Epidemiologi Epistaksis
Data epidemiologi menunjukkan bahwa epistaksis memiliki distribusi usia bimodal, dengan puncaknya pada usia 2–10 tahun dan >70 tahun. Epistaksis ditemukan lebih banyak pada populasi laki-laki dan lebih sering terjadi saat musim dingin.[1,2]
Global
Epistaksis merupakan kegawatan di bidang THT yang paling sering ditemukan, yang menjadi penyebab 1 di antara 200 kunjungan ke unit gawat darurat.[1] Sebanyak 60% populasi umum di dunia diperkirakan pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian epistaksis dalam hidupnya. Namun, epistaksis umumnya dapat berhenti secara spontan. Hanya sekitar 10% orang dengan epistaksis yang mencari pengobatan medis, dan sekitar 5% pasien memerlukan rawat inap.[3,4]
Indonesia
Data mengenai prevalensi epistaksis di Indonesia masih sangat terbatas. Pada sebuah penelitian observasional di poliklinik THT-KL Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. Dr. R.D. Kandou Manado didapatkan kasus epistaksis sebanyak 1.048 kasus selama periode Januari 2010–Desember 2012. Prevalensi epistaksis sama pada laki-laki dan perempuan.
Sebanyak 36,35% pasien epistaksis yang datang ke poliklinik merupakan kelompok usia 25–44 tahun, dengan mayoritas penyebab epistaksis adalah faktor sistemik (58,49%), seperti hipertensi, leukemia, sirosis hepatis.[7]
Mortalitas
Walaupun insidensi epistaksis cukup tinggi, kondisi ini sangat jarang menyebabkan kematian. Epistaksis hanya menyebabkan 4 dari total 2.400.000 juta kematian di Amerika.[4] Sebuah studi di Inggris mendapatkan bahwa luaran all-cause-mortality pasien dengan epistaksis dalam 30 hari pertama perawatan mencapai 3,4%.
Namun, hasil investigasi menunjukkan bahwa epistaksis bukanlah penyebab kematian secara langsung dan tidak ada satupun pasien epistaksis yang meninggal akibat syok hipovolemik atau syok hemoragik. Kematian yang berkaitan dengan epistaksis disebabkan oleh kondisi sistemik dan komorbid yang menyertainya. Pada pasien dengan penyakit sistemik, epistaksis merupakan faktor prognostik yang buruk.[8]