Diagnosis Trauma Akustik Akut
Diagnosis trauma akustik akut dapat ditegakkan secara klinis dengan temuan berupa penurunan pendengaran setelah trauma akustik, yang ditunjang dengan hasil pemeriksaan penunjang seperti audiometri nada murni.[4]
Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditanyakan mengenai keluhan serta karakteristik dari keluhan tersebut. Tanyakan juga mekanisme riwayat trauma akustik berupa sumber suara atau ledakan, durasi, intensitas, dan jarak dari sumber suara.
Pasien bisa mengalami keluhan auditorik, seperti tuli, tinnitus, hiperakusis, cocktail party deafness, keluarnya darah atau cairan dari telinga, dan kesulitan lokalisasi suara. Pasien juga bisa mengalami keluhan vestibular seperti gangguan keseimbangan, pusing, dan vertigo.
Penurunan pendengaran akibat trauma akustik akut biasanya bersifat simetris atau bilateral. Meskipun demikian, terdapat laporan-laporan kasus di mana keluhan bersifat asimetris. Apabila terdapat asimetri keluhan, mekanisme trauma akustik perlu ditanyakan dengan lebih spesifik. Asimetri dapat disebabkan oleh jarak antara sumber suara yang lebih dekat ke salah satu sisi telinga, atau apabila hanya satu telinga yang menggunakan hearing protection device (HPD).
Gangguan vestibular seperti pusing dan gangguan keseimbangan lebih jarang ditemukan pada pasien trauma akustik. Namun, beberapa kasus dengan trauma akustik yang lebih berat dapat menunjukkan keluhan ini.
Durasi gejala setelah awitan juga sangat penting untuk ditanyakan. Hal ini untuk mengevaluasi apakah kerusakan bersifat transient threshold shift (TTS) atau permanent threshold shift (PTS). Sebagian besar kasus TTS akan membaik dalam 24-48 jam setelah trauma. Apabila ditemukan penurunan pendengaran lebih dari 8 minggu setelah trauma, dapat dianggap sebagai PTS.[2]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik utama adalah pemeriksaan fisik telinga secara menyeluruh. Fungsi pendengaran dapat diperiksa menggunakan pemeriksaan garpu tala sederhana seperti tes Rinne dan Weber untuk menentukan jenis penurunan pendengaran.
Apabila ditemukan debris pada kanalis akustikus eksternus atau pada telinga tengah (terlihat melalui perforasi membran timpani), sebaiknya dibersihkan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Pada cedera diakibatkan oleh ledakan, dapat ditemukan perforasi membran timpani, otorea yang disertai darah, hemotimpani, atau fraktur os temporal. Selain itu, pemeriksaan kepala lebih lengkap juga diperlukan untuk mencari cedera lain pada kepala yang dapat menyertai trauma akustik dan cedera ledakan.
Pemeriksaan vestibular dilakukan pada pasien dengan keluhan vestibular. Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah Dix-Hallpike.[3]
Diagnosis Banding
Pada penurunan pendengaran asimetri post trauma akustik, perlu dipikirkan kemungkinan lesi retrokoklea, seperti schwannoma vestibular. Anamnesis mendalam untuk menggali penyebab asimetri sangat diperlukan. Pemeriksaan lebih lanjut dengan MRI dapat menyingkirkan adanya lesi retrokoklea.[2]
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis trauma akustik akut, yaitu audiometri nada murni dan speech recognition test (SRT).
Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni sebaiknya selalu dilakukan pada pasien dengan penurunan pendengaran dan tinitus post trauma. Apabila tidak memungkinkan, pemeriksaan ini dapat dilakukan selektif pada pasien trauma akustik akut dengan penurunan pendengaran lebih dari 72 jam.[3]
Apabila murni trauma suara, dapat terlihat penurunan pendengaran bersifat sensorineural. Bila disertai cedera ledakan, dapat ditemukan komponen konduktif.
Penurunan pendengaran akibat trauma akustik akut yang bersifat sensorineural terlihat pada frekuensi tinggi yaitu 3000-6000 Hz, terutama pada 4000 Hz. Penurunan pendengaran juga dapat ditemukan pada frekuensi lebih rendah apabila trauma akustik cukup berat.[2,3]
Penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi biasanya tidak lebih besar dari 75 dB, dan 40dB pada frekuensi lebih rendah. Pada mayoritas kasus trauma akustik akut, perbedaan antara telinga kanan dan kiri sangat kecil, yaitu <5dB. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan terdapat penurunan pendengaran asimetris di mana perbedaan pada kedua telinga >15dB.[2]
Speech Recognition Test
Trauma akustik akut dapat mengganggu pengenalan tutur bicara, baik pada lokasi hening atau bising. Pemeriksaan ini penting dan dapat menunjukkan adanya gangguan, meskipun audiometri nada murni tampak normal.
SRT sebaiknya dilakukan pada dua situasi, yaitu hening dan bising. Pemeriksaan ini menilai bagaimana pasien menangkap dan mengulang kata.[2]
Auditory Brainstem Response
Auditory brainstem response (ABR) merupakan pemeriksaan elektrofisiologi yang digunakan untuk mendeteksi sinaptopati. Penurunan ambang batas gelombang 1 ABR ditemukan pada hewan percobaan dengan sinaptopati. Meskipun demikian, penggunaannya pada manusia masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.[2]