Penatalaksanaan Inkontinensia Urine
Penatalaksanaan inkontinensia urine sangat tergantung pada jenis dan penyebab inkontinensia yang dialami. Penatalaksanaan etiologi merupakan hal yang pertama kali dilakukan karena pada beberapa kasus, inkontinensia urine dapat membaik ketika etiologi pendasarnya telah teratasi.
Apabila inkontinensia urine tetap terjadi setelah etiologi diatasi, pilihan terapi mencakup modalitas nonfarmakologi, farmakologi, dan pembedahan sesuai jenis inkontinensia urine. Tata laksana yang dapat dilakukan berdasarkan jenis inkontinensia antara lain:
- Inkontinensia stres: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau pembedahan
- Inkontinensia urgensi: modifikasi diet dan gaya hidup, menurunkan berat badan, terapi perilaku, farmakoterapi, atau pembedahan
- Inkontinensia luapan: kateterisasi intermiten, tata laksana sesuai etiologi, latihan otot pelvis
- Inkontinensia campuran: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau pembedahan, bladder training
- Inkontinensia fungsional: tata laksana faktor etiologi yang mendasari
Perlu diingat bahwa tujuan utama tata laksana inkontinensia urine adalah mengurangi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Merujuk pasien inkontinensia urine ke dokter spesialis urologi atau bidang lain yang diperlukan juga merupakan komponen penting dalam tata laksana.[4,5,7,14,22,23]
Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi seperti latihan otot kandung kemih, modifikasi gaya hidup, dan modifikasi diet merupakan tata laksana yang direkomendasikan. Selain itu, penggunaan produk-produk kebersihan, seperti popok dewasa ataupun absorben lain juga dapat membantu pasien inkontinensia dalam perawatan.[4,5,7,14,22,23]
Modifikasi Gaya Hidup
Mengurangi berat badan dapat bermanfaat pada pasien inkontinensia urine. Indeks massa tubuh >30 kg/m2 merupakan faktor risiko inkontinensia stres dan urgensi. Pasien inkontinensia juga sebaiknya berhenti merokok. Merokok >20 batang per hari dapat memperburuk gejala inkontinensia urine.[5,23]
Modifikasi Diet
Peran pengurangan konsumsi kafein (seperti kopi, teh, cokelat, dan soda) dalam tata laksana inkontinensia urine masih inkonklusif. Namun, beberapa ahli merekomendasi pasien untuk mengurangi kafein untuk memperbaiki gejala urgensi dan frekuensi.
Konsumsi diet tinggi serat dapat memperbaiki gejala konstipasi. Konstipasi juga bisa menjadi penyebab inkontinensia urine. Intervensi lain untuk mengatasi konstipasi juga dapat disarankan pada pasien inkontinensia urine.[5,23]
Latihan Otot Pelvis
Latihan otot pelvis dengan senam kegel dapat melatih kekuatan otot detrusor, sehingga dapat memperbaiki fungsi kontrol miksi dan mengurangi mobilitas uretra, khususnya pada pasien kandung kemih overaktif.[4,5,7,23]
Latihan Kandung Kemih atau Bladder Training
Pasien dilatih untuk ke toilet pada waktu yang telah ditentukan, misalnya setiap 1 atau 2 jam. Hal ini tetap dilakukan meskipun pasien belum merasakan ingin berkemih. Pasien juga harus tetap menunggu hingga jadwal yang ditentukan meskipun telah merasakan ingin berkemih lebih cepat. Jadwal ke toilet kemudian dapat dijarangkan menjadi setiap 3 atau 4 jam jika klinis sudah mulai membaik.[4,5,7,23]
Stimulasi Saraf
Terapi stimulasi saraf juga dapat dilakukan pada inkontinensia urine, tetapi harus dikombinasikan dengan terapi lainnya. Terapi ini dilaporkan efektif untuk inkontinensia campuran dan inkontinensia stres. Kekurangannya adalah akses yang masih terbatas di Indonesia, durasi terapi yang panjang, dan biaya medis tinggi.
Stimulasi saraf dilakukan dengan menarget saraf aferen yang mengatur otot pelvis dan detrusor. Stimulasi saraf kebanyakan dilakukan pada saraf tibialis posterior dengan stimulasi elektrik (Posterior Tibial Nerve Stimulation atau PTNS) atau secara transkutan (T-PTNS). Stimulasi PTNS akan memberikan rangsang elektrik pada pusat miksi sakral melalui pleksus S2–S4, dilakukan dengan jarum 34-G. Rata-rata terapi PTNS harus dilakukan selama 24 bulan agar efek terapi lebih maksimal.[4,5,7,23]
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah obat antikolinergik, antidepresan, dan agonis reseptor beta 3. Selain memberikan obat-obatan untuk inkontinensia urine, riwayat konsumsi obat pasien juga harus diperhatikan, terutama bila terdapat obat yang dapat memperburuk gejala inkontinensia.[4,5,7,14,22,23]
Antikolinergik
Obat-obatan antikolinergik adalah terapi farmakologi pilihan pada inkontinensia urine. Antikolinergik dapat mengurangi kontraksi otot detrusor yang dimediasi asetilkolin, khususnya pada inkontinensia urgensi.
Beberapa obat yang sering digunakan untuk terapi inkontinensia adalah fesoterodine, oksibutinin, propiverine, solifenacin, tolterodine, darifenacin, dan trospium. Namun, pemberian obat-obat ini harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien geriatri karena sering menimbulkan efek samping dan mengganggu fungsi kognitif.[4,5,7,14,22,23]
Tabel 1. Obat Antikolinergik pada Inkontinensia
Obat | Dosis | Efek samping |
Fesoterodin | 4–8 mg per hari | Hepatotoksik, nefrotoksik |
Oksibutinin | 2,5–5 mg per hari peroral 2 x 3,9 mg per minggu (patch) | Konstipasi, mulut kering, retensi urine akut, sedasi, delirium |
Tolterodin | 2–4 mg per hari | Penurunan fungsi ginjal |
Darifenacin | 7,5–15 mg per hari peroral | Hepatotoksik |
Solifenacin | 5 mg per hari peroral | Hepatotoksik, nefrotoksik |
Antidepresan
Kombinasi obat antikolinergik dengan antidepresan serotonin-norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI) dilaporkan memberikan efek terapi yang baik. Akan tetapi, SNRI tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal pada inkontinensia. Duloksetin efektif dalam memperbaiki gejala inkontinensia stres dan urgensi inkontinensia campuran.[4,5,7,23]
Agonis Beta 3
Reseptor beta 3 ditemukan pada sel otot halus detrusor. Mirabegron dapat berfungsi sebagai relaksan otot detrusor, sehingga dapat memperbaiki inkontinensia urgensi. Obat ini masih tergolong baru, sehingga penggunaannya masih terus dipelajari. Beberapa studi menunjukkan bahwa kepatuhan obat terhadap mirabegron cukup rendah karena efek samping mulut kering yang ditimbulkan cukup berat.[4,5,7,23]
Terapi Hormonal
Estrogen berperan dalam inkontinensia urine, khususnya pada wanita post-menopause. Studi menunjukkan bahwa terapi hormonal dengan estrogen atau kombinasi estrogen dan progesteron dapat memperburuk inkontinensia, sehingga tidak direkomendasikan. Namun, ada studi yang menunjukkan bahwa estrogen topikal dapat memperbaiki inkontinensia urgensi dan inkontinensia stres akibat atrofi vagina dan atrofi jaringan penyokong uretra pada wanita post-menopause.
Pemberian hormon antidiuretik desmopressin dapat memperbaiki nokturia pada pasien inkontinensia urine, tetapi tidak direkomendasikan untuk jangka panjang. Hal ini karena desmopressin dilaporkan sering menimbulkan efek-efek samping seperti hiponatremia, terutama pada pasien geriatri.[4,5,7,23]
Pembedahan
Pembedahan pada inkontinensia urine dilakukan apabila terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi gagal memberikan perbaikan, atau bila penyebab inkontinensia urine memerlukan tindakan bedah. Beberapa metode operasi yang dapat dilakukan adalah:
- Augmentasi kandung kemih: untuk mengurangi kontraksi otot detrusor
- Miomektomi detrusor: memotong otot detrusor, sehingga mengurangi kontraksi detrusor
- Kolposuspensi: dapat dilakukan secara terbuka ataupun laparoskopi, merupakan modalitas pembedahan inkontinensia urine yang paling efektif dengan rata-rata perbaikan 75–90%
- Pemasangan sling pubovaginal: mengurangi mobilitas uretra
Pembedahan yang direkomendasi pada tiap pasien dapat berbeda-beda, tergantung pada mekanisme penyebab inkontinensia urine.[4,5,7,23]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur