Pendahuluan Atresia Ani
Atresia ani adalah kelainan kongenital berupa tidak adanya anus pada daerah perineum. Kelainan ini termasuk ke dalam malformasi anorektal, yang terjadi akibat kegagalan perkembangan hindgut pada usia kehamilan 8–12 minggu. Kegagalan ini menyebabkan septum urorektal tidak terbentuk, dan adanya membran kloaka pada bagian dorsal. Akibatnya, hindgut dan sinus urogenitalis akan tetap berhubungan.[1–3]
Insidensi atresia ani diperkirakan 1 dari 5.000 kelahiran hidup, dan lebih banyak dijumpai pada bayi laki-laki. Atresia ani seringkali disertai dengan kelainan kongenital pada sistem lain, misalnya pada sistem genitourinaria, muskuloskeletal, dan kardiovaskular, seperti ventricular septal defect, atrial septal defect, atau tetralogy of Fallot.[1,4]
Diagnosis atresia ani dilakukan dengan pemeriksaan fisik regio perianal postpartum setelah bayi dilahirkan. Pasien dapat dicurigai mengalami atresia ani jika tidak mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama sejak lahir. Selain itu, pasien juga dapat mengalami distensi abdomen. Jika terbentuk fistula, mekonium mungkin keluar melalui perineum atau uretra.[1,5]
Pemeriksaan penunjang, misalnya radiografi pelvis atau sakrum, dapat dilakukan apabila diagnosis sulit ditegakkan melalui pemeriksaan fisik saja. Radiografi juga berguna untuk mencari kelainan penyerta, misalnya spina bifida atau hemivertebra. Ultrasonografi (USG) dapat dilakukan untuk menentukan tipe malformasi anorektal, karena berhubungan dengan perencanaan tata laksana.[1,5]
Tata laksana definitif atresia ani adalah dengan pembedahan, yang dapat dilakukan dengan anoplasti, kolostomi, dan posterior sagittal anorectoplasty (PSARP). Sebelum pembedahan dilakukan, tata laksana awal dapat diberikan berupa pemasangan akses intravena untuk memberikan cairan dan antibiotik, misalnya cefotaxime atau erythromycin. Pemasangan nasogastric tube juga diperlukan untuk dekompresi lambung.[1,4,5]
Prognosis atresia ani yang terjadi tunggal pada umumnya baik. Namun, adanya kelainan kongenital lain yang menyertai dapat memperburuk prognosis. Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah konstipasi dan inkontinensia fekal. Pasien mungkin membutuhkan terapi jangka panjang dengan laksatif, seperti senna, atau menggunakan enema. Pola defekasi yang baik mungkin baru dicapai dalam beberapa bulan setelah operasi.[4,5]
Edukasi atresia ani diberikan pada orang tua pasien untuk melakukan dilatasi anus di rumah setelah anoplasti. Dilatasi dikerjakan dengan dilator Hegar dari ukuran terkecil, kemudian ditingkatkan setiap minggu hingga mencapai ukuran yang sesuai usia pasien. Dilatasi biasa dilakukan selama 6–12 bulan, dengan frekuensi yang diturunkan secara bertahap. Jika ukuran anus sudah sesuai usia dan tidak terjadi striktur, penutupan kolostomi dapat dilakukan.[2,5]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra