Diagnosis Epistaksis
Diagnosis epistaksis ditegakkan secara klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang umumnya tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis tetapi berfungsi untuk menentukan etiologi serta membantu mengidentifikasi titik perdarahan yang tidak tervisualisasi dengan rinoskopi. Epistaksis sering muncul sebagai tanda dari kelainan lokal atau penyakit sistemik yang lebih serius. Oleh karena itu, sebisa mungkin etiologi epistaksis harus ditentukan.
Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan keluar darah dari rongga hidung yang muncul tiba-tiba. Anamnesis pada epistaxis berfokus pada karakteristik dan kemungkinan penyebabnya . Meskipun sebagian besar kasus terjadi secara spontan, terdapat beberapa tanda bahaya atau red flag epistaxis yang mengindikasikan penyebab yang lebih serius. Beberapa hal penting yang perlu ditanyakan saat anamnesis:
- Karakteristik epistaksis: onset dan durasi perdarahan, keparahan atau taksiran jumlah perdarahan, sisi hidung yang mengalami perdarahan, sensasi darah yang mengalir ke tenggorokan
- Faktor pencetus: perubahan suhu, aktivitas berat atau olahraga, riwayat memasukkan benda asing ke dalam hidung, serta riwayat benturan atau trauma pada hidung dan wajah
- Riwayat epistaksis sebelumnya
- Riwayat penyakit sistemik: gangguan hati, penyakit kardiovaskular, gangguan koagulasi, demam dengue
- Penggunaan obat-obatan tertentu: antiinflamasi nonsteroid, seperti diklofenak dan asam mefenamat; antikoagulan, seperti warfarin; antiplatelet, seperti aspirin; steroid, seperti dexamethasone; atau dekongestan topikal, seperti efedrin
- Keluhan yang menyertai: demam, sekret hidung yang berbau tidak sedap, hidung tersumbat, nyeri kepala, nyeri telinga, benjolan pada leher, gangguan penghidu
- Keluhan perdarahan di tempat lain: muntah atau BAB berdarah, perdarahan gusi, memar-memar pada anggota tubuh[1,4,9]
Perdarahan yang ringan umumnya terjadi pada epistaxis anterior. Walaupun demikian, perdarahan dalam jumlah besar tidak selalu mengindikasikan epistaxis posterior. Keluhan perdarahan pada rongga hidung bilateral dan adanya sensasi darah yang mengalir di tenggorokan dianggap patognomonis untuk epistaxis posterior.[10,11]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menilai kondisi umum pasien dan menentukan sumber perdarahan. Survei primer yang meliputi airway, breathing, dan circulation harus selalu didahulukan sebelum melakukan anamnesis dan langkah penatalaksanaan lainnya. Penilaian patensi jalan napas sangat penting pada kasus epistaksis karena darah dapat mengalir ke posterior faring dan berpotensi menyumbat jalan napas.
Kondisi hemodinamik yang harus dinilai meliputi tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan tanda-tanda syok.[3,10]
Bila kondisi hemodinamik dan patensi jalan napas baik, selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik hidung dan nasofaring. Pemeriksaan rinoskopi anterior membutuhkan spekulum hidung dan sumber cahaya yang adekuat, seperti senter atau headlamp, agar rongga hidung dapat tervisualisasi dengan baik. Bila diperlukan, gumpalan darah pada rongga hidung dapat dibersihkan dengan suction, pinset, atau forsep agar seluruh bagian hidung dapat tervisualisasi dengan baik.[1,3,10]
Pada rinoskopi anterior, inspeksi dimulai dari area pleksus Kiesselbach sebagai sumber perdarahan tersering, lalu dilanjutkan dengan inspeksi area vestibulum, septum, dan konka. Apabila titik perdarahan tidak dapat tervisualisasi, kemungkinan pasien mengalami epistaxis posterior.[1,3] Sumber perdarahan pada epistaxis posterior sering kali sulit ditemukan. Pada pemeriksaan fisik, dokter mungkin hanya dapat melihat adanya darah yang mengalir di area posterior nasofaring tanpa dapat memvisualisasi pembuluh darah yang terlibat.[4]
Pada kondisi perdarahan aktif yang menyulitkan dokter melakukan inspeksi, penggunaan obat anestesi dan vasokonstriktor topikal dapat bermanfaat. Obat-obatan seperti lidocaine atau phenylephrine dapat diaplikasikan dengan kassa atau stik aplikator untuk membantu menghentikan perdarahan. Dengan begitu, didapatkan visualisasi yang lebih baik pada rinoskopi. Selain bermanfaat dalam proses diagnostik, anestesi dan vasokonstriktor lokal juga memiliki efek terapeutik.[3,4,10]
Diagnosis Banding
Seluruh faktor lokal dan sistemik harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding epistaxis. Kondisi yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding pada epistaxis adalah:
Benda Asing
Benda asing pada hidung sering dijumpai pada anak-anak. Umumnya, kondisi ini disertai dengan keluhan hidung tersumbat dan sekret hidung unilateral yang purulen serta berbau. Benda asing di rongga hidung dapat terlihat melalui pemeriksaan rinoskopi anterior.
Karsinoma Nasofaring
Prevalensi karsinoma nasofaring tergolong tinggi pada populasi Asia Tenggara, sehingga kemungkinan ini harus selalu dipikirkan pada kasus epistaksis . Keluhan lain yang mungkin timbul pada kanker nasofaring adalah massa pada leher dan rasa penuh atau nyeri pada telinga unilateral. Pada pemeriksaan nasofaringoskopi, dapat ditemukan massa pada fosa Rosenmuller. Jenis tumor lain yang cukup sering menyebabkan epistaksis berulang adalah tumor sinonasal.
Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Angiofibroma nasofaring juvenil merupakan tumor jinak yang paling sering menyebabkan epistaxis pada usia remaja. Keluhan lain yang menyertai adalah hidung tersumbat, nyeri kepala, dan anosmia.
Telangiektasia Hemoragik Herediter (HHT)
Epistaksis merupakan manifestasi klinis tersering dari telangiektasia hemoragik herediter, atau dikenal juga dengan sindrom Osler-Weber-Rendu. Penyakit ini merupakan kelainan vaskular yang diturunkan secara autosomal dominan. Beberapa pasien dengan penyakit ini mengalami epistaksis yang refrakter meskipun telah diberikan berbagai jenis pengobatan. Gangguan koagulasi lainnya, seperti penyakit Von Willebrand dan hemofilia tetap perlu dipikirkan.
Trombositopenia
Segala kelainan yang menyebabkan trombositopenia dapat bermanifestasi sebagai epistaksis, termasuk gangguan liver, leukemia, demam dengue, dan disseminated intravascular coagulation (DIC).[3,4,9-11]
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis epistaxis bersifat diagnosis klinis dan pemeriksaan penunjang tidak diperlukan pada sebagian besar kasus. Pemeriksaan penunjang diindikasikan untuk melacak penyebab epistaxis, terutama pada pasien dengan epistaxis berulang yang belum diketahui penyebabnya [3]. Pemeriksaan penunjang juga dibutuhkan untuk menilai komplikasi perdarahan, atau sebagai persiapan tindakan operatif.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, dan crossmatch dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan hebat untuk mengetahui kadar hemoglobin, trombosit, dan sebagai persiapan transfusi darah. Pada pasien dalam pengobatan antikoagulan atau pasien yang dicurigai memiliki gangguan koagulasi dan gangguan liver, dapat dilakukan pemeriksaan parameter hemostasis, termasuk INR (International Normalized Ratio). [3, 4,9]
Nasoendoskopi
Nasoendoskopi atau nasofaringoskopi memungkinkan visualisasi struktur nasofaring yang lebih baik, sehingga membantu dokter untuk mengidentifikasi sumber perdarahan, terutama pada epistaksis posterior. Sebanyak 80–94% sumber perdarahan berhasil diidentifikasi dengan menggunakan endoskopi. Pemeriksaan penunjang ini dipilih pada kasus epistaxis dengan kecurigaan ke arah tumor atau neoplasma. Selain berperan dalam proses diagnostik, modalitas ini juga dapat memfasilitasi proses terapeutik.[3,4,9]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak diperlukan dalam kondisi akut epistaksis. Namun, pemeriksaan sinar X, Computed Tomography (CT Scan), dan MRI otak sering kali dibutuhkan untuk kepentingan pelacakan etiologi. Khususnya, pada pasien dengan epistaksis berulang, untuk mengidentifikasi deviasi septum, rhinosinusitis, tumor, neoplasma, atau kelainan struktural lainnya.[3,4,9]