Patofisiologi Gagal Jantung
Patofisiologi gagal jantung berkaitan dengan abnormalitas struktural atau fungsional jantung yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakardiak atau berkurangnya curah jantung selama istirahat dan aktivitas.[4]
Mekanisme Neurohormonal Progresivitas Gagal Jantung
Mekanisme neurohormonal kompensatorik yang terlibat dalam kejadian gagal jantung mencakup aktivasi sistem saraf simpatik, sistem renin angiotensin (renin angiotensin system/RAS), serta perubahan neurohormonal pada ginjal dan vaskuler perifer.
Aktivasi Sistem Saraf Simpatik
Aktivasi saraf simpatik yang disertai penurunan tonus parasimpatik merupakan mekanisme adaptasi yang muncul pada fase dini gagal jantung. Hal ini dipicu oleh hilangnya input inhibitorik dari refleks baroreseptor arterial dan kardiopulmoner. Pada pasien dengan gagal jantung, input inhibitorik dari baroreseptor dan mekanoreseptor menurun sedangkan input eksitatorik terhadap jaras simpatik meningkat sehingga terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatik dan penumpulan respons parasimpatik. Sebagai akibatnya, variabilitas denyut jantung menurun dan resistensi vaskuler perifer meningkat.
Dampak dari peningkatan tonus simpatik tersebut adalah peningkatan kadar norepinefrin (NE) yang bersirkulasi dalam darah. Pada pasien dengan gagal jantung, kadar NE di sinus koronarius juga melebihi kadar NE di arteri yang mengisyaratkan adanya stimulasi adrenergik di dalam jantung. Namun, seiring peningkatan keparahan gagal jantung, konsentrasi NE di dalam miokard akan menurun yang diduga berkaitan dengan kelelahan adrenergik akibat aktivasi sistem saraf simpatik di jantung yang berkepanjangan.
Di sisi lain, peningkatan aktivitas simpatik dari reseptor adrenergik beta1 memicu peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard sehingga terjadi peningkatan curah jantung. Hal ini juga memicu reseptor adrenergik alfa1 di miokard yang memiliki efek inotropik positif serta vasokonstriksi perifer di arteri.
Di satu sisi, NE dapat meningkatkan kapasitas kontraksi dan relaksasi miokard sehingga mampu menjaga tekanan darah. Namun, apabila kebutuhan energi miokard meningkat di tengah keterbatasan pengiriman oksigen di miokard, risiko iskemia tak dapat dielakkan. Dengan demikian, aktivasi saraf simpatik mungkin berperan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka pendek namun berpotensi merusak miokard dalam jangka panjang.[4-6]
Aktivasi Sistem Renin Angiotensin (Renin Angiotensin System / RAS)
Berbeda dengan sistem saraf simpatik, aktivasi RAS mulai terjadi ketika keparahan gagal jantung semakin memberat. Mekanisme yang diduga mendasari aktivasi RAS antara lain hipoperfusi ginjal, penurunan jumlah sodium yang mencapai makula densa di tubulus distal, serta peningkatan aktivitas saraf simpatik di ginjal. Berbagai faktor tersebut memicu peningkatan jumlah renin yang dilepaskan dari aparatus jukstraglomerular. Angiotensin II yang teraktivasi secara kronik oleh jaras RAS bersifat maladaptif dan dapat menyebabkan fibrosis jantung, ginjal, dan organ lainnya.
Selain itu, angiotensin II juga dapat memperparah aktivasi neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan NE dari ujung saraf simpatik dan merangsang zona glomerulosa korteks adrenal untuk memproduksi aldosteron. Ekspresi aldosteron yang berkepanjangan dapat memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan miokard sehingga menurunkan kepatuhan vaskuler dan meningkatkan kekakuan dinding ventrikel. Sementara itu, aldosteron yang berlebihan juga merangsang terjadinya disfungsi endotel, baroreseptor, inhibisi ambilan NE, yang semakin memperburuk perjalanan gagal jantung.
Seiring dengan bertambahnya keparahan gagal jantung, terjadi peningkatan retensi garam dan air oleh ginjal. Hal ini timbul akibat penurunan volume darah arteri yang efektif. Walaupun terjadi ekspansi volume darah pada kondisi gagal jantung, curah jantung yang menurun yang dideteksi oleh baroreseptor vaskuler memicu serangkaian adaptasi neurohormonal yang mirip dengan respons terhadap perdarahan akut.[4-6]
Perubahan Neurohormonal pada Ginjal dan Vaskuler Perifer
Di sisi lain, interaksi sistem saraf otonom dan mekanisme neurohormonal cenderung melindungi perfusi ke otak dan jantung sedangkan aliran darah ke kulit, otot rangka, dan organ visera menurun. Hal ini berkontribusi terhadap hipoperfusi ginjal dan saluran cerna yang diperantarai oleh berbagai vasokonstriktor seperti NE, endotelin, urotensin II, tromboksan A2, dan arginin vasopresin (AVP).
Rangsangan simpatik terhadap arteri perifer serta peningkatan kadar vasokonstriktor di dalam sirkulasi menyebabkan vasokonstriksi arteriol sedangkan efek keduanya terhadap vena menimbulkan peningkatan tonus vena untuk menjaga aliran balik vena dan pengisian ventrikel.
Peningkatan neurohormon yang merangsang vasokonstriksi arteriol tersebut mengaktifkan mekanisme vasodilatorik, antara lain pelepasan peptida natriuretik, NO, bradikinin, adrenomedulin, apelin, serta prostaglandin PGI2 dan PGE2. Pada kondisi normal, respons vasodilatasi dari endotel tersebut mampu melawan efek vasokonstriksi khususnya pada saat beraktivitas. Namun, pada gagal jantung berat, respons vasodilatasi tersebut hilang sehingga vasokonstriksi arteri perifer tidak terbendung.[4-6]
Remodelling Ventrikel Kiri
Remodelling ventrikel kiri merupakan perubahan struktur ventrikel kiri yang terjadi sebagai respons terhadap jejas kardiovaskuler, aktivasi neurohormonal, dan kelainan beban hemodinamik.
Perubahan pada Miosit Jantung
Perubahan pada miosit jantung pada remodelling ventrikel dapat memiliki dua macam fenotip, yakni hipertrofi konsentrik dan eksentrik.
Pada hipertrofi konsentrik, seperti ditemukan dalam kasus hipertensi maupun stenosis aorta, kenaikan tekanan sistolik pada dinding ventrikel merangsang penambahan jumlah sarkomer pada konfigurasi paralel sehingga mempertebal dinding ventrikel kiri. Sementara itu, hipertrofi eksentrik sebagaimana terjadi pada regurgitasi mitral dan aorta disebabkan oleh peningkatan tekanan dinding pada fase diastolik yang menyebabkan perpanjangan miosit serta susunan sarkomer pada posisi seri yang kemudian memicu terjadinya dilatasi ventrikel kiri/
Pada tingkat molekuler, hipertrofi miosit jantung memicu reaktivasi beragam gen fetal dan penurunan ekspresi gen yang banyak ditemukan pada jantung orang dewasa. Mekanisme pemrograman gen fetal ini berdampak pada regangan mekanik miosit, ekspresi neurohormon (NE, angiotensin II), sitokin inflamasi, endotelin, dan pembentukan spesies oksigen reaktif yang terjadi secara lokal di miokardium dan sistemik.[4-6]
Perubahan Miokardium
Perubahan terkait miokardium pada kondisi gagal jantung dapat meliputi perubahan volume miosit jantung serta perubahan pada volume dan komposisi matriks ekstraseluler. Pada gagal jantung, miosit jantung pada miokardium dapat mengalami nekrosis, apoptosis, serta kematian sel secara autofagi yang berujung pada hilangnya jumlah miosit progresif, disfungsi jantung, dan remodelling ventrikel kiri. Sementara itu, matriks ekstraseluler menunjukkan perubahan sintesis dan degradasi kolagen berserat, hilangnya penyangga kolagen yang menghubungkan antar miosit, dan kerusakan anyaman kolagen.
Matrix metalloproteinase (MMP) juga memiliki peran penting dalam remodelling ventrikel sebab MMP teraktivasi dan meningkat pada kondisi gagal jantung. Namun, progresivitas remodelling ventrikel sebenarnya lebih dipengaruhi oleh ketidakseimbangan antara MMP dan glikoprotein regulatornya, yakni TIMP (tissue inhibitors of matrix metalloproteinase). Evaluasi pada berbagai studi mengisyaratkan bahwa aktivasi MMP memicu progresivitas dilatasi ventrikel kiri sedangkan ekspresi TIMP berperan pada fibrosis miokard.[4-6]
Perubahan Struktur Ventrikel Kiri
Segala perubahan pada tingkat molekuler, seluler, dan jaringan miokard bertanggung jawab terhadap perubahan struktur ventrikel kiri pada gagal jantung. Pada prinsipnya, ventrikel yang mengalami remodelling mengalami perubahan geometri dari bentuk elips yang memanjang dari kutubnya menjadi bentuk yang lebih sferis. Hal ini berdampak pada peningkatan tahanan dinding ventrikel pada sumbu meridien yang memicu beban energi baru pada dinding jantung yang sudah payah tersebut.
Mengingat bahwa beban ventrikel di akhir diastol berkontribusi terhadap beban ventrikel pada awal sistol, maka dapat dipahami bahwa dilatasi ventrikel kiri akan meningkatkan kebutuhan energi ventrikel. Hal ini akan semakin memperparah penggunaan energi pada ventrikel jantung yang sudah gagal.[4-6]
Heart Failure With Preserved Ejection Fraction (HFpEF)
Pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terjaga (heart failure with preserved ejection fraction/ HFpEF), penyakit kronis seperti hipertensi mengaktivasi respon inflamasi. Inflamasi mengakibatkan fibrosis interseluler, hipertrofi, dan mengganggu relaksasi otot jantung. Terjadi penurunan curah jantung yang mengakibatkan aktivasi neurohormonal, vasokonstriksi, peningkatan stres oksidatif, dan ketidakseimbangan nitric oxide.[4-6]
Heart Failure With Reduced Ejection Fraction
Pada gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (heart failure with reduced ejection fraction), kondisi seperti infark miokard dapat merusak sel dan memicu hilangnya miosit jantung. Miosit jantung yang rusak ini mengeluarkan DNA yang bersirkulasi yang memicu inflamasi. Akibatnya, terjadi hipertrofi yang menghasilkan kardiomiosit yang lebih panjang dan tipis.
Kardiomiosit ini memiliki densitas miofibril rendah, sehingga terjadi remodeling eksentrik dengan banyak jaringan fibrotik. Dari sini, ventrikel kiri tidak dapat berkontraksi dengan benar dan terjadi disfungsi sistolik.[4-6]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita