Patofisiologi Oligospermia
Patofisiologi oligospermia berhubungan dengan kegagalan testis memproduksi sel sperma. Kegagalan testis atau testicular failure disebut juga sebagai hipogonadisme. Hipogonadisme terbagi menjadi dua, yaitu hipogonadisme primer atau primary testicular failure, dan hipogonadisme sekunder.
Primary Testicular Failure
Primary testicular failure (PTF) atau hipogonadisme hipergonadotropik adalah keadaan di mana testis gagal memproduksi sel sperma, walaupun kadar hormon adekuat. Berdasarkan histopatologinya, PTF dibagi menjadi empat, yaitu sertoli cell–only syndrome (SCOS), maturation arrest (MA), hipospermatogenesis (HS), dan tubular fibrosis (TF). Pada beberapa kasus, dapat ditemukan perbedaan jenis histopatologi antara kedua testis.[4,5]
Sertoli Cell–Only Syndrome (SCOS) atau Germ Cell Aplasia
Sertoli cell–only syndrome (SCOS) merupakan keadaan tubulus seminiferus yang hanya mengandung sel Sertoli. Pada gambaran histopatologi, tubulus seminiferus mengalami penurunan ukuran diameter dan ketiadaan sel–sel yang berperan dalam spermatogenesis.[4,5]
Maturation Arrest (MA)
Maturation arrest (MA) merupakan keadaan di mana testis gagal memproduksi sel sperma akibat gangguan perkembangan dan diferensiasi sel germinal meskipun jumlah sel germinal cukup.
MA diklasifikasikan menjadi early MA dan late MA. Pada early MA, sel germinal tidak berkembang melewati tahap spermatosit sekunder dan terhambat pada tahap spermatosit primer. Sedangkan pada late MA, sel germinal tidak mengalami perkembangan melewati tahap spermatid.[4,5]
Hipospermatogenesis
Pada hipospermatogenesis, seluruh tahapan spermatogenesis, seperti spermatogenium, spermatosit, spermatid, dan sperma matur ada pada beberapa bagian tubulus seminiferus, tetapi dengan jumlah sedikit. Jumlah dan fungsi sel Leydig dan sel Sertoli dalam batas normal.[4,5]
Tubular Fibrosis (TF)
Fibrosis tubulus seminiferus merupakan keadaan dimana terjadi penebalan membran peritubular dan deposisi kolagen pada membran basal dengan ketiadaan sel germinal intratubular dan sel Sertoli. Sel Leydig biasanya berkurang atau tidak ada.[4]
Hipogonadisme Sekunder
Hipogonadisme sekunder atau hipogonadisme hipogonadotropik merupakan penurunan fungsi testis dalam memproduksi sel sperma yang disebabkan oleh kelainan hormonal akibat gangguan hipotalamus atau hipofisis. Hipogonadisme hipogonadotropik bisa timbul, karena kelainan didapat (acquired) atau kongenital.
Fungsi testis, yaitu produksi testosteron dan spermatogenesis, diatur oleh hypothalamic-pituitary-gonadal (HPG) axis. Spermatogenesis bergantung pada kadar testosteron intratestis dan stimulasi follicle-stimulating hormone (FSH) pada sel Sertoli.[6,7]
Gangguan pada pulsasi pelepasan gonadotropin releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus akibat faktor acquired maupun kongenital menyebabkan gangguan rangsangan terhadap kelenjar hipofisis untuk sekresi hormon gonadotropin, yaitu luteinizing hormone (LH) dan FSH.
Gangguan sekresi LH menyebabkan terhambatnya pelepasan testosteron yang dibutuhkan bersama FSH oleh sel Sertoli untuk inisiasi spermatogenesis, sehingga frekuensi terjadinya proses spermatogenesis berkurang atau tidak terjadi sama sekali.[6,7]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli