunakan jarum dan insisi drainase abses. Pada kasus tertentu diperlukan tindakan tonsilektomi.
Aspirasi Jarum
Aspirasi abses menggunakan jarum besar merupakan prosedur diagnostik sekaligus juga terapeutik. Sampel pus dapat dikirim untuk kultur dan bila pus dapat dikeluarkan seluruhnya maka tidak perlu melanjutkan dengan prosedur insisi drainase.[1] Aspirasi menggunakan jarum masuk melalui otot palatoglosus menuju abses setelah pemberian anestesi lokal. Insersi jarum dapat dilakukan pada beberapa tempat untuk dapat membersihkan seluruh pus.[2]
Setelah tindakan aspirasi jarum untuk mengevakuasi pus, bila gejala odinofagia, trismus, dan disfagia berkurang setelah observasi 4 jam, pasien dapat dipulangkan (rawat jalan). Namun, bila tidak ada perbaikan, pertimbangkan pasien untuk dirawat inap.[6] Tindakan ini sulit dilakukan pada anak-anak atau pasien yang kurang kooperatif karena berisiko mencederai pembuluh darah dan saluran napas.[10]
Penelitian oleh Chang BA et al, melaporkan bahwa pasien yang diterapi dengan aspirasi jarum memiliki angka rekurensi yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang dilakukan insisi drainase. Namun demikian, sebuah survey di UK melaporkan bahwa 60% dokter spesialis THT lebih memilih aspirasi jarum sebagai penatalaksanaan pertama abses peritonsilar.[2]
Insisi dan Drainase
Insisi dan drainase abses peritonsilar dapat dilakukan dengan posisi pasien duduk dengan anestesi lokal spray lidokain 10% di mukosa oral dan laring. Pada beberapa negara seperti Singapura, tindakan ini lebih sering dikerjakan daripada aspirasi jarum sebagai penatalaksanaan abses peritonsilar.[2]
Insisi dibuat pada area yang paling menonjol di atas pole atas tonsil. Area insisi alternatif adalah sisi lateral dari pertemuan pilar anterior dengan garis yang sejajar dengan dasar uvula. Forsep quinsy atau pisau nomor 11 dan forsep sinus dimasukkan dari insisi untuk memecah lokulus. Insisi tidak dijahit, pasien diminta untuk berkumur (gargle) menggunakan larutan natrium klorida. [1] Lubang insisi tersebut membuat udara (oksigen) dapat masuk ke kavitas bekas abses, sehingga mengurangi infeksi bakteri anaerob.[2]
Pada pasien yang tidak kooperatif atau abses terbentuk di daerah yang sulit dijangkau, prosedur insisi drainase dilakukan menggunakan anestesi umum. Tindakan insisi drainase memiliki risiko dan komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan aspirasi jarum. Pasien lebih merasakan nyeri, berisiko aspirasi pus, dan perdarahan.[1,2]
Tonsilektomi
Tonsilektomi dianjurkan untuk pasien dengan riwayat tonsilitis rekuren, karena rekurensi abses peritonsilar mencapai 40% pada pasien-pasien tersebut bila hanya dilakukan aspirasi jarum atau insisi drainase. Tonsilektomi juga dapat dilakukan untuk pasien anak-anak yang tidak mungkin dilakukan tindakan drainase abses dengan anestesi lokal.[6]
Rawat Inap
Pasien abses peritonsilar dengan gangguan asupan per oral dan dehidrasi merupakan indikasi rawat inap untuk mendapat terapi suportif berupa infus intravena. Indikasi rawat inap lain adalah kissing tonsils yang dapat mengganggu jalan napas, ada tanda-tanda sepsis, dan gagalnya penatalaksanaan oral yang sudah diberikan saat pasien rawat jalan. Durasi rawat inap pasien abses peritonsilar adalah antara 2-4 hari.[6]