Penatalaksanaan Gagal Jantung
Pilihan penatalaksanaan gagal jantung mencakup modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa di bawah pengawasan dokter spesialis kardiovaskular, rehabilitasi kapasitas olahraga dan aktivitas, hingga pembedahan.[1,2]
Pasien dengan kardiomegali atau gejala khas perlu dikonsultasikan ke dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP), sehingga perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Penanganan gagal jantung bersifat kolaboratif antara dokter spesialis kardiovaskular, dokter umum, perawat, hingga ahli gizi, terutama pada penderita yang sudah mencapai gagal jantung tahap lanjut.[3]
Medikamentosa
Terapi medikamentosa menjadi lini pertama tata laksana gagal jantung selain modifikasi gaya hidup. Terapi medikamentosa terdiri dari diuretik, inhibitor sistem renin-angiotensin, beta-bloker, antagonis reseptor mineralokortikoid, dan agen inotropik.
Terapi medikamentosa dimulai dari dosis minimal, kemudian dititrasi perlahan setiap 1 -2 minggu hingga dosis optimal atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi, dan dikombinasikan sesuai kebutuhan pasien. Pilihan dan kombinasi obat mempertimbangkan intoleransi dan kontraindikasi yang dimiliki pasien.[1,2]
Diuretik
Terapi diuretik dimulai dengan loop diuretic sebagai diuretik utama, misalnya bumetanide, furosemide, dan torsemide. Diuretik jenis thiazide, seperti hydrochlorothiazide, boleh ditambahkan pada pasien dengan edema refrakter yang tidak merespon dengan hanya loop diuretic. Penggunaan diuretik harus dikombinasikan dengan obat-obatan lainnya untuk gagal jantung. Komplikasi penggunaan diuretik adalah hiponatremia.[1,2]
Inhibisi Sistem Renin-Angiotensin
Inhibisi sistem renin-angiotensin dapat dilakukan dengan pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) seperti lisinopril dan captopril; angiotensin receptor blocker (ARB) seperti irbesartan dan candesartan; atau angiotensin receptor neprilysin inhibitor (ARNI) kombinasi valsartan/sacubitril sebagai terapi lini pertama bagi penderita gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi. Obat golongan ini bermanfaat untuk mengurangi remodelling maladaptif pada jantung sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas.
ACEI menjadi lini pertama bagi penderita gagal jantung tahap B. Pada pasien dengan HFrEF dengan NYHA stage II atau III, ARNI direkomendasikan sebagai lini pertama untuk menyederhanakan pemberian obat. Pada pasien dengan gejala HFrEF kronis yang sedang terjadi atau pernah mengalami gejala, ketika ARNI tidak tersedia, ACEI boleh diberikan.
ARB boleh diberikan jika ARNI tidak ada dan pasien tidak dapat menoleransi efek samping ACEI. Bila ada ARNI, pasien yang sebelumnya diberikan ACEI atau ARB disarankan untuk mengganti ke ARNI. Untuk peralihan dari ACEI atau ARB ke ARNI, perlu diberi jarak 36 jam sejak pemberian ACEI atau ARB terakhir.[1-3]
Menurut penelitian, sacubitril/valsartan lebih baik ketimbang hanya valsartan dalam mengurangi risiko perburukan kondisi maupun readmisi karena komplikasi kardiovaskular pada pasien gagal jantung dengan sindrom geriatri. Pemberian sacubitril/valsartan dikaitkan dengan perbaikan prognosis, memperbaiki kondisi klinis, dan membalikkan remodelling patologis. Pemberian sacubitril/valsartan mengurangi dilatasi ventrikel dan atrium, serta memperbaiki fraksi ejeksi ventrikel kiri dan relaksasi miokardial.[13-15]
Beta-Blocker
Pedoman klinis merekomendasikan pemberian 1 dari 3 beta-blocker, misalnya metoprolol, atenolol dan bisoprolol, bagi penderita HFrEF kronis bergejala atau dengan riwayat gejala untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Obat hanya boleh diberikan pada pasien dengan kondisi stabil dan euvolemik, tidak diberikan pada kondisi gagal jantung akut. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa beta-blocker tidak diperlukan pada infark miokard dengan EF normal karena tidak mengurangi mortalitas.[1,2]
Antagonis Reseptor Mineralokortikoid (ARM)
Antagonis reseptor mineralokortikoid, seperti spironolactone, direkomendasikan sebagai tambahan terhadap ACEI dan beta-blocker untuk semua pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, gejala NYHA kelas II hingga IV, jika laju filtrasi glomerulus (eGFR) >30 mL/menit dan kadar kalium dalam serum kurang dari 5,0 mEq/L.
Obat golongan ini memblokade reseptor untuk aldosterone. Eplerenone lebih spesifik untuk reseptor aldosterone sehingga efek samping dapat dikurangi. Penggunaan obat ini harus hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal dan hiperkalemia.[1,2]
Sodium-Glucose Co-Transporter 2 (SGLT-2) Inhibitors
Pedoman klinis merekomendasikan pemberian tambahan SGLT-2 inhibitor bagi penderita gagal jantung kronis bergejala untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Uji klinis menunjukkan SGLT-2 boleh diberikan pada penderita HFrEF, HFmrEF maupun HFpEF, dengan maupun tanpa diabetes mellitus.
Uji klinis menunjukkan bahwa penggunaan dapagliflozin mengurangi risiko perburukan maupun mortalitas akibat gagal jantung, baik HFrEF, HFmrEF maupun HFpEF.[1,2]
Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate
Pedoman klinis merekomendasikan pemberian kombinasi hydralazine dan isosorbid dinitrat (ISDN) sebagai tambahan terapi medikamentosa optimal maupun sebagai pengganti apabila penderita gagal jantung HFrEF tidak dapat menoleransi terapi medikamentosa lini pertama. Obat ini ditujukan pada penderita gagal jantung etnis Afrika-Amerika dengan NYHA tahap III dan IV.[1,2]
Antikoagulan
Pedoman klinis tidak merekomendasikan pemberian antikoagulan kecuali terdapat indikasi seperti risiko kejadian tromboemboli vena. Pedoman klinis hanya merekomendasikan penggunaan antikoagulan sebagai profilaksis tromboemboli vena bagi pasien yang masuk rumah sakit karena serangan gagal jantung akut dekompensata.
Untuk pasien yang masuk rumah sakit karena gagal jantung dekompensata dan klirens kreatinin >30 mL/min, boleh diberikan enoxaparin 40 mg subkutan sekali sehari. Pilihan lain adalah unfractionated heparin 5000 unit subkutan setiap 8-12 jam, atau rivaroxaban 10 mg sekali sehari. Untuk pasien dengan obesitas, dosis enoxaparin dinaikkan menjadi 60 mg sekali sehari.[1,2]
Obat Tambahan
Ivabradine boleh ditambahkan bagi pasien yang sudah menggunakan kombinasi obat dosis optimal namun fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤35%. Syaratnya adalah irama jantungnya sinus, denyut jantung istirahat ≥70 detak per menit, dan masih stabil.
Tambahan digoxin dapat diberikan untuk penderita HFrEF bergejala bila pasien tidak dapat menoleransi terapi dosis optimal sesuai pedoman. Dosis yang diberikan adalah 0,125 hingga 0,25 mg per hari.[1,2]
Obat Yang Tidak Boleh Diberikan
Untuk penderita HFrEF, calcium channel blocker seperti amlodipine tidak direkomendasikan. Hal ini karena golongan tersebut bersifat inotropik negatif dan dapat memperburuk gagal jantung.
Golongan obat lain yang tidak direkomendasikan adalah obat antiaritmik kelas IC (seperti flecainide), dronedarone, thiazolidinedione, penghambat dipeptidyl-peptidase-4 seperti saxagliptin, dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Hal ini karena obat-obat tersebut dapat memperburuk gejala dan meningkatkan mortalitas gagal jantung.[1,2]
Pembedahan
Pemasangan alat seperti atrial shunt, implantable cardiac defibrillator (ICD), alat pacu jantung, atau mechanical circulatory support diindikasikan bagi kasus gagal jantung yang tidak dapat dikompensasi dengan terapi medikamentosa dosis optimal. Pemasangan alat dapat memperbaiki peluang hidup penderita gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi yang sudah pernah mengalami komplikasi iskemik atau henti jantung hingga memerlukan resusitasi kardiopulmoner. Ketika semua alat sudah tidak lagi efektif untuk memperbaiki kondisi, transplantasi jantung menjadi pilihan terakhir.[1,2,16]
Modifikasi Diet dan Gaya Hidup
Diet rendah garam dan rendah lemak dapat dilakukan sebagai intervensi non farmakologi pada pasien gagal jantung. Pedoman klinis merekomendasikan restriksi asupan sodium hingga 2300 mg/hari. Pasien juga harus menghindari rokok dan menghindari konsumsi alkohol.[1,2]
Aktivitas Fisik, Olahraga, dan Rehabilitasi Jantung
Bagi pasien yang masih bisa beraktivitas, olahraga atau aktivitas fisik rutin dan program rehabilitasi jantung dapat bermanfaat untuk meningkatkan status fungsional, kemampuan olahraga, dan kualitas hidup.[1,2]
Suplementasi Nutrisi
Pemberian suplemen vitamin dan terapi hormon tidak direkomendasikan selain untuk mengatasi defisiensi terkait. Penggunaan koenzim Q10 juga tidak menghasilkan perubahan signifikan pada uji klinis.[1,2,17]
Pemberian alpha-linolenic acid (ALA) dapat mengurangi kenaikan kadar kolesterol dalam darah, kejadian diabetes melitus tipe II, dan kejadian penyakit jantung iskemik. Asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) dapat mengurangi proses fibrosis kardiak sehingga mengurangi remodelling dan dilatasi ruang jantung. Polyunsaturated fatty acid (PUFA) boleh diberikan sebagai terapi adjuvan. Penelitian menganjurkan konsumsi dengan dosis 1-2 mg per hari.[1,2,18,19]
Tata Laksana Paliatif
Indikasi terapi paliatif di antaranya :
- Penurunan fungsional (fisik dan mental) secara progresif hingga selalu bergantung kepada sekitarnya.
- Gejala gagal jantung berat dengan kualitas hidup yang buruk meski sudah diberi terapi farmakologis maupun nonfarmakologis optimal.
- Pasien masih bahkan makin sering masuk ke unit gawat darurat rumah sakit atau makin sering mengalami dekompensasi gagal jantung walaupun terapi sudah optimal.
- Kontraindikasi transplantasi jantung
- Komorbid, kerentanan, dan kondisi klinis pasien tidak memungkinkan untuk bertahan hidup hingga 1 tahun ke depan.
- Pasien sudah mengalami cardiac cachexia
- Telah terjadi kegagalan organ multipel ireversibel
Tata laksana paliatif berfokus pada meminimalisir gejala, meningkatkan kualitas hidup hingga akhir hidup pasien, dukungan psikologis bagi keluarga pasien, dan diskusi mengenai rencana tempat akhir hidup maupun resusitasi, termasuk pelepasan alat bantu. Tata laksana paliatif dilakukan dengan dukungan inotropik jangka panjang dan pereda nyeri seperti opioid atau benzodiazepin.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita