Diagnosis Gagal Jantung
Diagnosis gagal jantung perlu dicurigai pada pasien yang mengalami sesak saat berbaring dan beraktivitas, edema, pergeseran iktus kordis, dan abnormalitas suara jantung pada auskultasi. Temuan kardiomegali pada rontgen toraks dan perubahan kontraktilitas otot jantung pada echocardiography dapat menunjang diagnosis.[1-3]
Anamnesis
Dalam anamnesis perlu digali mengenai onset gejala, riwayat gaya hidup, serta penyakit sebelumnya yang mungkin menjadi faktor risiko dan etiologi gagal jantung. Beberapa penyakit yang berkaitan dengan gagal jantung adalah hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, dislipidemia, dan infark miokard. Penelusuran riwayat penyakit keluarga sebaiknya minimal melintasi 3 generasi sebelumnya dan sebaiknya dibuatkan diagram pohon keluarga (genetic family tree pedigree).[1,2]
Sesak
Sesak yang bertambah berat merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien dengan gagal jantung. Gejala ini disebabkan oleh peningkatan tekanan pengisian ventrikel maupun penurunan curah jantung. Namun, gejala ini dapat disamarkan akibat perubahan gaya hidup pasien, misalnya dengan membatasi aktivitas yang memerlukan kebutuhan energi lebih tinggi. Untuk mengungkap hal ini, anamnesis perlu diarahkan agar pasien menceritakan kapasitas latihan fisik pasien dari waktu ke waktu agar dokter mendapat gambaran penurunan kapasitas fisik yang tersamarkan tersebut.
Sesak saat istirahat atau berbaring lebih sering dikeluhkan oleh kelompok pasien gagal jantung yang sedang dalam perawatan di rumah sakit. Pasien biasanya menggambarkan perlunya berbaring dengan kepala sedikit lebih tinggi dari badan guna mengurangi sesak (ortopnea) maupun adanya sesak yang muncul ketika berbaring ke sisi kiri (trepopnea).
Sesak saat berbaring yang kemudian membuat pasien terbangun dan terjadi 1-2 jam setelah pasien tidur (paroxysmal nocturnal dyspnea) juga merupakan indikator penting gagal jantung. Seluruh varian gejala sesak tersebut adalah manifestasi kongesti paru akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang berlanjut sebagai hipertensi vena pulmonalis.[1-3]
Mudah Lelah
Semakin berat derajat gagal jantung, semakin sedikit aktivitas yang dapat dilakukan pasien. Pada kondisi lanjut, bahkan berpakaian pun dapat memicu sesak dan kelelahan. Pasien dapat mudah lelah, mudah mengantuk, dan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih dan siap beraktivitas kembali setelah berolahraga atau aktivitas berat. Toleransi olahraga dan aktivitas pasien sangat berkurang.[1-3]
Anamnesis Lainnya
Sementara itu, riwayat penambahan berat badan, lingkar perut, cepat kenyang, dan pembengkakan ekstremitas dan skrotum menggambarkan adanya kongesti jantung kanan. Kongesti jantung kanan juga dapat menimbulkan gejala berupa nyeri perut kanan atas yang tidak spesifik akibat kongesti hati.[1-3]
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik akan mengonfirmasi data yang didapatkan dari anamnesis pasien sekaligus membantu dalam menentukan derajat keparahan gagal jantung. Evaluasi tanda fisik yang penting dalam mengungkap keparahan gagal jantung mencakup keadaan umum, pemeriksaan tanda vital pada posisi duduk dan berdiri, pemeriksaan fisik jantung dan pembuluh darah, pemeriksaan organ lain yang terkait dengan kongesti dan hipoperfusi serta komorbiditas lainnya.[1-3]
Keadaan Umum
Keadaan umum pasien yang perlu dinilai antara lain tingkat kesadaran, perawakan tubuh, serta ekspresi pasien yang mungkin menunjukkan kesulitan saat bernapas, menahan nyeri, dan batuk.[1-3]
Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan kulit dapat mengungkap adanya pucat atau sianosis akibat hipoperfusi. Pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan alkohol kronik bisa tampak eritema palmar atau spider angiomata. Kulit juga bisa menunjukkan eritema nodosum akibat sarkoidosis, ataupun kulit yang menjadi gelap seperti perunggu pada hemokromatosis.[1-3]
Tekanan Darah
Pasien dengan perfusi sistemik yang buruk biasanya memiliki tekanan darah sistolik yang rendah, tekanan nadi yang menyempit, dan pulsasi yang lemah. Namun, banyak pula ditemukan pasien gagal jantung dengan tekanan sistolik di bawah 90 mmHg dan perfusi adekuat. Sementara itu, sebagian pasien lainnya memiliki curah jantung rendah tapi dapat menunjukkan tekanan darah dalam rentang normal.[1-3]
Pola Pernapasan
Pada gagal jantung tahap lanjut, pola pernapasan Cheyne-Stokes dapat diamati pada pasien dan sangat berkaitan dengan curah jantung yang rendah serta gangguan bernapas saat tidur. Pernapasan Cheyne-Stokes merupakan salah satu prediktor prognosis yang buruk pada pasien dengan gagal jantung.
Selain itu, pemeriksaan fisik paru juga dapat menunjukkan adanya pekak saat perkusi paru serta penurunan bunyi napas pada salah satu atau kedua bagian basal paru yang mengindikasikan suatu efusi pleura. Kebocoran cairan dari kapiler pulmoner ke dalam alveoli dapat menimbulkan ronki basah halus, sedangkan bronkokonstriksi reaktif bermanifestasi sebagai mengi. Namun, ronki basah halus mungkin tidak ditemukan pada gagal jantung berat akibat adanya peningkatan drainase limfatik lokal.[1-3]
Bunyi Jantung
Adanya bunyi jantung ketiga (S3 gallop) merupakan temuan yang penting sebab hal tersebut berkaitan dengan peningkatan volume pengisian ventrikel. Pasien gagal jantung dengan distensi vena jugularis dan S3 gallop berisiko lebih tinggi untuk memerlukan perawatan di rumah sakit serta kematian akibat gagal jantung.[1-6]
Status Volume Cairan dan Perfusi
Aspek pemeriksaan fisik lainnya yang juga penting dilakukan setiap melakukan evaluasi pasien dengan gagal jantung adalah pemeriksaan status volume cairan dan perfusi. Metode yang tepat untuk menilai status volume adalah dengan melakukan pemeriksaan tekanan vena jugularis (jugular venous pressure/JVP). Perubahan JVP pada pasien yang mendapat terapi gagal jantung biasanya juga berkaitan dengan perubahan pada tekanan pengisian ventrikel kiri. Oleh sebab itu, JVP tak hanya baik untuk mendeteksi status volume tapi juga untuk memantau respons pengobatan.[1-3]
Edema
Edema dapat ditemukan pada pemeriksaan ekstremitas bawah pasien dengan gagal jantung yang disertai kelebihan volume cairan tubuh. Namun, edema ekstremitas bawah lebih menggambarkan volume ekstravaskuler dibandingkan intravaskuler serta dapat ditemukan pada kondisi lain seperti insufisiensi vena, obesitas, limfedema, sindrom nefrotik, dan sirosis. Adanya kombinasi distensi vena jugularis dan edema pedis meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal jantung dibandingkan diagnosis banding lainnya.[1-3]
Tabel 1. Rangkuman Gejala dan Tanda Klinis Gagal jantung
Gejala | Tanda |
Tipikal | Lebih Spesifik |
Sulit bernapas | Peningkatan tekanan vena jugular |
Orthopnoea | Hepatojugular reflux |
Paroxysmal nocturnal dyspnoea | Suara jantung S3 (ritme gallop) |
Penurunan toleransi olahraga | Impuls apikal yang berpindah ke arah lateral. |
Kelelahan, lebih banyak butuh waktu untuk memulihkan dan melegakan diri setelah berolahraga | |
Kurang Tipikal | Kurang Spesifik |
Batuk nocturnal
| Peningkatan berat badan >2kg/minggu |
Wheezing | Penurunan berat badan (pada gagal jantung tahap lanjut) |
Rasa sembab atau bengkak | Cachexia (tissue wasting) |
Hilang nafsu makan | Murmur jantung |
Kebingungan dan disorientasi (terutama pada penderita lanjut usia) | Edema perifer (pada kaki, sakrum, skrotum) |
Palpitasi | Krepitasi paru |
Pusing | Efusi pleura |
Sinkop | Takikardia |
Sesak ketika bersandar ke depan | Denyut nadi ireguler |
Takipnea | |
Pola respirasi Cheyne-Stokes | |
Hepatomegali | |
Ascites | |
Ekstremitas dingin | |
Oliguria | |
Pulse pressure menyempit |
Sumber: dr. Eveline Yuniarti Rachmat, Alomedika, 2022.[2]
Diagnosis Banding
Kebanyakan pasien gagal jantung datang akibat sesak napas. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan adalah asthma, penyakit paru obstruktif kronis/ PPOK, dan pneumonia.
Asthma
Asthma dapat menunjukkan gejala mengi dan sesak yang juga dialami pasien gagal jantung. Untuk membedakan keduanya, perlu dilakukan evaluasi faktor risiko serta karakteristik serangan sesak. Keluhan sesak napas pada asthma umumnya berkaitan dengan paparan pencetus tertentu. Pemeriksaan penunjang, seperti rontgen toraks, spirometri, dan EKG dapat mengonfirmasi diagnosis.[21]
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Pasien PPOK bisa mengalami barrel chest yang tidak dialami gagal jantung. Pasien juga akan memiliki riwayat merokok atau terpapar polutan dalam jangka waktu berkepanjangan. Pemeriksaan penunjang, seperti rontgen toraks, spirometri, dan EKG dapat mengonfirmasi diagnosis.[22]
Pneumonia
Pneumonia dibedakan dari gagal jantung dengan hasil laboratorium yang mengindikasikan adanya infeksi. Hasil rontgen toraks yang menampilkan peningkatan corak bronkovaskular maupun infiltrat, tanpa perubahan pada ukuran jantung.[23]
Pemeriksaan Penunjang
Rontgen toraks merupakan pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Selain itu, dapat dilakukan EKG dan echocardiography.
Rontgen Toraks
Rontgen toraks menjadi penunjang diagnostik awal untuk gejala sesak. Pada rontgen toraks pasien gagal jantung, dapat ditemukan kardiomegali, tanda kongesti vena paru (batwing appearance), garis Kerley bila terjadi edema paru, dan efusi pleura.[1-3]
Echocardiography
Echocardiography dilakukan untuk menilai struktur dan fungsi jantung, ukuran ruang jantung, serta mengidentifikasi abnormalitas miokardium, katup jantung, dan perikardium. Dari pemeriksaan ini dapat ditemukan dilatasi ventrikel atau atrium, pembesaran ruang jantung, penurunan kontraktilitas otot jantung dan fraksi ejeksi.[1-3]
Elektrokardiografi (EKG)
Gagal jantung dapat dideteksi dengan menggunakan EKG 12 sadapan. Pada EKG, dapat ditemukan tanda hipertrofi atrium atau hipertrofi ventrikel. Bentuk Q patologis, pelebaran kompleks QRS, dan gangguan irama seperti atrial fibrilasi juga dapat ditemukan.[1–3]
Prosedur Pencitraan Alternatif
Cardiac magnetic resonance (CMR), cardiac computed tomography (CT jantung), dan pencitraan radionuklida direkomendasikan ketika hasil echocardiography kurang adekuat.
Gagal jantung banyak dipicu penyakit jantung koroner. Kecurigaan penyakit jantung koroner dapat diperiksa dengan non-invasive stress imaging menggunakan echocardiography atau nuclear scintigraphy, PET Scan, atau CT coronary angiography.
USG toraks dapat menjadi alternatif untuk mendeteksi efusi pleura dan perikardium pada daerah dengan fasilitas terbatas, namun tidak memungkinkan untuk menilai abnormalitas katup.[1-3,11]
Cardiac Magnetic Resonance Imaging (CMR)
Cardiac Magnetic Resonance Imaging (CMR) dapat membantu diagnosis kardiomiopati karena dapat menampilkan resolusi anatomis yang tinggi untuk seluruh aspek jantung dan struktur sekitarnya. CMR juga menampilkan ukuran volume, massa jantung, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kanan.
Keuntungan CMR adalah minim paparan radiasi pemicu ionisasi. CMR perlu dipertimbangkan untuk pemeriksaan jaringan miokardial untuk kecurigaan penyakit jantung infiltratif, penyakit Fabry, miokarditis, amyloid, sarcoidosis, dan hemokromatosis. Tambahan kontras gadolinium perlu dipertimbangkan pada kasus kardiomiopati dilatasi untuk membedakan kerusakan miokardium iskemik dengan non-iskemik.[1-3]
Natriuretic Peptide
Gagal jantung dapat didiagnosis jika:
- Kadar NT-ProBNP (N-terminal pro-B-type natriuretic peptide) 125 pg/ml atau lebih
- Kadar BNP (B-type natriuretic peptide) 35 pg/ml atau lebih
- MR-proANP (mid-regional pro-atrial natriuretic peptide) 40 pmol/liter atau lebih
Jika kadarnya kurang dari yang disebutkan di atas, kemungkinan kondisi pasien bukan disebabkan oleh gagal jantung.[1-3]
Biopsi Endomiokardial
Biopsi endomiokard dapat bermanfaat apabila suatu diagnosis spesifik perlu ditegakkan segera guna memulai terapi atau pasien mengalami perburukan klinis secara cepat walau telah mendapat terapi farmakologi optimal. Amiloidosis jantung primer merupakan salah satu kondisi yang memerlukan peran biopsi endomiokard sebelum kemoterapi dapat dimulai. Selain itu, pada pasien dengan kardiomiopati idiopatik dan miokarditis akut tanpa penyebab yang jelas, biopsi endomiokard dapat membantu mengarahkan diagnosis. Mengingat peran dan hasil diagnostik dari biopsi endomiokard sangat terbatas, pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan pada pasien dengan gagal jantung.[1,2]
Pemantauan Hemodinamik Invasif
Pemantauan hemodinamik invasif) dapat digunakan untuk menuntun terapi bagi pasien gagal jantung dengan gejala, tanda, parameter diagnostik yang persisten atau memburuk meski sudah diberi terapi awal. Pemeriksaan ini juga dipertimbangkan untuk pasien yang status hemodinamiknya tidak bisa dipastikan.[1,2]
Angiografi Koroner dan Kateterisasi Jantung
Pedoman klinis merekomendasikan kateterisasi jantung kanan bagi pasien gagal jantung berat yang dievaluasi untuk terapi transplantasi jantung atau alat bantu kardiopulmoner mekanik. Prosedur ini perlu dipertimbangkan bagi pasien yang dicurigai memiliki perikarditis restriktif, kardiomiopati restriktif, dan penyakit jantung bawaan.
Angiografi koroner dan kateterisasi ventrikel kiri disarankan bagi pasien gagal jantung dengan nyeri dada yang menetap terhadap terapi farmakologi apabila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap revaskularisasi koroner. Angiografi koroner juga dapat dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat aritmia ventrikuler simptomatik atau pernah mengalami henti jantung. Jika pasien memiliki pre-test probability penyakit jantung koroner yang tinggi dan terdapat bukti iskemia pada pemeriksaan non invasif, angiografi koroner dapat membantu menegakkan etiologi iskemia dan derajat keparahan penyakit jantung koroner.[1,2]
Pemeriksaan Kapasitas Fungsional dan Olahraga
Pemeriksaan kapasitas fungsional dan olahraga dapat dilakukan dengan CPET (Cardiopulmonary Exercise Testing) atau uji berjalan 6 menit (6-minute walk test). Pada pasien ambulatori dengan keluhan sesak yang tak dapat dijelaskan alasannya, CPET bisa digunakan untuk mengevaluasi penyebab sesak. Pemeriksaan CPET dapat digunakan untuk mengukur konsumsi oksigen puncak saat berolahraga (VO2). VO2 ≤14 ml/kg/menit menjadi indikasi transplantasi jantung. Pada pasien yang menggunakan obat beta-blocker, VO2 ≤12 ml/kg/menit menjadi indikasi transplantasi jantung.
Uji berjalan 6 menit dapat dikerjakan pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Pengujian ini dikerjakan dengan meminta pasien berjalan selama 6 menit di atas suatu jalur rata terukur, dan pasien diizinkan untuk memperlambat atau menghentikan gerak mereka ketika diperlukan. Uji berjalan 6 menit juga cukup memberi gambaran terkait VO2 dan MET (metabolic equivalent). Seberapa jauh kemampuan pasien berjalan menjadi penanda prognosis pasien. Batas kurang dari 300 m berkorelasi dengan gejala lebih berat dan kesintasan yang buruk.[12]
Klasifikasi Tahap Gagal Jantung
Tahap-tahap gagal jantung terbagi empat, dari temuan awal hingga gangguan jantung berat. Klasifikasi tahap gagal jantung penderita dapat ditegakkan berdasarkan pedoman American Heart Association (AHA), American College of Cardiology (ACC), serta Heart Failure Society of America (HFSA), maupun klasifikasi fungsional oleh New York Heart Association (NYHA).[1,2]
Klasifikasi American Heart Association (AHA), American College of Cardiology (ACC), serta Heart Failure Society of America (HFSA)
Pedoman diagnosis dan tata laksana gagal jantung 2022 dari AHA, ACC dan HFSA membagi tahap sindroma klinis gagal jantung menjadi 4 tahap.
Tahap A:
Berisiko mengalami gagal jantung tetapi tanpa gejala, penyakit jantung struktural, atau biomarker kardiak untuk peregangan (stretch) atau cedera. Contoh kelompok pasien adalah individu dengan hipertensi, aterosklerosis, diabetes, sindrom metabolik, dan obesitas.[1,2,7]
Tahap B:
Tidak ada gejala atau tanda gagal jantung tetapi ada bukti penyakit jantung struktural, peningkatan tekanan pengisian, atau faktor risiko disertai peningkatan kadar biomarker jantung persisten. Penyakit jantung struktural yang dimaksud dapat berupa:
- Berkurangnya fungsi sistolik ventrikel kiri atau kanan: Berkurangnya fraksi ejeksi, berkurangnya strain
- Hipertrofi ventrikel
- Pembesaran ruang jantung
- Abnormalitas gerak dinding jantung
- Penyakit jantung katup.
Bukti peningkatan tekanan pengisian yang dimaksud adalah:
- Dari pengukuran hemodinamik invasif
- Dari pencitraan non-invasif yang mengarah kepada peningkatan tekanan pengisian, misalnya Doppler echocardiography[1,2]
Tahap C:
Penyakit jantung struktural dengan gejala-gejala gagal jantung yang sedang diderita atau sebelumnya pernah diderita. Tahap ini kemudian kembali dibagi menjadi empat tahap.
Gagal jantung onset baru ditandai oleh:
- Gagal jantung yang baru terdiagnosis
- Tidak ada riwayat gagal jantung sebelumnya
Resolusi gejala ditandai oleh:
- Gagal jantung tahap C dengan riwayat gejala gagal jantung sebelumnya dengan disfungsi ventrikel kiri yang persisten.
- Gagal jantung dalam tahap remisi dengan resolusi penyakit jantung struktural atau fungsional sebelumnya.
Gagal jantung persisten ditandai oleh:
- Gagal jantung dengan gejala atau tanda yang sedang atau masih berlangsung atau keterbatasan kapasitas fungsional.
Gagal jantung dengan perburukan ditandai oleh:
- Perburukan tanda/gejala/kapasitas fungsional.[1,2]
Tahap D:
Gejala-gejala gagal jantung yang signifikan, mengganggu kehidupan sehari-hari hingga harus berulang kali masuk ke rumah sakit meski sudah dilakukan upaya untuk optimasi terapi medis yang diarahkan oleh pedoman.[1]
Klasifikasi New York Heart Association (NYHA)
Klasifikasi ini bersifat fungsional, untuk gagal jantung tahap C dan D dari klasifikasi ACC dan AHA. Klasifikasi NYHA berdasarkan tingkat keparahan gejala dan aktivitas fisik. Klasifikasi ini digunakan untuk memperkirakan mortalitas. Terdiri dari 4 tahap :
- Tahap I: tidak ada keterbatasan pada aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan sesak/kesulitan bernapas, kelelahan, atau palpitasi yang tidak seharusnya.
- Tahap II: ada sedikit keterbatasan pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman saat bersitirahat, namun aktivitas fisik biasa menyebabkan sesak atau kesulitan bernapas, kelelahan, atau palpitasi yang tidak seharusnya.
- Tahap III: Keterbatasan signifikan pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman saat beristirahat, namun aktivitas fisik yang kurang dari aktivitas fisik biasa saja mengakibatkan sesak atau kesulitan bernapas, kelelahan, atau palpitasi yang tidak seharusnya.
- Tahap IV: Pasien tidak sanggup melakukan aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman. Gejala dapat hadir saat beristirahat. Jika pasien melakukan aktivitas fisik apapun, rasa tidak nyaman meningkat.
Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri
Berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF), gagal jantung dapat dibagi menjadi:
- Gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri berkurang (heart failure with reduced ejection fraction/ HFrEF): Bila fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%.
- Gagal jantung dengan perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri (heart failure with improved ejection fraction/ HFimpEF): Riwayat fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% sebelumnya, dan pada pemantauan hasil pengukuran LVEF >40%. Biasanya kondisi ini bersifat sementara dan jarang sekali fraksi ejeksi ventrikel kembali normal dan gangguan fungsional maupun struktural jantung pulih 100%. Kondisi ini dapat kembali menurun menjadi HFrEF ketika penggunaan obat rutin dihentikan.
- Gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri sedikit berkurang (heart failure with mildly reduced ejection fraction/ HFmrEF): Bila fraksi ejeksi ventrikel kiri antara 41% dan 49%. Disertai bukti adanya peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri seperti peningkatan kadar peptida natriuretik
- Fraksi ejeksi ventrikel kiri terjaga tetap (heart failure with preserved ejection fraction/ HFpEF): Bila fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥50%. Disertai bukti adanya peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri.[1-3]
Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan Durasi, Waktu, dan Keparahan Gejala
Menurut durasi, waktu, dan keparahan gejala, gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung akut dan kronis.
Gagal Jantung Kronis
Pasien dikatakan menderita gagal jantung kronis ketika pasien sudah ditegakkan diagnosis gagal jantung atau memiliki onset gejala yang perlahan.
Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai perkembangan tanda dan gejala gagal jantung secara cepat atau perlahan, namun cukup berat hingga pasien memerlukan pertolongan medis segera. Akibatnya pasien masuk rumah sakit di luar rencana kontrol rawat jalan, atau masuk ke unit gawat darurat.
Bentuk ini dapat berasal dari pertama kalinya timbul gejala gagal jantung atau perburukan kondisi gagal jantung kronis yang sudah dialami sebelumnya. Gagal jantung akut dibagi lagi menjadi gagal jantung akut dekompensata dan syok kardiogenik.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita